Berani adalah jalan tengah antara pengecut dan nekat. Kehadirannya mampu membuat seseorang bertindak dan memiliki kesadaran serta pertimbangan. Kesadaran akan posisi dan peluang. Pertimbangan kapan maju dan mundur berdasarkan strategi dan rencana. Seperti kata pepatah selalu ada jalan terbaik diantara dua perkara. Termasuk Pancasila yang dihadirkan sebagai jembatan bagi keragaman Indonesia.
Pancasila hadir sebagai jalan tengah diantara banyak pilihan dan kubu-kubu yang saling memandang ekstrem satu dengan lainnya. Keragaman budaya, adat, suku, bahasa, dan agama di ramu hingga menghasilkan Pancasila. Pilihan terbaik agar silang pendapat dan perang saudara tidak menjadi sejarah suram di negeri yang baru merdeka. Konsekuensinya, masing-masing pihak harus menahan diri dan bersikap lebih tenggang rasa terhadap pihal lainnya.
Proses panjang pergulatan intelektual, batin, dan nurani yang mendasari kelahiran Pancasila merupakan pilihan tepat untuk mengikat, mengakomodir dan mempersatukan bangsa yang kaya akan keragaman. Sintesisnya, kita sebagai generasi pasca-kemerdekaan tidak seharusnya meragukan kesaktian Pancasila apalagi sampai mendebatnya. Namun, bukan berarti bersikap pasrah dan tidak kritis dalam penerapannya. Mengingat zaman terus bergerak dan berubah.
Pengakuan keragaman dalam Pancasila
Secara tersurat maupun tersirat, Pancasila mengakui keragaman dan mengakomidir kemajemukan tersebut guna menciptakan perdamaian di Indonesia. Pengakuan pancasila terhadap keberadaan agama yang menjunjung tinggi ke-Tuhanan mengisyaratkan bahwa Indonesia bukanlan negara sekuler. Indonesia juga bukan negara religius yang hanya mengakui satu atau dua agama sebagai agama resmi. Pancasila mengakomodasi keenam agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan yang terbaru Konghuchu) dan dilindungi konstitusi keberadaannya (UUD 1945 pasal 29 ayat 1dan 2).
Budaya dan adat sebagai local wisdom terus dipelihara bahkan sebagian dianggap nasional wisdom seperti tanggang rasa yang ada hampir disetiap adat dan budaya bangsa Indonesia. Melalui sila kedua, Kemanusiaan sebagai jati diri manusia menjadi prioritas. Tidak ada perbedaan dalam perlakuan hukum. Tidak ada kasta, semua dianggap sama yakni sebagai bangsa Indonesia terlepas dari suku, bahasa, adat agama, budaya yang dimiliki. Bayi yang dilahirkan dari salah satu suku di Indonesia secara de jure dianggap bagian dari Indonesia. Tepat kiranya jika Pancasila dianggap sebagai muruah bangsa.
Martabat bangsa yang ketika kita jaga maka terjagalah harga diri kita dan ketika kita tak acuhkan hancurlah harga diri kita. Karena Keberadaan Pancasila merupakan hasil final sebagai dasar negara, sebagai jati diri bangsa Indonesia. Pancasila dianggap sebagai harga mati yang tak mungkin terganti oleh ideologi apapun. Tidak agama, budaya, suku apalagi ideologi diluar Indonesia yang kini perlahan masuk tanpa filter yang ketat.
Menjaga muruah dan eksistensi Pancasila
Sayangnya, Pancasila sebagai salah satu dari empat pilar bangsa perlahan semakin memudar. Maraknya sikap keakuan, meningkatnya aksi kriminalitas, korupsi dan gaya hidup hedonis menjadi bukti bahwa kepancasilaan hampir semua golongan baik muda, tua, perempuan, laki-laki, buruh, pegawai, pembisnis, politikus hingga kaum akademisi pun mulai terkikis. Di keluarga, sekolah, masyarakat, gedung dewan bahkan dijalanan sikap arogansi dan dominasi menjadi pedoman. Semakin sulit menemukan kekeluargaan, kesederhanaan dan kesantunan yang di amanatkan Pancasila.
Pancasila yang awal pembentukannya diharapkan menjadi alat pemersatu kini justru berfungsi sebaliknya. Dewasa ini sedikit sekali masyarakat yang memandang Indonesia dari keragamannya. Memandang Nusantara sebagai satu keluarga bukan sebagai kelompok-kelompok atau golongan. Penting kiranya menguatkan kembali posisi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Memulihkan marwah Pancasila yang tercemar serta memurnikannya kembali. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan membuka kran diskursus baru. Pancasila dikenalkan dan diajarkan serta didiskusikan kembali diranah publik dan di berbagai tingkat pendidikan dengan semangat dan gaya yang lebih membumi.
Hal ini penting untuk kembali menghadirkan dimensi ontologis dan epistemologi serta aksiologi Pancasila yang mulai dianggap usang. Agar Pancasila selanjutnya mampu hadir dalam setiap nafas dan langkah manusia yang mengaku berbangsa Indonesia. Pancasila yang kita pelajari dan bela mati-matian bukan hanya saat diremehkan negara lain namun juga saat warga negara Indonesia sendiri mulai meninggalkannya. Dibentuknya Unit Kerja Presiden Pembina Ideologi Pancasila (UKP-PIPI) yang pada tahun ini dikembangkan secara khusus untuk mengurusi pancasila (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila/ BPIP) menjadi langkah penting untuk memancangkan kembali ideologi pemersatu bangsa dan mengejawantahkan ideologi tersebut dalam keseharian.
Mengkuatnya ideologi Pancasila, akan menjadi benteng bagi ideologi lain agar tidak tumbuh subur. Kesaktian pancasila sebagai pedoman hidup pun akan kembali diyakini dan diamalkan dalam laku keseharian. Selain itu asas kekeluargaan sebagai dasar perekat persatuan perlu digaungkan kembali. Dimana keluarga, masyarakat, dan negara dibangun atas dasar kebersamaan dan kesatuan visi serta misi. Sehingga mampu membangkitkan kealpaan kita akan saktinya ideologi negeri ini. Mengingat bahwa perdamaian dan persatuan yang kita nikmati saat ini adalah berkat kesaktian pancasila yang mengakar kuat di hati pendahulu kita. Sekaligus merevitalisasi wujud pancasila dalam realitas kehidupan yang telah mengalami distorsi, reduksi maupun pandangan marjinal akibat kebijakan para penguasa dan elit politik.
Semoga kedepannya Pancasila tetap menjadi jalan tengah diantara keanekaragaman Indonesia. Martabat Pancasila tak lagi terkoyak. Kesaktian pancasila tak lagi diragukan dan perlahan ditinggalkan pengikutnya. Masyarakat Indonesia tak lagi apatis dalam merespon takdir Pancasila yang selama berdekade-dekade dijadikan alat para elit guna memuluskan jalan meraih kekuasaan, kekayaan dan kepopuleran, semoga.