Multikulturalisme Sebuah Keniscayaan Indonesia

Multikulturalisme Sebuah Keniscayaan Indonesia

- in Narasi
584
2
Multikulturalisme Sebuah Keniscayaan Indonesia

Baru beberapa waktu yang lalu, Setara Institut mengeluarkan pernyataan terkait peran pemimpin lokal dan isu keberagaman di wilayah Yogyakarta. Hasilnya cukup mengejutkan, sebab wilayah yang kerap diasosiasikan sebagai tempat dengan penghargaan yang tinggi terhadap budaya, kehidupan multikultural yang dinamis dan corak keberagamannya yang terus terjaga, ternyata kerap berhadapan dengan realitas intoleransi yang pilu. Memang sebagian besar tidak menimbulkan pertumpahan darah atau pun kematian, namun hadirnya teror yang mencekam kehidupan multikultur jelas sangat menghantui kehidupan bermasyarakat di daerah tersebut. Pertanyaan spontan yang lantas melayang atas persoalan tersebut adalah bila hal tersebut saja bisa terjadi di daerah yang dianggap toleran, lantas bagaimana dengan daerah lainnya?

Pertanyaan pembuka di atas, memang potensial menghantarkan kita pada kerisauan atas nasib bangsa ini ke depannya. Namun perlu kita ingat juga bahwa sejak awal para founding fathers/mothers bangsa ini telah menyadari keberagamannya, dan karena itu pula memberikan tempat atas perbedaan itu. Tidak cukup sampai di situ, dalam beberapa kesempatan keberagaman tersebut-lah yang menjadi dasar pondasi kita dalam melakukan banyak hal. Mungkin hal tersebut terkesan aneh dan diluar nalar, namun kenyataan riwayat bangsa ini jelas menggambarkan hal tersebut sungguh terjadi.

Kita bisa mendapati gagasan-gagasan tersebut mengetengah dalam sejumlah pernyataan tegas dan sikap-sikap dari Presiden pertama kita yaitu, Ir. Soekarno. Dalam berbagai kesempatan, ia jelas memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kultur bangsa ini. Tak cukup sampai di situ, ia bahkan beberapa kali dengan tegas melantangkan penentangannya terhadap rasialisme. Sikap tegasnya dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan persamaan martabat sebagai manusia yang berbeda kultur bahkan ia ketengahkan pula dalam berbagai forum, termasuk sidang umum Perserikatan Bangsa Bangsa.

Baca juga :Pancasila, Islamisme dan Moderasi Beragama

Ada pula lainnya bisa dijumpai dari sikap negarawan seorang KH. Wahid Hasjim, di mana ia memberikan teladan untuk menghargai perbedaan. Teladan tersebut hadir dalam sikapnya yang lebih memilih menjadikan Pancasila sebagai dasar ideologi kita ketimbang piagam Jakarta. Seperti kita ketahui bersama, seorang KH Wahid Hasjim sendiri merupakan seorang yang lahir dan dibesarkan di wilayah pondok pesantren yang kuat akan tradisi keIslamannya. Sehingga tentunya sangat kuat potensi bila membayangkan dirinya akan lebih mempertahankan narasi piagam Jakarta. Seperti kita ketahui bersama, narasi piagam Jakarta untuk sila pertama berbunyi “Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja”. Namun hal yang menarik terjadi tatkala ia yang merupakan tokoh Islam pun mau melihat dan menghargai keberagaman bangsa ini. Pilihannya untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar ideologi layak untuk menjadi teladan kita bersama dalam melihat perbedaan tidak melulu dari sisi mayoritas dan minoritas saja.

Wajah keberagaman yang menjadi pondasi kita lainnya dalam melakukan banyak hal pun bisa kita dapati dari regalia bangunan masjid Istiqlal Jakarta. Untuk diketahui bersama, bangunan indah yang menjadi salah satu icon kota Jakarta serta negara ini, diarsiteki adalah seorang non-muslim bernama Freiderich Silaban. Munkin hal ini adalah sesuatu yang sulit terjadi lagi hari ini, namun pada periode lampau hal demikian mampu berpadu harmonis. Bahkan karya nyata yang ia ketengahkan tersebut bukan hanya masih bisa digunakan umat Islam untuk beribadah hingga hari ini, namun juga masih dapat dinikmati keindahnnya oleh semua pihak. Tidak mengherankan bila masjid tersebut pun bahkan menarik perhatian seorang Presiden Amerika Serikat yaitu Barack Obama dan Donald Trump untuk mengunjuginya.

Tentunya tiga riwayat singkat para tokoh di atas hanyalah potongan kecil dari deretan kisah para tokoh dan pejuang lainnya yang jarang terungkap. Lebih-lebih lagi bila kita ingin mengaitkannya dengan penghargaan yang tinggi atas sebuah keberagaman. Namun meski demikian kita tak dapat menutup mata atas riwayat keberagaman bangsa ini. Generasi hari ini tidak sepatutnya beranjak untuk melupakan semua warna-warni bangsa ini dan menggantinya dengan keseragaman atas nama kultur atau agama tertentu. Sebab bila kita melihat semua karya para founding fathers/mothers bangsa ini maka jelas sikap yang mengutamakan identitas tertentu merupakan sebuah pengkhianatan terbesar atas karya-karya nyata dan praktik baik yang telah mereka hadirkan.

Mesti kita sadari bersama bahwa semangat keberagaman atau multikulralisme sudah merupakan bagian dari wawasan kebangsaan kita bersama. Penegasannya tercitra dalam setiap bagian dari riwayat peradaban bangsa ini. Sehingga bila hal tersebut kita abaikan, maka sama saja mencabut identitas bangsa ini dan menggantinya dengan ideologi luar yang jelas-jelas tidak tepat dengan semangat pluralitas negara ini.

Facebook Comments