Pancaran Akhlak Nabi, Teladan Menciptakan Perdamaian Negeri

Pancaran Akhlak Nabi, Teladan Menciptakan Perdamaian Negeri

- in Narasi
1951
1
Pancaran Akhlak Nabi, Teladan Menciptakan Perdamaian Negeri

Peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw. menjadi momentum untuk kembali meresapi dan meneladani akhlak yang terpancar dari beliau sebagai panutan utama umat Islam. Sepanjang hidupnya, Rasulullah Saw telah memberi kita teladan tentang bagaimana menjadi manusia yang bisa menciptakan kedamaian di tengah masyarakat berlandaskan keadilan dan persaudaraan.

Di tengah segala pertentangan yang beliau terima selama berdakwah, beliau mampu menyikapi dengan kesabaran, kesantunan, dan kebijaksanaan, sehingga banyak orang bersimpati sehingga ajaran Islam diterima secara luas. Kesantunan dan akhlak mulia beliau selalu memancar dalam kondisi apa pun, sehingga menarik hati siapa pun untuk menerima ajaran yang beliau sebarkan. Ketika memimpin masyarakat yang beragam, beliau mampu membangun kehidupan sosial yang harmonis dan damai, dengan landasan persaudaraan dan prinsip-prinsip keadilan.

Kondisi bangsa

Berbagai keteladanan Nabi Muhammad Saw tersebut menjadi begitu penting untuk kita resapi hari ini. Terlebih, di tengah kondisi bangsa yang belakangan banyak diwarnai perdebatan dan perselisihan. Di tengah mudahnya orang saling menyerang dan bermusuhan, kasih sayang, kesantunan, dan akhlak yang terpancar dari Rasulullah Saw akan menjadi sinar yang menerangi jalan kita menuju bangsa yang harmonis dan damai.

Baca juga :Mendidik Anak Cinta Damai dengan Teladan Nabi

Merebaknya perdebatan, kebencian, dan permusuhan antar saudara sebangsa, menandakan ada suatu masalah yang melanda kita sebagai bangsa. Di sinilah, akhlak dan keteladanan dari Rasulullah Saw akan menjadi obat yang bisa mengobati berbagai penyakit yang diderita bangsa kita belakangan ini.

Salah satu sikap mendasar yang penting untuk kita miliki adalah kerendahan hati. Sikap ini akan mengendalikan kita untuk tidak berlaku sombong, arogan, egois, atau merasa diri sendiri paling benar—sikap yang belakangan banyak menjerumuskan kita dalam perdebatan dan pertikaian. Sikap rendah hati terpancar dari diri Rasulullah Saw., meski beliau adalah manusia pilihan yang diutus Allah Swt. Nabi Saw begitu rendah hati hingga pernah berkata, “Demi Tuhan, apa jadinya aku kelak dan apa yang akan terjadi padamu kelak, aku benar-benar tidak tahu meskipun aku adalah utusan-Nya” (HR Bukhari).

Jika Rasulullah Saw. saja begitu rendah hati menyadari bahwa ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi kelak, mengapa kita gampang menuduh orang lain sesat? Menjadi sangat tidak pantas jika kita berlaku egois dan sombong dengan menuduh, mengklaim, dan menyalahkan orang lain. Apalagi sampai melakukan tindakan-tindakan intoleran atau kekerasan yang menyakiti sesama.

Sikap yang juga penting ditumbuhkan adalah sikap pemaaf. Di tengah maraknya ujaran kebencian dan hasutan di era media sosial saat ini, sikap pemaaf akan menjadi benteng yang bisa menyumbat arus perdebatan agar tidak meluas. Sikap pemaaf menjadi akhlak Nabi Saw yang menawan yang ditunjukkan ketika beliau dihadapkan dengan orang-orang yang pernah menyakiti dan memusuhinya.

Maulana Wahiduddin Khan, dalam bukunya Muhammad Nabi untuk Semua (Alvabet: 2016) yang merupakan terjemahan dari buku Muhammad; A Prophet for All Humanity (1998), menulis berbagai kisah yang menggambarkan sifat pemaaf Nabi Saw. Misalnya, tentang bagaimana Rasulullah Saw memperlakukan para tawanan Perang Badar dengan baik. Salah satu dari tawanan tersebut bernama Suhail ibn Amr, orang yang berlidah tajam, sering mencela, dan menghasut orang-orang untuk menentang Nabi Saw dan ajaran beliau.

Ketika akhirnya Suhail ditangkap, Umar ibn al-Khattab menyarankan agar dua gigi bawah Suhail dicabut agar ia berhenti menghasut. Alih-alih menyetujuinya, Rasulullah Saw. justru terkejut mendengar usul Umar tersebut. “Tuhan akan menganggap rendah diriku di hari kiamat kelak jika aku melakukannya, meskipun aku seorang Nabi,” kata beliau. Di sini kita melihat sifat pemaaf Nabi Saw. yang menolak menyakiti orang, meski orang tersebut selalu menyakiti beliau. Menyakiti orang lain merupakan tindakan yang rendah. Sebaliknya, memaafkan dan kasih sayang merupakan cahaya yang bisa menciptakan persaudaraan dan keharmonisan.

Di tengah fenomena kebencian dan sentimen, penting untuk kembali menguatkan sikap adil, saling menghormati, dan tidak membeda-bedakan. Hal ini juga terpancar dari akhlak Nabi Saw. Masih mengutip kisah Maulana Wahiduddin Khan (2016), suatu hari Abu Dzarr al-Ghifari memanggil seorang Muslim dengan sebutan “orang hitam”. Mendengarnya, Nabi Saw berang dan mengingatkan Abu Dzarr, “Putih tidak lebih baik dari hitam”. Abu Dzarr pun menyesali kesahalannya. Kita tidak dibenarkan melakukan tindakan rasis. Baik buruknya orang tak bergantung pada warna kulit.

Berbagai sikap yang terpancar dari akhlak Nabi Saw tersebut merupakan nilai berharga yang penting untuk diteladani bersama. Kerendahan hati, kebesaran hati untuk memaafkan, serta kesetaraan dalam memandang sesama merupakan tonggak-tonggak utama yang akan menyokong terciptanya kehidupan yang aman dan damai. Dengan kerendahan hati, kita terhindar dari sikap arogan dan segala bentuk egosentrisme. Sehingga kita lebih bisa mendengarkan dan menghargai orang lain yang berbeda.

Sedangkan kebesaran hati untuk memaafkan menjadi benteng yang melindungi kita dari arus perdebatan dan pertikaian dengan sesama. Sehingga benih-benih kebencian dan permusuhan tidak kian membara. Adapun penghormatan atas perbedaan menjadi modal berharga untuk selalu menghargai sesama manusia meski hidup dalam perbedaan. Pada akhirnya, nilai-nilai yang terpancar dari akhlak Nabi Muhammad Saw. tersebut merupakan teladan utama bagi kita untuk membangun kehidupan bangsa yang harmonis. Pancaran akhlak Nabi Saw adalah teladan bagi bangsa ini untuk menciptakan perdamaian negeri. Wallahu a’lam

Facebook Comments