Setiap tahun pada dasarnya ialah bentangan waktu yang berbeda. Cara kita dalam memberi makna, itulah yang membedakannya. Demikian ujaran Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet yang bernuansa kontemplatif. Boleh jadi benar ungkapan Dalai Lama tersebut. Bahwa tahun-tahun yang berlalu itu akan menjadi sama kecuali kita memberikan makna yang berbeda.
Ungkapan itu kiranya relevan untuk melihat perjalanan bangsa Indonesia selama setahun belakangan. Ada beragam peristiwa yang mewarnai kehidupan bernegara, berbangsa, dan beragama selama setahun terakhir. Semua peristiwa itu tentu harus dimaknai sebagai pelajaran dan pengalaman untuk melangkah ke depan.
Jika kita menengok perjalanan bangsa setahun belakangan ini, kita menyaksikan masih banyak ragam persoalan yang menghadang. Salah satu yang paling besar ialah problem ideologis terkiat masih maraknya penyebaran paham kebencian berbalut agama serta kampanye ideologi asing yang mengancam keutuhan bangsa dari dalam. Di saat yang sama, serangan pada negara dan pemerintah dalam wujud hoaks, fitnah, dan kebencian silih berganti datang.
Dari sisi ideologis, kita dihadapkan pada serangan penetrasi ideologi transnasional yang mewujud pada gerakan khilafah atau negara Islam. Khilafahisme boleh jadi merupakan momok menakutkan bagi dunia Islam modern. Kita menyaksikan sendiri bagaimana gerakan khilafah menghadirkan efek destruktif yang luar biasa. Keberadaan ISIS misalnya, telah menjadi representasi baru gerakan terorisme yang menginspirasi praktik kekerasan dan teror atas nama Islam di seluruh dunia.
Akhir Tahun Sebagai Ruang Kontemplasi
Sedangkan dari sisi politis, pemerintah kita menghadapi serangan internal dari kaum oposisi destruktif yang bersekutu dengan kaum intoleran-radikal. Serangan itu mewujud ke dalam beragam fitnah dan narasi sesat. Antara lain, tudingan pemerintah mengidap Islamofobia, pemerintah gemar mengkriminaliasi umat Islam dan ulama, serta adanya pandangan yang meyakini bahwa terorisme ialah konspirasi dan rekayasa pemerintah. Juga anggapan yang menyebut moderasi beragama sebagai agenda terselubung yang disusupi kepentingan asing.
Tantangan ideologis dan politis itu menjadi semacam virus yang menggerogoti eksistensi negara dan pemerintah dari dalam. Di satu sisi, penetrasi ideologi transnasional seperti khilafah telah melemahkan kepercayaan masyarakat pada Pancasila. Di sisi lain, tudingan miring dan narasi sumir yang menyasar pemerintah cukup membuat energi kita terkuras habis. Nyaris saban hari kita dihadapkan pada debat-kusir nir-faedah yang dilatari oleh isu remeh-temeh.
Maka, momen akhir tahun ini kiranya menjadi ruang yang tepat untuk kita berkontemplasi. Melihat ke belakang untuk mencari makna dari apa yang telah kita lalui setahun belakangan ini. Momen refleksi itu penting agar kita bisa berpikir jernih dalam menghadapi segala persoalan baik itu problem ideologis maupun politis. Dengan begitu, refleksi dan kontemplasi itu kiranya akan berguna untuk memperkuat pilar kebangsaan kita, yakni Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.
Tiga Langkah Merawat Pilar Kebangsaan
Ada setidaknya tiga langkah bagaimana kita merawat pilar-pilar kebangsaan tersebut. Pertama, mengembalikan imajinasi kebangsaan kita sempat memudar akibat problem internal kebangsaan. Nyaris satu dekade terakhir bangsa ini terpolarisasi ke dalam dua golongan besar karena perbedaan pilihan politik. Alhasil, relasi kebangsaan kita menjadi renggang. Kedua kelompok yang berbeda afiliasi politik ini terlibat saling sindir, bahkan saling caci di media sosial.
Polarisasi sebagai efek lanjutan dari kontestasi politik itu lantas membuat kita lupa tujuan kita berbangsa dan bernegara. Energi kita dihabiskan untuk saling lempar cacian. Pikiran kita tersandera oleh nalar kebencian. Perilaku kita disetir oleh nafsu dan kekuasaan. Kita lupa bahwa sebenarnya kita adalah saudara sebangsa yang seharusnya saling bersinergi. Imajinasi kebangsaan itulah yang patut kita hidupkan ulang di tengah arus polarisasi ini.
Kedua, membangun gerakan kolektif untuk melawan setiap upaya penyebaran ideologi transnasional, terutama khilafah, negara Islam dan sejenisnya. Jika Indonesia ini diibaratkan tubuh manusia, maka ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945 ialah sistem imunitas yang bertugas menghalau penyakit, sedangkan ideologi transnasional ialah virus yang membawa penyakit dari luar. Berdasar analogi itu, kita harus memperkuat komitmen pada Pancasila dan UUD 1945 untuk menghalau virus dan penyakit ideologis dari luar yang mengacam tubuh bangsa.
Penguatan ideologi Pancasila dan UUD 1945 tentu tidak boleh berhenti pada tataran abstrak, melainkan harus mewujud ke dalam langkah konkret. Ini artinya, Pancasila dan UUD 1945 tidak boleh berhenti sebagai wacana, namun harus diformulasikan ke dalam realita. Dalam konteks ini, pemerintah memiliki kewajiban untuk mewujudkan pemerataan kesehateraan sebagaimana menjadi amanat konstitusi. Di sisi lain, masyarakat sipil memiliki tanggung jawab untuk membangun relasi sosial yang berbasis pada kultur toleransi dan inklusivisme.
Ketiga, membangun budaya politik transformatif dan demokrasi berkeadaban yang menjunjung kebinekaan dan persatuan. Di titik ini, kita harus membangun kesadaran baru bahwa tujuan politik bukanlah semata kekuasaan. Kita harus mengembalikan hakikat politik sebagai alat tujuan untuk memperjuangkan cita-cita kebangsaan, yakni transformasi sosial dan masyarakat. Selanjutnya, kita harus mengembangkan demokrasi berkeadaban. Yakni mekanisme pemilihan pemimpin dan wakil rakyat yang mengedepankan etika dan steril dari narasi politik identitas dan politisasi agama.
Harus diakui, selama ini politik dan demokrasi kita kadung terkotori oleh riuhnya narasi adu-domba, pelintiran kebencian dan eksploitasi identitas terutama keagamaan. Tiga langkah itu kiranya akan menjadi vaksin yang membententi Pancasila, NKRI, dan UUD 1945 dari virus kebencian dan provokasi kebencian yang memecah-belah.