Musyawarah Merupakan Jembatan Persaudaraan

Musyawarah Merupakan Jembatan Persaudaraan

- in Narasi
1564
3
Musyawarah Merupakan Jembatan Persaudaraan

Dalam firman Allah Swt. yang terdapat pada QS. An-Nisaa’ [04]: 59 memperlihatkan bagaimana seorang yang memiliki ketaatan dalam beragama, maka ia diwajibkan untuk taat kepada Allah Swt., sunnah rasul serta taat kepada pemimpin yang baik. Ketiga komponen ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, sebab ketiganya merupakan landasan seseorang yang mewujudkan ketaatan seseorang.

Dari ketiga komponen dalam landasan seseorang beragama, hal yang sangat sulit adalah ketaatan kepada pemimpin. Dalam sejarah setelah wafatnya kehidupan Nabi Muhammad Saw., keberadaan pemimpin saat ini sangat sulit untuk dipilah mana yang pemimpin yang benar-benar pemimpin atau hanya pemimpin mencari keuntungan dunia. Bahkan sampai sekarang, banyak pemimpin yang berlabel agama Islam, tetapi dalam menjalankan amanah yang diembannya tidak sesuai dengan janji dan sumpah sejak awal.

Melihat fenomena kepemimpinan yang begitu rapuh dalam kehidupan kini, kemudian timbul sebuah pertanyaan, bagaimana mewujudkan sebuah kepemimpinan yang baik itu? seperti yang disebutkan sebelumnya, dalam menjadi seorang yang taat beragama seperti dalam firman Allah Swt. dalam QS. Anisa ayat 59 harus taat kepada Allah Swt. dan Rasul.

Salah satu yang mencolok dari ajaran Nabi Muhammad Saw. dalam menjadi pemimpin adalah mempersatukan umat manusia yang di dalamnya banyak keragaman, baik cara berpikiran, kebudayaan dan lainnya sebagainya. Nabi tidak hanya sebagai imam dalam keagamaan semata, melainkan sebagai pemimpin bagi kehidupan masyarakat secara umum.

Nabi secara tegas dalam memimpin harus mementingkan keselamatan umum, bukan keselamatan yang berpihak kepada orang-orang tertentu. Dalam catatan sejarah, Nabi secara tegas mengambil keputusan yang berdampak pada kepentingan umum dan kepada orang-orang miskin. Tindakan ini yang jarang ditiru oleh pemimpin zaman now; melihat pemimpin sekarang sangat sukar membedakan antara kepentingan kemaslahatan secara umum atau kepentingan pribadi.

Kita bisa melihat bagaimana karakter pemimpin yang mempersatukan umat pada perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini merupakan perjanjian yang dilakukan dari pihak kaum Musyrikin Mekah dengan Rasulullah sekitar tahun-tahun keenam hijrah sekitar tahun 628 M. Perjanjian ini berlangsung di lembah Hudaibiyah, yaitu tepatnya di pinggiran Mekah.

Dalam perundingan perjanjian damai tidak serta-merta mudah dicapai, sebab masing-masing pihak ingin saling berkuasa dalam perundingan ini. Perundingan begitu susah sangat terlihat saat perwakilan pihak Quraish mengutus Suhail bin ‘Amr. Dalam perundingan ini, Suhail mendapat pesan dari pimpimpinan Quraisy, “datangi Muhammad dan adakan persetujuan dengan dia. Dalam persetujuan itu untuk tahun ini ia harus pulang. Jangan sampai ada kalangan Arab mengatakan bahwa ia telah berhasil memasuki tempat ini dengan kekerasan.”

Sesampainya Suhail ke tempat Nabi, perundingan perdamaian dan syarat-syaratnya secara panjang lebar pula dibicarakan. Sekali-kali pembicaraan itu hampir saja terputus yang kemudian dilanjutkan lagi, mengingat bahwa kedua belah pihak sama-sama ingin mencapai hasil. Pihak muslimin di sekeliling Nabi juga turut mendengarkan pembicaraan itu.

Ada beberapa sahabat yang ada di sekeliling Nabi sudah tidak sabar lagi melihat Suhail yang begitu ketat dalam beberapa masalah, sedangkan Nabi menerimanya dengan cukup memberikan kelonggaran. Kalau tidak karena kepercayaan Muslimin yang mutlak kepada Nabi, niscaya hasil persetjujuan itu tidak akan mereka terima. Akan mereka hadapi dengan perang supaya masuk ke Mekkah atau sebaliknya.

Begitu sulitnya dalam menentukan titik temu yang dapat diterima dari kedua pihak, hingga akhirnya mendapatkan persetujuan kedua belah pihak. Mereka kemudian menyetujui untuk diselenggarakan perjanjian yang dikenal sebagai perjanjian Hudaibiyah antara pemuka Quraisy dengan Nabi. perundingan menghasilkan beberapa kesepakatan.

Isi perjanjian hudaibiyah tersebut menunjukkan kepada kita betapa Islam agama yang besar dan sekaligus menunjukkan kearifan sikap Nabi. Sungguh pun isi perjanjian itu tampak sekali merugikan umat islam, namun denagn perjanjian ini membuka banyak peluang strategi perjuangan Nabi. Bisa dikatakan, perjanjian Hudaibiyah merupakan suatu kemenangan yang nyata sekali. Dan memang demikianlah adanya.

Sejarah mencatat, bahwa isi perjanjian ini merupakan suatu hasil politik yang bijaksana dan pandangan yang jauh, yang besar sekali pengaruhnya terhadap masa depan Islam dan masa depan orang-orang Arab itu semua. Selain itu, ini merupakan hal pertama yang dilakukan pihak Quraisy mengakui Nabi Muhammad Saw., sebagai pemberontak terhadap mereka, melainkan sebagai orang yang tegak sama tinggi, duduk sama rendah.

Facebook Comments