Pada dasarnya ormas itu adalah wadah yang bisa menjembatani antara ulama dan umara. Masukan, kritikan, dan pandangan ulama sering disuarakan lewat ormas. Itulah sebabnya, oleh sebagian pakar menyebut, salah satu cara mewujudkan masyarakat madani adalah dengan mengaktifkan ormas.
Mengaktifkan ormas maksudnya bukan berarti ormas menjadi rival negara atau ormas menjadi seperti negara dalam negara, melainkan bersifat aktif dalam menjalankan dan membantu agar tercapainya tujuan-tujuan negara.
Posisi strategis ini, belakangan dirusak oleh oknum-oknum tertentu. Ormas keagaamaan yang dulunya posisinya sangat dicintai masyarakat sebab bisa menampung dan menyaurakan aspirasi warga, kini banyak di antara warga yang sudah resah dan mulai bosan akibat olah kelakuan negatif ormas tertentu.
Kelakuan ormas yang meresahkan itu adalah mempertentangkan antara ulama di satu sisi, dan umara di sisi yang lain. Anehnya, yang disebut ulama bukan seperti ulama dalam pengertian yang luas, melainkan orang yang ikut dengan kelompok dan ideologi mereka.
Tidak sedikit ormas yang justru menggorogoti kesepakatan bangsa ini. Ingin mendirikan negara bersyariah, khilafah, melakukan pemaksaan dan kekerasan terhadap pemahaman mereka yang mereka anggap paling benar. Kerja-kerja negara banyak diambil alih oleh ormas meresahkan ini.
Dalam konteks ini, ormas dengan kelakukan seperti ini sudah menjadi negara dalam negara. Kebenaran satu-satunya adalah kebenaran yang dimiliki oleh ormas mereka. Ormas inilah sebagai penentu. Itulah sebabnya, banyak orang bersuara agar negara tak boleh kalah dengan ormas model beginian.
Logika Biner
Politik identitas sering mempolarisasi sesuatu. Logika dikotomik sering dipakai. Lawan versus kawan menjadi paradigma. Hal ini jugalah yang terjadi dalam hubungan antara ulama dan umara. Kedua identitas ini oleh oknum-oknum tertentu dibenturkan dan dihadap-hadapkan.
Ulama yang berseberangan dengan pemerintah dianggap ulama yang baik, benar, dan ikhlas, sementara ulama yang mendekat kepada umara dianggap ulama jahat, sesat, bahkan sering dicap ulama penjilat.
Ukuran keulamaan bukan lagi atas dasar keilmuwan dan dekat dengan masyarakat, melainkan dekat atau tidaknya dia dengan umara. Hadis yang menyatakan “Seburuk-buruk ulama adalah yang dekat dengan umara, dan sebaik-baik umara yang dekat dengan ulama” dijadikan sebagai landasan legitimasi.
Akibatnya, kata “ulama” seolah-olah memiliki makna pejoratif. Gambaran ulama tidak jauh dari mereka para penceramah agama yang suka memaki, berkata kasar, dan berucap kotor kepada penguasa. Di media sosial, ada semacam syarat, bahwa seseorang disebut ulama, apabila orang itu bisa dan suka mengkritik umara.
Jika belum mau mengkritik umara, apalagi dekat dan justru berkoalisi dengan umara, mereka –oleh golongan tertentu –dicap sebagai “ulama abal-abal.” Berapa banyak ulama yang dicap ulama abal-abal, hanya gara-gara tidak sesuai dengan kelompok dan kepentingan politik mereka.
Tidak Bermusuhan
Polarisasi dan standar di atas tidak ada pijakannya dalam historisitas Islam. Islam tidak mengenal pemisahan apalagi dianggap bermusuhan antara ulama dan umara. Terkait dengan hadis yang dikutip di atas, bahwa seburuk-buruk ulama adalah yang dekat dengan umara, dan sebaik-baik umara yang dekat dengan ulama, tidak sesimpel bunyi redaksionalnya.
Jalaludidin Rumi dalam kitabnya Fihi Ma Fihi menjelaskan bukan berarti ulama tidak boleh dekat dengan pemrintah atau ulama yang dekat dengan penguasa dianggap buruk, sebaliknya umara yang dengan ulama dianggap baik. Bukan seperti itu.
Menurut Rumi, hadis ini soal niat dan tujuan. Artinya jika ada seseorang (baca: ulama) menuntut ilmu akan tetapi tujuannya bukan untuk menggapai ridha Allah atau bukan untuk menghilangkan kebodohannya, melainkan untuk mendapatkan posisi “basah” di samping penguasa, atau dia menuntut ilmu untuk menyenangkan hati serta meligitimasi segala kebijakan penguasa, maka dialah seburuk-buruk ulama.
Sekali lagi, hadis itu soal niat dan tujuan, bukan soal kolaborasi dalam hal menyelesasikan persoalan keummatan dan kebangsaan. Dengan demikian, menurut Rumi, jika ada ulama meski secara fisik dan kedudukan jauh dari umara, akan tetapi dalam hatinya justru pengen mendapatkan posisi basah atau segala tindakannya sebenarnya ingin bertujuan menyenangkan umara, maka dia masuk dalam kategori seburuk-buruk ulama.
Ukurannya adalah niat dan tujuan. Jika tujuan mencaci, mengumbar kata-kata kotor, serta ujaran kebencian itu tujuannya agar dia dirangkul oleh penguasa, maka ia bisa dimasukkan kepada ketegori seburuk-buruk ulama.
Harus Bergandengan Tangan
Ulama dan umara harus bergandengan tangan. Keduanya jangan dipertentangkan. Kolaborasi yang baik, dengan mengetahui posisi masing-masing, akan bisa menyelesaikan persoalan keummatan dan kebangsaan.
Ulama selaian bertugas menjaga ummat dia juga berkewajiban menjaga bangsa. Pun demikian dengn umara, harus bisa merangkul semuanya dengan menjadikan ulama tempat bertanya dan meminta arahan.
Menjadikan kedua soalah-olah seperti hubungan bawang merah dan bawang putih, sangat berbahaya dalam konteks berbangsa dan bernegara. Polarisasi dan logika dikotomik yang membedah kedua dalam posisi biner harus dihentikan.
Para pendahulu kita sudah memberikan contoh riil kepada kita, bagaimana kolaborasi yang apik antara ulama dan umara dalam memerdekankan bangsa ini. Seorang Kyai muda dan energik, KH. Wahid Hasyim bisa dengan mantap berkolaborasi dengan Sukarna dan Hatta umpamanya.
Bahkan nama dua nama yang disebutkan terakhir itu justru sering meminta pendapat, usulan, adan arahan dari para ulama. Mereka bergandengan tangan demi menyelesaikan persoalan bangsa. Hal yang sama pun harus kita lakukan. Ulama memberikan masukan dan pendapat. Silakan memberikan kritik, akan tetapi harus tetap dalam koridor kritik konstruktif. Umara pun demikian, harus meminta pendapat dan wejangan kepada ulama dengan tetap berpegang kepada konstitusi negara.