Penerimaan Ulama dan Umat Islam atas NKRI

Penerimaan Ulama dan Umat Islam atas NKRI

- in Kebangsaan
2733
0

21 dan 22 Oktober 1945, Surabaya mendadak dipadati oleh kalangan ulama dari berbagai wilayah Jawa dan Madura. Mereka berkumpul di kota terbesar di Jawa Timur ini untuk merespon kondisi kebangsaan yang tengah bergejolak saat itu.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan Sukarno pada Agustus 1945, direspon keras oleh pihak sekutu, yang dikomandoi Inggris dan Belanda. Di meja perundingan mereka berkali-kali membuat Indonesia kehilangan kuasa di beberapa wilayah. Sementara di lapangan, mereka melancarkan serangan militer hebat untuk memukul mundur laskar-laskar yang mempertahankan daerahnya masing-masing.

Jakarta, Bandung, Semarang dan beberapa kota lainnya telah lepas dari genggaman NKRI. Maka ketika pasukan Inggris mulai bergerak ke arah Surabaya, para ulama memutuskan turun-tangan dan berkumpul. Salah satu ulama paling disegani saat itu, K.H. Hasyim Asy’ari dalam pidatonya dengan lantang berkata, “wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan Belanda (penjajah).” Maka dari forum ulama dan santri tersebut lahirlah Resolusi Jihad.

Resolusi Jihad adalah seruan kepada umat Islam untuk berperan mempertahankan kedaulatan NKRI. Isi seruan tersebut antara lain menyatakan, “berperang menolak dan melawan penjajah itu fardlu ‘ain (yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak) bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardlu kifayah (yang cukup, kalau dikerjakan sebagian saja…..”

Dalam sebuah bukku berjudul NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Martin van Bruinessen menyatakan bahwa Resolusi Jihad adalah pengakuan atas legitimasi pemerintah Republik Indonesia, sekaligus menuntut pemerintah melakukan tindakan nyata demi tegaknya Republik Indonesia.

Dalam Muktamar Umat Islam yang diselenggarakan oleh Masyumi di Yogyakarta, tanggal 7-8 November 1945, Resolusi Jihad kembali didengungkan. Dikutip oleh Warta Indonesia pada 17 November 1945, resolusi tersebut menyatakan, “tiap bentuk penjajahan adalah kezaliman yang melanggar perikemanusiaan dan diharamkan oleh Islam. Untuk membasmi tindakan imperialisme, setiap Muslim wajib berjuang dengan jiwa raga bagi kemerdekaan negara dan agamanya. Untuk itu, harus memperkuat umat Islam untuk berjihad fisabilillah.”

Resolusi Jihad inilah yang jadi salah satu pemicu dahsyatnya perlawanan rakyat terhadap pasukan sekutu di Surabaya, pada 10 November 1945. Sikap para ulama yang aktif membela dan menjaga keutuhan NKRI ini bukan hal yang aneh, bahkan dilakukan secara konsisten lewat berbagai cara.

K.H. Saifudin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren menceritakan bagaimana para kiai aktif menggerakan para santrinya mendirikan laskar-laskar perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Dalam forum-forum pengajian pun para kiai bukan hanya mengajarkan keagamaan secara individual, tapi juga menyampaikan perintah agama yang mewajibkan umat Islam melawan penjajahan.

Selepas era perjuangan, para ulama kembali menunjukkan perannya membela keutuhan NKRI. Salah satu contohnya adalah keputusan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, menerima Pancasila sebagai asas.

Einar Martahan Sitompul dalam NU dan Pancasila, menyatakan bahwa sikap NU menerima Pancasila berdasarkan pertimbangan keagamaan. NU memandang Islam tidak anti pada nilai-nilai masyarakat yang telah ada sebelumnya, sepanjang tidak bertentangan dengan Islam. Deklarasi penerimaan Pancasila sebagai asas ini diresmikan pada Muktamar ke 27 tahun 1983.

Resolusi Jihad dan penerimaan Pancasila sebagai asas adalah dua contoh besar tentang sikap para ulama yang memahami ajaran agama secara lentur dan kontekstual. Hal yang terbalik 180 derajat saat kini kita saksikan sekelompok orang yang mengaku ustadz dan ulama mengklaim berpihak pada umat namun justru merongrong kedaulatan Republik. Padahal, ulama-ulama besar sebelum mereka justru berdarah-darah berjuang untuk Indonesia yang Pancasila, bukan untuk Indonesia dalam model lain. Seperti inikah degradasi nilai Keislaman dan Kebangsaan yang dimiliki umat saat ini? Semoga saja tidak!

Facebook Comments