Ada kesalahan pola berpikir sebagian kecil umat yang tidak sejalan dengan ajaran Islam dan sunnah Nabi ketika menganggap orang di luar Islam sebagai musuh. Apalagi dalam konteks tertentu menganggap hartanya halal, begitu pula darahnya. Pola pikir seperti ini yang justru merusak citra Islam karena tentu saja bertentangan dengan inti ajaran Islam dan akhlak Nabi Muhammad.
Musuh sebenarnya Islam adalah orang yang memusuhi Islam dan umat Islam. Itu tidak bisa ditolak. Dan umat Islam wajib mengangkat senjata ketika dalam kondisi terserang baik nyawa, harta, tanah dan tempat mereka hidup. Bahkan, bukan saja kepada yang berbeda agama, terhadap yang seagama, jika ada sekelompok umat Islam yang keluar dari perjanjian damai maka statusnya menjadi buhgat yang harus ditumpas.
Mendefinisikan Musuh dalam Islam
Dalam pandangan ini, musuh dalam Islam dipahami sebagai orang atau sekelompok yang mengancam dan merusak komunitas umat Islam dan komunitas yang dibangun umat Islam bersama keyakinan lain atas nama perjanjian. Bukan persoalan keyakinan dan agamanya, tetapi lebih pada sikap memusuhi dan mengancam stabilitas komunal. Itulah musuh umat Islam yang harus diperangi.
Sekali lagi, persoalannya bukan agamanya. Persoalan utama adalah ancaman terhadap komunitas Islam. Jika berbeda agama tetapi tidak mempunyai potensi merusak umat Islam dan bahkan hidup berdampingan, tidak ada satu pun alasan bagi umat Islam membenci, memusuhi, memerangi apalagi membunuh non muslim. Ingatlah perkataan Nabi yang mengancam tidak akan mencium surga mereka yang membunuh mua’had atau non muslim dalam perjanjian dengan kaum muslimin.
Nabi Muhammad adalah prototipe insan toleran yang paling sempurna. Dalam banyak kisah Nabi begitu sangat menghormati mereka yang berbeda agama, apalagi yang menjalin perjanjian damai. Penduduk Kristen Najran bahkan mendapatkan jaminan keselamatan dari Nabi agar anak-anak, para wanita, para pemuka agama dan gereja mereka tidak boleh diganggu dan dirusak.
Nabi kerap bergaul dengan non muslim apalagi tetangganya. Ia bersilaturrahmi dan mengunjungi mereka ketika sakit. Nabi pun berbela sungkawa ketika dari mereka meninggal. Nabi juga mempunyai teman dekat rabi Yahudi. Dalam perang Uhud, ia ikut terjun membela Islam dalam medan tempur menghadang pasukan kafir Quraisy yang mengancam Madinah.
Nabi mempunyai keluwesan pergaulan tingkat tinggi. Penguasa Habsyah yang beragama Nasrani di Ethopia adalah salah satu sabahat Nabi. Rasulullah pernah meminta suaka politik terhadap raja yang bijaksana tersebut saat kondisi di Makkah tidak kondusif bagi para sahabat Nabi.
Sikap seperti inilah yang ditunjukkan oleh para penerus Nabi. Abu Bakar melakukan peperangan bukan kepada non muslim, tetapi kepada orang-orang murtad yang mengganggu stabilitas keamanan Madinah. Selain itu, munculnya Nabi-nabi palsu setelah wafatnya Nabi dipandang akan merusak keyakinan dan kohesi sosial umat Islam. Tentu saja, mereka para pembangkang perjanjian dan tidak membayar zakat menjadi musuh utama Islam ketika itu.
Ketika Khalifah Umar pun menaklukkan beberapa kekuasaan politik di jazirah Arab, praktek toleransi terhadap yang berbeda agama sangat dimuliakan. Perjanjian Umar di Palestina untuk tidak memngusir, membunuh, dan merobohkan bangunan ibadah adalah contoh utama dari keteladanan seorang khalifah penerus Nabi.
Musuh adalah Kriteria Sosiologis, Bukan Teologis
Persoalan utama adalah perbedaan keyakinan bukan hal yang menjadikan seorang menjadi musuh umat Islam. Musuh umat Islam adalah mereka yang mengancam kondisi umat Islam. Gerakan kecil umat Islam yang merusak tatanan sosial akan dianggap musuh dan layak ditumpas. Mereka yang keluar dari jamaah dan memilih sikap murtad yang mengancam stabilitas adalah musuh. Mereka yang tidak taat terhadap perjanjian adalah musuh dan layak diusir.
Islam menempatkan musuh sebagai kategori sosial-politik, bukan pada aspek teologis. Dari sini jelas, bukan persoalan agamanya, karena Nabi bergaul dan non muslim pun bersama di Madinah melindungi teritori tersebut. Begitu pula Islam secara ajaran, tidak pernah menentang keberadaan agama sebelumnya, justru menegaskan diri sebagai penerusnya.
Artinya, Islam tidak memiliki masalah dengan aspek teologi agama-agama, tetapi yang bermasalah dengan praktek umat suatu agama dalam memberikan dampak ancaman terhadap Islam. Dalam tataran ajaran, Islam tidak pernah menjadi agama dengan ajaran tertentu sebagai musuh. Tetapi, praktek umat beragama yang menyelewengkan ajaran agamanya dan membuat persekutuan jahat memusuhi Islam adalah kriteria musuh Islam itu sendiri.
Dengan demikian, musuh yang sebenarnya bukan non muslim, tetapi individu dan kelompok yang ingin mengancam stabilitas keamanan umat Islam dan umat yang terikat dalam perjanjian damai. Dalam prakteknya, Nabi dan para sahabat mempunyai cerita dan kisah yang indah dalam pergaulan dengan yang berbeda agama. Non muslim bukan musuh kaum muslimin. Musuh sesungguhnya adalah mereka yang mengancam kesatuan umat Islam baik itu non muslim maupun muslim sendiri.