Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

- in Narasi
44
0
Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok teroris. Bagaimana tidak? Mereka kini merasa seperti hantu, yang sebenarnya menakutkan, namun tidak tampak. Narasi euforia narasi zero terrorist attack yang menghadirkan semacam keamanan dan kenyamanan semu di tengah masyarakat.

Misalnya, jika dulu kita ingin memasuki gedung publik seperti mal, hotel, atau kantor pemerintahan, pengecekan tas, koper, bahkan tubuh dengan metal detector adalah SOP yang standar. Hari ini, mayoritas gedung publik tidak lagi menerapkan standar pelayanan tersebut. Setiap orang bebas masuk tanpa pengecekan yang ketat.

Hal itu berbeda terjadi di era ketika aksi terorisme kerap terjadi. Bukan hanya tubuh dan tas bawaan, bahkan kolong kendaraan pun diperiksa secara teliti oleh petugas keamanan. Hari ini, kita merasa telah bebas sepenuhnya dari ancaman terorisme. Tanpa menyadari bahwa terorisme adalah aksi yang kerap kali tidak bisa diprediksi kapan dan dimana akan terjadi.

Pembubaran HTI, FPI, dan terakhir JI memang mendatangkan optimisme bahwa negeri ini akan steril dari anasir ekstremisme. Optimisme memang diperlukan dan penting. Namun, jangan sampai optimisme itu justru melemahkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan kita.

Kisah tragedi Kuda Troya dalam mitologi Yunani patut menjadi pelajaran, bagaimana optimisme tanpa rasionalitas itu justru menjadi bumerang yang menyerang balik. Mitologi Kuda Troya itu relevan untuk dijadikan sebagai gambaran kita dalam melawan terorisme. Benarkah terosisme kalah total dan mengalami kebangkrutan sehingga mustahil bangkit lalu eksis kembali? Atau mereka hanya tiarap sementara, sambil menunggu momentum?

Satu hal yang wajib kita pahami, kelompok ekstrim itu tidak hanya satu varian. Di Indonesia saja kita mengenal beragam varian gerakan ekstrem. Mulai dari Jamaah Islamiyyah, Mujahidin Indonesia Timur, Jamaah Ansharut Tauhid, Jamaah Ansharut Daulah, dan Jamaah Ansharu Syariah. Itu artinya, gerakan teroris itu terfragmentasi ke dalam berbagai varian. Acapkali, di antara mereka sendiri terlibat selisih paham, bahkan saling mengkafirkan satu sama lain.

Tempo hari ketika JI membubarkan diri, kita mengalami semacam euforia. Tanpa sadar bahwa entitas gerakan radikal ekstrim lain seperti JAT, JAD, dan JAS masih eksis sampai hari ini. Ibarat sel makhluk hidup, sel teroris juga terus bermutasi, beradaptasi sesuai dengan tantangan yang dihadapi.

Ketika HTI dibubarkan, banyak pentolan, anggota, dan sinpatisannya yang membentuk organisasi dengan nama baru, namun mengusung misi yang sama. Sebagian juga menyeberang dan menyusup ke lembaga pendidikan, dan ormas keagamaan.

Harus diakui, kelompok radikal ekstrem memang punya kemampuan resiliensi yang mumpuni dalam menghadapi berbagai tantangan. Mutasi sel terorisme itulah yang kiranya juga patut diwaspadai di tengah euforia narasi zero terrorist attack. Bukan tidak mungkin, kelompok teror ini bermutasi.

Mutasi sel terorisme di tengah kondisi nihil serangan ini bisa mewujud ke dalam setidaknya dua hal. Pertama, faksionalisme yakni munculnya kelompok sempalan baru dari kelompok yang sudah eksis sebelumnya dan teridentifikasi oleh aparat. Bisa saja, kelompok yang selama ini terafiliasi dengan JAD, JAT, atau JAS membentuk sel baru untuk mengelabuhi aparat keamanan.

Faksionalisme adalah fenomena yang khas dalam gerakan radikal ekstrem. Ketika organisasi tempat mereka bernaung goyah, maka dipastikan para anggota dan simpatisannya akan membentuk sel organisasi baru yang lebih kecil. Ibarat kapal yang akan tenggelam, mereka selalu sedia sekoci terlebih dahulu.

Kedua, selain faksionalisme, mutasi sel teroris juga bisa mewujud pada aksi teror tunggal alias lone wolf terrorism. Aksi teror tunggal biasanya dilakukan tanpa perencanaan matang, menggunakan sumber daya dan dukungan logistik seadanya, tidak menargetkan obyek vital besar. Aksi teror tunggal biasanya dimaksudkan untuk sekedar mengirim pesan bahwa sel teroris masih eksis.

Selama ini, ada kesna bahwa aksi teror tunggal kerap dianggap tidak berbahaya. Lantaran skalanya kecil dan tidak masif. Namun, George Mitchel, pengkaji terorisme mewanti-wanti bahwa aksi teror tunggal tidak boleh disepelekan. Aksi teror tunggal akan menginspirasi sel lain untuk bangkit dan melakukan hal serupa. Tidak hanya itu, aksi teror tunggal juga bisa mengancam stabilitas keamanan sebuah negara jika dilakukan berulang kali.

Mutasi terorisme di tengah kondisi nihil serangan inilah yang patut diwaspadai. Munculnya kelompok baru dan aksi teror tunggal adalah ancaman nyata yang patut diwaspadai di tengah euforia narasi zero terrorist attack.

Facebook Comments