Mewaspadai Penumpang Gelap di Balik Siklus Kekerasan di Palestina

Mewaspadai Penumpang Gelap di Balik Siklus Kekerasan di Palestina

- in Narasi
1644
0

Eskalasi konflik antara Hamas dan Israel patut dilihat dalam kacamata yang lebih luas. Tidak hanya melulu soal perebutan wilayah apalagi isu keagamaan. Selayaknya perang, pasti ada pihak-pihak yang menjadi penumpang gelap dan mengambil keuntungan secara diam-diam. Dalam konteks perang Paletina dan Israel salah satu pihak yang menangguk keuntungan itu ialah kaum Islam garis keras (konservatif-radikal).

Bagi kaum konservatif-radikal, isu Palestina merupakan komoditas sekaligus bahan bakar untuk mempropagandakan idelogi politiknya di dunia Islam. Di kalangan Islam konservatif-radikal, isu Palestina kerap disimplifikasi sebagai konflik antara Islam dan Yahudi. Asumsi sempit inilah yang lantas menjadi dasar untuk menjustifikasi sikap anti-Yahudi (anti-semitisme) di kalangan muslim konservatif-radikal.

Selain itu, konflik Palestina-Israel juga kerap menjadi semacam pembenaran untuk mengobarkan perang jihad melawan agama lain. Dengan kata lain, isu Palestina juga menyumbang andil pada kian masifnya penyebaran ideologi radikal di dunia Islam. Studi yang dilakukan oleh Gallup Institute tahun 2015 mengungkapkan fakta bahwa organisasi teroris global seperti al Qaeda, ISIS dan Jamaah Islamiyyah menggunakan isu Palestina untuk mempropagandakan berdirinya daulah Islamiyyah atau khilafah.

Jaringan teroris global tersebut kerap memakai foto maupun video serangan Israel terhadap Palestina sebagai bahan indoktrinasi atau pun rekrutmen anggota baru. Melalui rangkaian foto dan video yang telah di­-framing itulah jaringan teroris berusaha mempengaruhi umat Islam agar masuk ke dalam jaringan mereka.

Cara itu terbukti efektif. Apalagi di era sekarang propaganda radikalisme banyak dilakukan melalui internet dan media sosial. Foto dan video warga Gaza yang menjadi korban serangan Israel menimbulkan efek visualisasi dramatis sekaligus melankolis. Dramatisasi itulah yang lantas membangkitkan kebencian umat Islam pada Yahudi dan melahirkan ghirah untuk berjihad.

Gejala yang sama tampak belakangan ini. Ketika siklus kekerasan Palestina dan Israel mengalami eskalasi belakangan ini, kaum radikal seolah tidak mau kehilangan momentum. Mereka menumpang isu Palestina yang tengah panas untuk mempropagandakan ideologi politiknya. Apalagi jika bukan daulah islamiyyah dan khilafah.

Di saat yang sama mereka juga menjadikan isu Palestina untuk memecah belah bangsa dan mendeskreditkan pemerintah yang sah. Mereka inilah para penumpang gelap (free-rider) yang mengambil keuntungan dari tragedi kemanusiaan yang dialami warga Palestina. Fatalnya lagi, mereka membajak gerakan “solidaritas” untuk mempromosikan ideologi radikal dan mengampanyekan khilafah.

Dari Solidaritas Keagamaan ke Solidaritas Kemanusiaan

Selama siklus kekerasan antara Palestina dan Israel tetap dipertahankan, maka selama itu pula kaum radikal akan terus memiliki bahan bakar dan komoditas untuk mempropagandakan radikalisme di dunia Islam. Bisa dibilang, siklus kekerasan Palestina dan Israel merupakan duri dalam daging dalam peradaban dunia Islam modern. Oleh karena itu, penting bagi dunia Islam untuk mencari solusi penyelesaian konflik tersebut tanpa memperpanjang siklus kekerasan.

Salah satunya ialah memastikan bahwa gerakan solidaritas terhadap Palestina tidak hanya berbasis pada konsep solidaritas keagamaan, namun didasarkan pada prinsip kemanusiaan. Solidaritas yang berbasis pada prinsip kemanusiaan dipastikan akan steril dari anasir politisasi apalagi upaya radikalisasi. Solidaritas kemanusiaan juga akan mendorong terciptanya perdamaian hakiki di Palestina dan Timur Tengah pada umumnya.

Solidaritas yang demikian ini tidak dimanifestasikan dalam aksi-aksi sporadis seperti demonstrasi jalanan atau penggalangan dana. Lebih dari itu, solidaritas berbasis prinsip kemanusiaan membutuhkan terwujudnya sebuah jejaring komunikasi dan diplomasi global yang efektif. Sudah bukan rahasia lagi bahwa konflik Palestina dan Israel telah menjadi bagian dari menu geopolitik global.

Banyak pihak yang berkepentingan di dalam perseteruan abadi dua negara tersebut. Di sisi Israel, ada kekuatan Barat yang menyokong Israel demi menghambat kebangkitan masyarakat Arab dan dunia Islam pada umumnya. Sementara di sisi Hamas (Palestina) ada Iran yang berkepentingan mendominasi wilayah Timur Tengah.

Di tengah komplekstitas peta politik di balik isu Palestina inilah kiranya kaum moderat Islam bisa tampil sebagai jurubicara kemanusiaan. Jika agenda solidaritas selalu digaungkan oleh kaum konservatif-radikal maka jalan mewujudkan perdamaian akan kian sulit. Israel dan Barat mustahil membuka pintu dialog dan meretas jalan perdamaian jika gerakan solidaritas itu lebih banyak dimotori kaum radikal dengan narasi yang kental dengan nuansa politik identitas.

Lebih spesifik dalam konteks Indonesia, kita perlu menggagas sebuah model solidaritas kemanusiaan yang bertumpu pada asas kebangsaan dan kebinekaan. Kita patut beranjak dari solidaritas keumatan menuju solidaritas kemanusiaan universal. Di saat yang sama, kita juga wajib membendung arus propaganda radikalisme yang membonceng isu Palestina. Kita tidak boleh lelah dalam mengedukasi publik agar tidak terjebak pada narasi provokatif-radikal yang digulirkan kaum konservatif.

Facebook Comments