Terkuak pada akhirnya. Pendiri Pasar Muamalah Depok yang dipanggil sebagai “amir”, Zaim Saidi ditetapkan sebagai tersangka. Zain ditangkap sebagai inisiator dan penyedia lapak Pasar Muamalah sekaligus sebagai pengelola dan sebagai wakala induk yang menukarkan rupiah menjadi alat tukar dinar dan dirham.
Pasar muamalah yang beroperasi dengan transaksi dinar-dirham selain rupiah akhirnya berhenti. Tidak hanya di Depok, tetapi di Sumatera Utara juga berhenti dengan alasan menimbulkan kontroversi. Sangat jelas, ketika menjadikan alat tukar lain selain rupiah di kawasan NKRI akan bertentangan dengan UU Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. Artinya, proses transaksi dengan dinar dan dirham menyalahi sistem keuangan negara. Namun, bukan pada poin itu yang perlu kita bahas.
Banyak asumsi yang berkembang di pelaku pasar tersebut yang seolah bertransaksi dengan dinar-dirham adalah bagian dari Syariah. Lebih tepatnya lagi dalam salah satu video yang beredar bahkan tujuan besar dari Pasar Muamalah ini adalah mengembalikan sunnah Nabi. Betulkan demikian?
Pertama kali harus ditegaskan bahwa dalam muamalah hukum asal adalah kebolehan selama tidak ada dalil yang melarang. Karena itulah, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa transaksi dengan dinar dan dirham itu akan dikatakan lebih syar’i dari pada uang kertas atau alat tukar lainnya. Dalam hal muamalah dan keduniaan kita kembalikan pada proses inovasi dan kreatifitas manusia dengan prinsip saling menguntungkan dan bermanfaat.
Persoalan berikutnya yang lebih menggelitik adalah ketika ada yang mengatakan bahwa transaksi dinar dan dirham adalah sebagai langkah besar untuk mengikuti dan mengembalikan sunnah Nabi. Nah, inilah yang menjadi persoalan besar umat saat ini. Terkadang kembali pada sunnah hanya dipahami pada tampilan dan formalitas. Bagaimana meniru Rasulullah sangat artifisial dan simbolik. Inilah kelatahan dalam memahami sunnah.
Bayangkan jika seseorang mengatakan mengikuti sunnah dengan mengadopsi hal yang lebih simbolik, tetapi lupa pada subtansinya. Ketika masa Rasulullah menggunakan dinar dan dirham itu akan dianggap bagian dari sunnah. Ketika Rasulullah memakai pakaian seperti budaya Arab itu dianggap bagian dari Sunnah. Apakah ketika Rasulullah mengenderai kuda dan unta juga alat transportasi itu dianggap bagian dari Sunnah?
Problem besar yang mengitari cara berpikir kembali ke sunnah adalah glamour simbolik tetapi lupa terhadap subtansi. Corak seperti ini akan sangat berbahaya karena memaksa umat Islam harus kembali pada abad-abad yang lalu agar sesuai dengan tuntunan sunnah. Umat Islam tidak berpikir selalu mampu beradaptasi dengan zaman, tetapi terkungkung dengan tampilan masa lalu.
Sejatinya, prinsip kembali ke sunnah harus pula membawa semangat zaman dan subtansi sunnah itu sendiri. Jelas bukan tampilan belaka. Bukan hal prinsip untuk menggunakan dinar dan dirham sebagai ukuran sunnah atau tidak dan syar’I atau tidak, tetapi yang terpenting apakah proses transaksi dan muamalah sesuai dengan prinsip dan ajaran Islam. Persoalannya terkadang kriteria kembali ke sunnah seolah kembali ke masa lampau dalam hal tampilan dan bentuk. Bukan semangatnya.
Proyek besar inilah sebenarnya yang menjadi cara berpikir seseorang yang selalu terngiang ilusi untuk mengembalikan tampilan masa lalu di tengah zaman yang terus berubah. Gerakan khilafah misalnya selalu bermimpi menerapkan sistem kekuasaan tunggal Islam dengan pola imperium Islam masa lalu yang tidak kompatibel dengan zaman saat ini. Sehingga mimpipun menjadi ilusi.
Gerakan latah kembali ke sunnah dengan cara tampilan adalah cara yang mengkerdilkan umat Islam yang harus selalu beradaptasi dengan waktu dan tempat. Maka prinsipnya Islam rahmatan lil alamin, bukan sekedar Islam menjadi rahmat bagi tempat tertentu, tetapi juga dalam waktu kapanpun. Islam rahmat bukan Islam yang menghambat perubahan zaman, tetapi Islam yang memberikan semangat yang relevan dengan prinsip Islam dalam waktu dan zaman.