Nasionalisme dan Agama Pondasi Eksistensi NKRI

Nasionalisme dan Agama Pondasi Eksistensi NKRI

- in Narasi
1803
0
Nasionalisme dan Agama Pondasi Eksistensi NKRI

Agama dan nasionalisme seharusnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling terkait. Mengutip pernyataan dari KH Said Aqil Siraj, bila agama saja tanpa tanpa nasionalisme belum bisa menyatukan umat yang terdiri dari lintas agama, suku, ras dan etnis. Begitupun nasionalisme saja tanpa agama akan menyebabkan nasionalisme yang kering. Kering karena tidak didasari dari sebuah keyakinan agama. Jadi nasionalismenya hambar.

Sebenarnya, nasionalisme tidak bertentangan dengan agama. Justru zaman dulu Mbah Hasyim Asy’ari menyatakan bila membela tanah air dan melawan penjajah adalah fardhu ‘ain. Hukumnya tidak sunnah apalagi mubah, justru fardhu ‘ain. Matinya termasuk mati syahid. Ini menandakan bila kecintaan terhadap tanah air atau istilah lainnya nasionalisme merupakan hal yang sangat penting. Bahkan Mbah Hasyim menyebut bila hubbul wathon minal iman (cinta tanah air bagian dari iman).

Tak bisa kita bayangkan apa jadinya bila para pendahulu kita tidak mempunyai rasa cinta tanah air. Tidak merasa memiliki tanah air Indonesia ini. Mungkin NKRI tidak akan berdiri. Orang-orang zaman dulu telah merebut kemerdekaan dan kita sebagai generasi penerus bangsa harus mengisi kemerdekaan itu. Dan yang pertama harus kita pupuk yaitu nasionalisme atau cinta tanah air.

Tanah air merupakan tempat kita hidup. Tempat kita lahir dan dibesarkan. Tidak mungkin kita hidup tanpa berpijak di tanah air. Kalau masih mengharam-haramkan cinta tanah air, mau hidup di planet Mars, bulan atau sekalian mataharikah?

Sedangkan agama merupakan keyakinan yang berisi seperangkat ajaran. Ajaran tersebut berisi tentang mengatur hubungan manusia dengan Allah serta mengatur hubungan manusia dengan makhluk hidup lain. Cinta tanah air dalam agama tidak ada larangan. Bahkan dulu cinta pada tanah airnya. Baik Mekah maupun Madinah.

Ukhuwah Wathoniah atau Nasionalisme

Dalam konteks cinta tanah air atau nasionalisme, salah seorang ulama besar yang juga pernah menjabat Rais ‘aam PBNU, Mbah Ahmad Shiddiq menggagas tiga jenis ukhuwah atau persaudaraan. Yang pertama yakni ukhuwah Islamiyah. Di mana kita sebagai umat Islam di manapun, dari negara apapun serta suku apapun adalah saudara. Kedua ukhuwah wathoniah. Ukhuwah wathoniah berarti kita sebagai satu warga negara adalah bersaudara. Apapun agama, suku, ras dan etnisnya. Lalu yang terakhir adalah ukhuwah insaniyah. Artinya, kita bersaudara dengan manusia-manusia lain di bumi ini. Tanpa sekat agama, suku bangsa, ras dan negara.

Lalu di manakah letak nasionalismenya? Nasionalisme itu ya termasuk dalam ukhuwah wathoniah. Selain cinta tanah air, nasionalisme juga harus mencintai sesama warga bangsa negara. Karena kita semua bersaudara. Ukhuwah wathoniyah mengajarkan kita untuk saling menghormati sesama anak bangsa dan merasa satu bangsa meskipun kita diciptakan berbeda-beda. Ada yang bersuku Jawa, Sunda, Madura, Dayak, Batak dan lain-lain. Bahasanya pun berbeda antar suku satu dengan yang lain. Selaim itu agamanya juga berbeda antara satu dengan yang lain.

Oleh sebab itu, tidak sepantasnya kita meletakkan nasionalisme bertentangan dengan agama. Justru nasionalisme dan agama mampu bersanding mesra. Nasionalisme mampu menjadi bahan bakar pemersatu umat dan anak bangsa. Dan agama menjadi motor penggerak pemberadaban dan pembetukan karakter bangsa.

Dan perlu kita pahami juga, nasionalisme Indonesia itu khas. Karena nasionalisme di Indonesia dilandasi agama. Bukan nasionalisme yang sekuler atau yang lainnya. Maka kita tak perlu lagi menayakan apakah nasionalisme itu boleh atau tidak. Haram atau tidak. Nasionalisme hanyalah istilah baru dari luar negeri sana yang substansinya sudah ada dalam agama.

Facebook Comments