Bukan Sekadar Dakwah Halal-Haram

Bukan Sekadar Dakwah Halal-Haram

- in Narasi
1989
0

Sering kita mendengar ungkapan Ballighu ‘anni wa lau ayatan, sampaikanlah dariku meski satu ayat. Hadis tersebut kerap dijadikan landasan terutama para dai/pendakwah pemula dan atau “abal-abal” untuk menjustifikasi dirinya memang layak berceramah. Dan, seakan-akan dari hadis tersebut pula, memberikan legitimasi agar setiap orang diseyogiakan menjadi pendakwah. Berlagak menceramahi orang yang sayangnya kemudian tak lepas dari bumbu-bumbu aksi vonis: kamu keliru, ini haram, kamu bidah. Kecenderungan fenomena tersebut bisa kita lihat pada hari ini terutama di percakapan media sosial.

Tentu tak ada yang keliru dari hadis tersebut. Sayangnya saja, hadis tersebut sekadar dijadikan alibi oleh oknum pendakwah masa kini. Dikata oknum karena tentu saja tidak merepresentasikan para pendakwah mainstream yang terbukti tak lekang waktu serta teruji selama ini dalam mengedepankan nilai-nilai humanisme, persatuan-persaudaraan (ukhuwah), dan keadaban kala bersyiar. Bila sekadar berdakwah dengan substansi nilai-nilai akhlak-moralitas, tentu semua orang terkira mumpuni; setidaknya pada lingkup keluarga dan handai tolan. Hal ini pun sesuai perintah Alquran untuk saling berwasiat/menyeru dalam kebaikan. Namun, menjadi urusan kompleks saat konten dakwah telah masuk pada ranah teologi (firqah) dan fikih (mazhab); di mana keduanya terkandung aneka rumpun tafsiran/furu’iyyah.

Karena itu, dalam konteks menjadi pendakwah utamanya masa kini, mustilah mumpuni atawa mempunyai kapasitas dan kredibilitas keilmuan. Artinya, tidak sembarang orang lantas dipatutkan menjadi seorang dai; dari sekadar cakap bicara dan asal tampilan religius. Selain kudu berwawasan luas dalam ilmu agama, pendakwah dituntut mumpuni melihat sasaran/objek dakwah. Seorang pendakwah perlu memiliki kepekaan/sensitivitas mengenai latar belakang dan kultur suatu masyarakat yang bakal didakwahi. Berpunya pengetahuan sosiologi berdakwah merupakan keniscayaan agar pesan utama agama benar-benar tersampaikan dengan baik. Parameternya: umat yang tidak merasa paling benar dan welas asih pada yang berbeda.

Sosiologi Berdakwah

Kehadiran agama diperuntukkan bagi manusia agar lebih arif melangkah dalam mengarungi kehidupan sesuai kehendak Tuhan. Kendati demikian, sedari awal, ajaran agama melalui para Rasul selalu disampaikan dengan cara damai dan lemah lembut; menihilkan paksaan. Dakwah diartikan sekadar mengajak, bukan mengejek budaya yang telah mapan. Jika enggan menerima ajaran agama, si dai (pengajak) hanya menyandarkannya kepada Tuhan. Sesederhana itulah arti berdakwah.

Berdakwah musti berkesinambungan atau menyesuaikan dengan siapa yang bakal didakwahi alias objek dakwah. Lantaran, agama harus mampu berkelindan dengan tipologi dan corak suatu masyarakat yang sudah lama menubuh dan membumi dalam sebuah kebudayaannya. Berangkat dari sini, ada dua kutub yang saling jumpa: agama dan budaya. Lantas, bagaimana cara terbaik agar kedua kutub itu bisa menyatu atau setidaknya bisa beririsan.

Di sinilah signifikansi sosiologi berdakwah. Seorang dai, harus memiliki kecerdasan sosiologis selain kedalaman ilmu agama. Dengan kata lain, dai terlebih dahulu mengetahui tipikal, corak pandang, dan istiadat suatu masyarakat yang hendak didakwahi. Seorang dai tidak bisa saklek alias kaku berdakwah; serba hitam putih atau semua diukur berdasar prinsip halal-haram. Hal mendasar yang harus disadari para dai, bahwa hakikatnya agama itu luwes dan oleh karenanya metode penyampaian dakwah mesti bersifat moderat.

Dalam sejarah pelarangan minuman keras, Islam tidak secara langsung dan tegas menyampaikan keharamannya. Melainkan dilakukan bertahap. Memerlukan waktu tidak sebentar. Hal ini bisa dipahami sebagai metode efektif berdakwah bahwa kala itu masyarakat Arab sudah menganggap minuman keras atau mabuk-mabukan sebagai gaya hidup yang hampir mustahil bisa dihilangkan seketika. Strategi dakwah serupa juga dilakukan Nabi Saw dalam upaya menghapus praktik perbudakan.

Di sebuah kesempatan, Nabi Saw menganjurkan para Sahabat agar berdakwah menyesuaikan taraf keilmuan atau pengetahuan si objek dakwah (mad’u). Berdakwah kepada orang awam tidak perlu menggunakan bahasa ilmiah dan kajian agama yang dipandang berat. Dai harus menubuh dan menyatu dengan objek dakwah. Hal seperti ini bisa dilihat dari model dakwah sejumlah penyebar Islam di Jawa yang berdakwah menggunakan seperangkat kebudayaan yang menjadi kegemaran masyarakat berupa wayang dan tembang lagu.

Perihal wayang, muasalnya berkonten cerita negatif. Lantas diganti oleh sejumlah penyebar Islam dengan cerita-cerita islami sarat unsur dakwah dan petuah agama. Keberhasilan dakwah macam ini membuktikan agama dan kebudayaan nyatanya bisa menyatu tanpa ada yang merasa tersingkirkan. Dalam konteks sosial seperti ini, dakwah atau kehadiran agama bukan seperti sosok pemberantas tatanan kehidupan lama. Namun, sebagai wujud melakukan proses seleksi atas nilai-nilai kehidupan yang terkira relevan dengan kehendak ajaran agama.

Termasuk domain sosiologi berdakwah, perlu juga memandang faktor tempat tinggal objek dakwah dan berdasar kelas ekonomi. Kepada masyarakat perkotaan dan kelas ekonomi atas yang terstigma individualis dan hedonis tentu berbeda strategi berdakwah kepada penduduk perdesaan dan kalangan ekonomi menengah bawah yang sering terlabel kurang giat bekerja dan fatalistik.

Sekali lagi, dai tidak cukup sekadar pintar ilmu agama. Dalam dakwahnya, mereka seyogianya juga mampu merumuskan konsepsi petuah agama dalam mengatasi aneka pemasalahan dewasa kini. Sehingga dai tidak sekadar menjelaskan babakan ketuhanan dan ritus ibadah, melainkan juga menjawab fungsi agama dalam menghadapi krisis lingkungan, mengadang kemunculan wabah radikalisme, membentengi umat dari paham takfiri. Kesemua tema dakwah tersebut seyogianya disampaikan seorang dai; baik secara santai maupun serius menyesuaikan kondisi sosiologis si objek dakwah.

Facebook Comments