November adalah bulan refleksi kepahlawanan. Karena di dalamnya ada peringatan Hari Pahlawan pada setiap 10 November. Internalisasi dan kontekstualisasi nilai kepahlawanan mesti dioptimalkan dan ditransformasikan. Spirit dan laku kepahlawanan mesti hadir pada diri generasi milenial. Salah satu tantangannya adalah dinamika virtual yang membutuhkan jihad perlawanan terhadap hoaks, adu domba, dan konten negatif lainnya.
Jagad virtual khususnya media sosial adalah medan aktifitas kekinian yang menjadi keniscayaan. Sisi positifnya adalah arus informasi menjadi cepat dan mudah. Potensi ekonomi digital juga sangat menjanjikan. Sayangnya ada celah masukknya sisi negatif berupa konten negatif dan arus informasi hoaks. Untuk itu diperlukan kecerdasan bermedia social guna menangkal hoaks dan mengantisipasi adu domba.
Belum lama ini, jagad perpolitikan nasional tertimpa tsunami informasi. Yaitu tsunami hoaks yang dahsyat dan sebaran dampaknya menjangkau seluruh nusantara. Tsunami hoaks merupakan bencana yang sama-sama harus ditangani dan direnungi.
Baca juga :Urgensi Pendidikan Politik Digital
Kabar hoaks kali ini datang dari aktifis dan seniman senior Ratna Sarumpaet. Awalnya Ratna mengaku dianiaya dengan segudang drama yang menyita perhatian publik. Tidak tanggung-tanggung, sebagai bagian Tim Pemenangan Prabowo-Sandi, Prabowo dan tim langsung menggelar konferensi pers. Baru setelahnya dan dibuktikan investigasi Polri, Ratna akhirnya mengaku bahwa semua itu adalah hoaks yang bersumber dari kebohongannya.
Pengakuan dan permohonan maaf Ratna patut diapresiasi. Namun langkah hukum dipersilakan kepada Polri untuk ditegakkan secara berkeadilan. Potret kasus Ratna Sarumpaet ini kembali menampar kita untuk terus hati-hati dalam mengelola kabar dan mengantisipasi gelombang hoaks.
Tantangan Virtual
Hoaks diprediksi semakin merajalela di akhir tahun 2018 ini. Semua pihak berpotensi memproduksi, menyebarkan, serta disasar serangan hoaks, baik sengaja atau tidak sengaja. Fenomena ini merupakan implikasi dimulainya kampanye secara resmi sejak 23 September 2018.
Pemilu 2019 menjadi pemilu perdana yang menggabungkan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Puncaknya sendiri akan diselenggarakan pada 17 April 2019. Namun perang digital diprediksikan akan berlangsung panas. Semua pihak telah berkomitmen dan mendeklarasikan kampanye damai.
Kontestasi Pemilu 2019 diprediksi akan penuh kompleksitas, baik sisi teknis maupun dinamika pelakunya. Apapun itu prinsip kontestasi demokrasi mesti ditambah, tidak cukup LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia). Namun, harus ditambah dengan bersih dan damai. Iklim sosial politik yang bersih dari hoaks menjadi salah satu kunci terciptanya dinamika kehidupan yang damai.
Salah satu konsekuensi yang mesti disadari sejak dini oleh semua pihak adalah potensi polarisasi politik yang dapat menimbulkan gesekan horizontal. Singgungan dan gesekan merupakan keniscayaan dalam kontestasi demokrasi. Hal penting diantisipasi adalah jangan sampai gesekan tersebut membesar dan melebar hingga berbuah konflik.
Konflik horisontal yang melanda Indonesia, terindikasi lebih dipengaruhi oleh politik penguasa ketimbang ketidakcocokan etnis atau SARA (Andreas, 2017). Selanjutnya dipaparkan ada 4 (empat) penyebab sumber konflik. Pertama, perbedaan akses terhadap sumber-sumber ekonomi yaitu pengaturan lahan, hutan, mineral, pasar dan distribusi, bank, kesempatan berkuasa, pengangguran, kemiskinan dan perlindungan politik.
Kedua, pengaturan perluasan batas-batas budaya seperti bahasa, pemukiman, simbol publik, upacara publik, pakaian, kesenian, etika dan kebiasaan-kebiasaan daerah. Politisasi etnis selalu akan mendapat tempat karena bisa mendatangkan uang sekaligus meraih dukungan publik.
Ketiga, pertentangan ideologi, politik dan agama dimana agama muncul dalam bentuk ideologi atau politik, budaya atau kelompok etnis, atau akses untuk memonopoli ekonomi. Sementara pertentangan politik dimunculkan untuk memperkuat segregasi atau kelanggengan kepentingan ekonomi.
Keempat, ketidakberesan penyelenggaraan negara seperti anti demokrasi, KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), ketidakadilan, penguasaan alat produksi oleh elit, pelanggaran HAM, tindakan ekstra judicial, privilege (keistimewaan, perlakuan spesial) bagi kaum elit, dan impunitas.
Laku Bermartabat
Setiap kontestan pasti akan mengerahkan energi total guna memenangkan elektoral. Namun demikian laku ksatria mesti ditunjukkan baik siap menang maupun kalah. Proses kemenangan tentunya mesti dengan strategi yang taat regulasi. Hal lain yang mesti dilakukan adalah proses dinamisasi politik yang memprioritaskan penciptaan iklim kehidupan yang damai.
Politik berbasis massa rentan terkena adu domba. Isu-isu politik berbungkus SARA dan identitas politik diprediksikan menjadi paling mudah menyulut emosi massa. Untuk itu semua pihak mesti waspada terhadap provokasi. Kontestan wajib dan siap berada di garda terdepan mengendalikan massa pendukungnya agar mewujudkan iklim kompetisi yang berkedamaian.
Mengawali tahapan pesta demokrasi biasanya dilakukan penandatanganan pakta integritas seluruh kontestan dalam mewujudkan proses yang damai. Harapannya hal tersebut tidak seremonial dan formalitas belaka. Patut diperhatikan bahwa pemilih sudah mulai melek untuk menghindari pilihan peserta yang senang membuat kegaduhan. Artinya, pembiaran bahkan kesengajaan menciptakan ketidakdamaian suasana akan berbuah blunder politik.
Kerawanan politik yang mengganggu kedamaian publik terjadi pra, saat, dan pasca kontestasi demokrasi. Pada tahapan pra antara lain dapat berwujud gesekan saat pengumpulan dukungan, rebutan tim sukses, ketidakpuasan atas putusan pengurus partai, dan lainnya. Saat proses kontestasi merupakan periode paling rawan dan paling panjang. Antara lain dapat berbentuk rebutan calon pemilih, provokasi saat kampanye terbuka, klaim penguasaan basis teritorial, dan lainnya. Sedangkan pascapemungutan rawan terjadi ketidakpuasan atas hasil perhitungan, ketidakpuasan tim atas janji kontestan, dan lainnya.
Semua kondisi di atas penting dipetakan sejak dini dan disadari semua pihak untuk disiapkan antisipasinya. Semua pihak khususnya peserta pemilu mesti berkomitmen untuk tidak memproduksi kampanye berbasis hoaks. Publik juga mesti dididik agar tidak ikut menyebar dan menolak kehadiran kabar hoaks. Konsekuensi politik dapat diberikan sebagai sanksi social yaitu dengan tidak memilih peserta yang rajin dan mengandalkan hoaks dalam kampanyenya. Sinergi dan komunikasi antar pihak menjadi kunci penciptaan suasana kampanye Pemilu 2019 yang damai dan bermartabat. Pemuda penting menjadi garda terdepan dalam merealisasikannya.