Potensi terjadinya teror dan kekerasan di momen akhir tahun, terutama pada perayaan Natal dan Tahun Baru tidak bisa dipandang sepele. Gejala kebangkitan sel teroris, terutama yang berafiliasi dengan ISIS sudah diendus aparat keamanan sejak pertengahan tahun.
Puncaknya, pada bulan Oktober dan November lalu, aparat Densus 88 menangkap puluhan anggota teroris dari sejumlah wilayah di Indonesia. Terungkap bahwa mereka berencana melakukukan “amaliyah” di momen Natal dan Tahun Baru serta berniat menggagalkan Pemilu.
Pemilihan momentum serangan yakni Natal-Tahun Baru dan Pemilu tentu bukan kebetulan belaka. Serangan teror di momen Pemilu bertujuan untuk menggagalkan pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Alasannya jelas, yakni bahwa Pemilu adalah manifestasi sistem demokrasi yang bagi kelompok ekstrem adalah produk orang kafir yang bertentangan dengan Islam.
Sedangkan perayaan Natal dan Tahun Baru dipilih sebagai momentum melancarkan aksi teror karena dua peringatan itu identik dengan umat Kristen yang merupakan kelompok minoritas di negeri ini. Seperti kita tahu, salah satu sasaran teror kelompok radikal adalah kelompok minoritas. Mengapa kaum minoritas selalu rentan dijadikan sasaran teror dan kekerasan?
Mengapa Minoritas Rentan Mengalami Kekerasan?
Ada setidaknya faktor atau penyebab mengapa kelompok minoritas rentan mengalami teror dan kekerasan. Pertama, jelas secara demografis jumlah kelompok minoritas yang sedikit membuat mereka lemah secara kekuatan dan posisi tawar di ruang publik. Alhasil, kelompok minor kerap berada dalam posisi fait accomply alias tidak punya pilihan dengan menerima perlakukan diskriminasi, persekusi, bahkan kekerasan.
Kedua, adanya pandangan bahwa keberadaan kaum minoritas adalah ancaman bagi kelompok mayoritas. Seringkali, dalam sebuah ekosistem masyarakat, keberadaan kaum minoritas dianggap sebagai ancaman atau musuh yang dapat mengambil-alih dominasi kaum mayoritas. Maka, ada upaya untuk mengeliminasi kaum minoritas dengan beragam cara termasuk cara teror dan kekerasan.
Ketiga, adanya labelisasi bahwa kelompok minoritas adalah kaum menyimpang yang membawa ajaran sesat dan berbahaya bagi tatanan moral kaum mayoritas. Steretype yang demikian ini umumnya berasal dari penafsiran keagamaan yang salah. Kelompok mayoritas (agama) merasa bahwa ajaran agamanyalah yang paling benar sehingga menganggap agama minoritas salah dan menyesatkan.
Keempat, kekerasan terhadap kaum minoritas juga bisa dilatari oleh faktor-faktor lain seperti kontestasi politik atau pun kesenjangan ekonomi. Dalam banyak kasus, kekerasan terhadap minoritas terjadi karena provokasi isu politik. Selain itu, kita juga tidak bisa menutup mata pada banyaknya kasus kekerasan terhadap minoritas yang dilatari oleh faktor kecemburuan sosial akibat kesenjangan ekonomi.
Jika dilihat secara spesifik dalam konteks ancaman teror di momen Natal dan Tahun Baru, kita bisa menyimpulkan bahwa faktornya adalah kebencian terhadap umat Kristen oleh kelompok radikal. Keberadaan minoritas Kristen dianggap sebagai ancaman atau musuh bagi agenda kelompok radikal-ekstrem. Mereka (kaum radikal-ekstrem) menganggap bahwa kelompok non-muslim sebagai penghalang agenda mendirikan negara khilafah yang menerapkan syariah secara formalistik.
Menguatkan Narasi Saling Melindungi Antar-Agama
Anggapan yang demikian itu jelas salah-kaprah. Islam sendiri tidak pernah memiliki doktrin kebencian terhadap agama lain. Di dalam Islam, pemeluk Yahudi dan Nasrani bahkan tidak disebut sebagai kafir, melainkan Ahlul Kitab yang wajib kita hormati. Islam menyerukan umatnya untuk senantiasa menjalin relasi harmonis dengan pemeluk agama lain.
Selain itu, dalam konteks negara bangsa Indonesia, stigmatisasi negatif sterhadap minoritas jelas tidak bisa dibenarkan. Dalam konstitusi UUD 1945 jelas disebutkan bahwa setiap warganegara memiliki hak dan kebebasan beragama yang setara. Pemberangusan hak kebebasan beragama dan beribadah, apalagi melalui cara-cara kekerasan bukan hanya kriminal biasa, namun juga dikategorikan sebagai pelecehan terhadap konstitusi UUD 1945.
Ancaman teror yang terus berulang saban Nataru ini tentu membutuhkan dua pendekatan penyelesaian. Pertama, pendekatan keamanan yakni dengan mengintensifkan kerja aparat keamanan dalam membongkar jaringan teroris. Lebih spesifiknya lagi adalah memperketat pengamanan gereja pada saat misa Natal dan juga pengamanan di obyek-obyek vital selama libur Tahun Baru.
Kehadiran aparat keamanan secara masif di ruang publik terutama gereja dan obyek vital lain akan memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat, terutama kelompok minoritas.
Kedua, hal yang tidak kalah pentingnya adalah menguatkan narasi saling menjaga dan melindungi antara kelompok mayoritas dan minoritas. Kita harus membangun kesadaran bahwa kelompok mayoritas memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan kelompok minoritas mendapatkan hak-haknya sebagai warganegara. Termasuk hak untuk beribadah dengan rasa aman tanpa ada diskriminasi, intoleransi, intimidasi, apalagi persekusi.