Berita hoaks selalu mewarnai lalu lintas media sosial kita. Dari yang menyeret isu SARA hingga politik, sehingga membuat urat leher masyarakat tegang dan mengarahkan kegeraman mereka kepada korban hoaks, baik individu maupun kelompok, yang diwartakan buruk. Contoh terbaru dari fenomena hoaks adalah ditemukannya tujuh kontainer yang berisi surat suara tercoblos. Awalnya, warta tersebut diyakini sebagai temuan fakta di lapangan, dan boleh jadi masyarakat menyimpulkan salah satu kandidat presiden menjadi dalang di balik fakta tersebut.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kita kini tengah hidup di era post-truth atau paska kebenaran. Era ini meniscayakan prioritas alur cerita atau wacana ketimbang fakta obyektif di lapangan. Cerita atau wacana tidak disikapi dengan kritis, hanya dikonsumsi lalu disebarkan ke jagad digital yang seakan-akan tampa batas. Begitu cerita itu disebarkan secara terus-menerus, maka publik lambat laun akan memercayainya sebagai kebenaran. (Kompas, 2019)
Maka tidak mengherankan jika warta tujuh kontainer surat suara tercoblos dengan cepat menyebar. Pesebarannya begitu masif lantaran didukung dengan momentum politik yang melingkupinya, yakni Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi. Jika tidak ada upaya investigasi untuk mengetahui fakta yang tertutup narasi, maka boleh jadi hingga kini kita memercayai hal tersebut sebagai kebenaran, dan tentu akan membuat gaduh penyelenggaraan Pemilu.
Ada beberapa tahapan yang dilakukan oknum untuk memviralkan sebuah konten hoaks. Tahap pertama adalah lempar isu. Berbagai saluran media sosial pun digunakan untuk menyebarkan isu tersebut. Setelah itu, tahap kedua, adalah tersebarnya isu dengan masif. Adapun tahap ketiga, isu atau wacana tersebut masuk radar media arus utama. Jika isu telah masuk ke media arus utama, apalagi yang memiliki peminat besar, maka tak butuh waktu lama untuk viral dan menjadi tranding topic dalam pembicaraan warganet.
Baca juga :Menjadi Hansip Online, Cara Kita Cegah Narasi Kebencian
Terungkapnya kelompok Muslim Cyber Army (MCA) dan Saracen beberapa bulan yang lalu membuktikan bahwa ternyata hoaks dan ujaran kebencian yang kerap kita temui di lini masa adalah sengaja diproduksi untuk motif politik tertentu. Konten-konten haram tersebut menjadi lahan bisnis yang menggiurkan, namun amat rentan memecah belah persatuan bangsa dan negara. Mereka kerap menebarkan konten provokatif untuk menyerang personal atau komunitas tertentu.
Menanggapi fenomena tersebut, apalagi ada ‘pencatutan’ kata muslim, MUI segera mengeluarkan fatwa bahwa profesi buzzer yang menyebarkan konten negatif termasuk dalam kategori haram. Setiap muslim yang bermuamalah, kata Zainut Tauhid Saadi, Wakil Ketua MUI, dilarang menyebarkan SARA dan ini diharamkan. Kegiatan buzzer di media sosial yang menyebarkan informasi bermuatan gosip sebagai profesi, diharamkan dan dilarang. (wartakota.com, 2017)
Ujung 2016 lalu Komunitas Masyarakat Anti Hoaks juga membeberkan adanya bisnis haram berupa produksi berita bohong. Bisnis tersebut dijalankan oleh mahasiswa di Sumatera dengan cara membuat situs web yang memuat konten-konten provokatif dan sensasional. Tidak main-main, penghasilan dari bisnis haram ini bisa mencapai 700 juta rupiah pertahun. Keuntungan tersebut didapat dari Google AdSense yang secara otomatis akan semakin bertambah seiring banyaknya jumlah pengunjung situs tersebut.
Untuk memutus mata rantai bisnis haram ini, komunitas masyarakat Anti Hoaks mencoba memutus AdSense, sehingga tidak ada pemasukan lagi. Sementara Keminfo memblokir situs tersebut. (cnnindonesia.com, 2016)
Meski begitu, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri. Pemerintah membutuhkan kerja sama segenap warganya, dalam konteks memberantas hoaks dan ujaran kebencian, tak ada generasi yang lebih bisa diandalkan kecuali milenial dan sesudahnya. Maka dari itu, milenial mestinya tidak hanya menerima informasi dan hiburan yang disediaan media sosial macam Facebook, twitter, instagram, dan sebagainya, melainkan juga bisa menjadi produsen informasi. Milenial yang memiliki wawasan kebangsaan yang baik, tentu akan memanfaatkan peluang media sosial ini untuk menebarkan kerukunan, karena ia tahu bahwa keberlangsungan negara-bangsa bergantung pada ada tidaknya kedewasaan warganya untuk menerima perbedaan sebagai rahmat.
Nilai-nilai kerukunan, gotong royong, dan toleransi, yang merupakan ciri khas negara-bangsa Indonesia, mesti dikampanyekan di media sosial. Milenial, sekalipun dinilai (oleh sebagian orang) sebagai generasi yang malas-malasan dan tidak mau repot, mesti membuktikan bahwa mereka juga bisa ikut andil dalam menjaga kerukunan dan kesatuan negara-bangsa, sekalipun dengan cara yang berbeda. Milenial yang proaktif di media sosial, setidaknya mulai mendeteksi konten atau akun yang gemar menebar benci dan hoaks. Di samping itu, juga menebarkan konten positif untuk menyingkirkan kebencian di media sosial, dan juga melakukan edukasi kepada warganet, supaya memiliki pemahaman yang baik soal kebangsaan.