MUI Gagal Paham: Benarkah Sertifikasi Penceramah Mendiskreditkan Islam?

MUI Gagal Paham: Benarkah Sertifikasi Penceramah Mendiskreditkan Islam?

- in Narasi
1613
0

Dalam sepekan ini, pewartaan kita ramai memperbincangkan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi yang mengatakan, strategi radikal masuk ke lingkungan ASN dan masyarakat melalui agen radikalisme, yang merupakan pemuda hafal Al-Qur’an (hafiz) hingga berparas menarik (good looking).

Dalam konteks ini, Menag mengusung program sertifikasi penceramah yang tentu akan melibatkan Mejelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam. Menag memastikan program tersebut dilakukan secara kolaboratif, dilansir dari detik.com.

Ungkapan Menag tersebut tentunya menuai kontroversi. Pasalnya, secara sepintas, pernyataan Menag tersirat bahasa “tuduhan” terhadap hafiz yang good looking adalah agen radikalisme. Tak ayal apabila beberapa kalangan buka suara, termasuk Prof. Abdul Mu’ti yang baru dikukuhkan sebagai Guru Besar UIN Sunan Kalijaga pada 2 September kemarin, dengan bahasa yang agak lunak mengatakan (2020), jangan ada yang suudzon kepada yang tampil good looking di masjid.

Selain itu, MUI juga menilai bahwa program sertifikasi penceramah tersebut telah menimbulkan kegaduhan, kesalahpahaman dan kekhawatiran akan adanya intervensi pemerintah pada aspek keagamaan yang dalam pelaksanaannya dapat menyulitkan umat Islam dan berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk mengontrol kehidupan keagamaan.

Oleh karenannya, dalam surat edaran dengan Nomor: Kep-1626/DP MUI/IX/2020, MUI mengatakan program sertifikasi penceramah seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada ormas/kelembagaan Islam termasuk MUI dan pihak-pihak yang memiliki otoritas. Di samping itu, MUI juga menghimbau kepada semua pihak agar tidak mudah mengaitkan masalah radikalisme dengan ulama, ustaz, dan hafiz serta tampilan fisiknya.

Jika kita pahami, pernyataan MUI tersebut adalah sikap berlebihan. Pasalnya. Menag sedari awal menjelaskan bahwa ia hanya berperan sebagai fasilitator bukan eksekutor. Artinya, kewenangan yang memberikan pelabelan atau sertifikasi kepada calon penceramah itu merupakan kewenangan pihak-pihak yang memiliki otoritas keagamaan misalnya, MUI, NU, Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya.

Di samping itu, sikap MUI tersirat kesan “ketakutan” atau “kebakaran jenggot”. Meminjam bahasanya Ahmad Ishomuddin (2020), jika MUI berani memberikan sertifikat halal untuk kulkas, mengapa giliran ada ide sertifikasi ulama, ada banyak orang MUI yang ketakutan dan bahkan paling depan menolak. Tak hanya itu, Sekretaris Jenderal MUI (Sekjen MUI), Anwar Abbas, rela mundur dari jabatan jika program penceramah bersertifikat terus dilanjutkan oleh Menag, dilansir dari Tempo.co.

Atas dasar tersebut, maka timbul sebuah pertanyaan, benarkah anggapan MUI program sertifikasi penceramah ini mendiskreditkan umat Islam? Atau jangan-jangan MUI gagal apaham atas program Menag tersebut?

Seyogianya, persoalan sertifikasi penceramah ini pernah diusulkan di era Menag, Lukman Hakim Saifuddin, namun kandas di tengah jalan karena terdapat beberapa pihak yang menolak, misalnya MUI dan FPI.

Kegagalan program tersebut memang disebabkan karena ada pihak-pihak yang menolaknya. Penolakan tersebut didasarkan pada anggapan bahwa, program sertifikasi penceramah merupakan agenda politik sehingga, ia akan dijadikan legitimasi pemerintah dnegan menyudutkan umat Islam. Juga, dianggap program yang menabrak ha-hak seseorang dalam mengekspresikan keagamaan dan keyakinannya.

Selain itu, disadari atau tidak, Lukman Hakim Saifuddin, minim melibatkan pihak-pihak di luar kewenangannya, yang bergerak di bidang keagamaan misalnya, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), hingga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Sementara era Menag Fachrul Razi, sejatinya juga mengalami hambatan yang serupa, meskipun program sertifikasi penceramah telah dicanangkan sejak awal ia menjabat. Oleh karena tujuannya untuk mencegah tersebarnya ajaran-ajaran provokatif dan paham-paham radikal kepada masyarakat. Maka, Menag tak hanya melibatkan MUI dan Ormas Islam untuk menyeleksi penceramah, namun juga melibatkan lembaga-lembaga negara yang dianggap memenuhi standar yang kuat untuk memberantas radikalisme, yakni Lemhanas, BPIP, dan BNPT.

Dengan terlibatnya Ormas Islam dalam pemberian penceramah bersertifikat ini, maka secara tidak langsung, program tersebut tidak ada upaya mendiskreditkan umat Islam. Sungguh aneh bin ajaib, sekaliber MUI beranggapan program tersebut akan mendiskreditkan umat Islam. Ini artinya, MUI gagal paham atas program sertifikasi penceramah. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, mengapa MUI harus khawatir dengan program Menag?

Adalah penting kita melihat dalam satu dekade terakhir siar kebencian marak terjadi baik itu dilakukan oleh negara maupun non negara. Berdasarkan hasil survei Wahid Foundation (2020), dalam kurun waktu 120 bulan (mulai dari 2009 hingga 2018), ada sekitar 1.420 tindakan yang dilakukan oleh aktor non negara atau rata-rata 12 tindakan per bulan. Sedang yang dilatarbelakangi oleh aktor negara, ada sekitar 1.033 tindakan atau dengan rata-rata sembilan tindakan per bulan.

Melalui data tersebut, Wahid Foundation berhasil menelanjangi bahwa ada tiga ormas keagamaan yang terbanyak menjadi pelaku pelanggaran dari kategori non negara, yakni MUI dengan 150 tindakan, FPI dengan 153 tindakan, dan Forum Umat Islam dengan 940 tindakan.

Berdasar pada uraian tersebut, maka tak ayal apabila MUI terlihat ketakutan dan paling terdepan menolak program sertifikasi penceramah. Apabila yang terdepan menolak program penceramah bersertifikat adalah MUI. Bukan tidak mungkin, dalam tubuh MUI terdapat banyak orang yang bukan ULAMA. Jika ini benar, sungguh aneh bukan?

Facebook Comments