Di era digital saat ini, fenomena kebangkitan aktivisme keagamaan radikal semakin menjadi perhatian global. Internet, sebagai alat komunikasi dan pertukaran informasi yang sangat efisien, telah membawa dampak besar bagi kehidupan sosial dan keagamaan. Di satu sisi, teknologi ini memperluas akses terhadap pengetahuan dan memperkuat jaringan sosial, namun di sisi lain, ia juga menjadi saluran bagi penyebaran ideologi radikal yang dapat memicu terorisme, kekerasan, dan kesenjangan sosial.
Salah satu alasan aktivisme keagamaan radikal semakin berkembang di dunia digital adalah karena mudahnya penyebaran informasi tanpa batasan yang jelas. Platform-platform media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter dan YouTube memberikan ruang bagi individu atau kelompok untuk menyebarkan ideologi mereka dengan cepat dan tanpa pengawasan yang ketat. Menurut laporan dari Institute for Strategic Dialogue (ISD), hampir 500.000 video yang mengandung konten radikal telah diposting di YouTube pada tahun 2019 saja. Konten-konten ini baik berupa video, artikel, atau pesan propaganda lainnya, sering kali dilengkapi dengan narasi yang mampu menarik perhatian banyak orang, terutama generasi muda yang mencari jati diri atau tempat untuk bergabung.
Algoritma media sosial yang canggih sering memperkuat penyebaran konten radikal dengan menyarankan materi serupa kepada pengguna berdasarkan preferensi mereka, yang dapat memicu radikalisasi lebih lanjut. Sebagai contoh, seseorang yang mencari informasi tentang kelompok ekstrem dapat secara tidak sengaja terpapar materi yang lebih radikal. Meskipun platform digital berupaya menghapus konten berbahaya, seperti yang tercatat oleh The Global Internet Forum to Counter Terrorism yang menghapus 1,2 juta gambar dan video terkait terorisme pada 2020, masih banyak konten yang lolos dari deteksi. Kelompok seperti ISIS memanfaatkan teknologi ini untuk merekrut anggota baru dan menyebarkan ideologi kekerasan.
Kebangkitan aktivisme keagamaan radikal juga semakin diperburuk oleh fenomena “echo chamber“. Dalam fenomena ini, pengguna internet cenderung terhubung dengan kelompok yang sepaham dengan mereka, memperkuat pandangan mereka terhadap ideologi tertentu, sehingga sulit menerima pandangan orang lain.
Menanggulangi kebangkitan aktivisme keagamaan radikal di era digital memerlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan penyedia platform digital. Salah satu langkah yang paling penting adalah meningkatkan literasi digital, terutama di kalangan generasi muda, untuk mengenali dan menghindari konten yang mengandung unsur radikalisasi. Pendidikan tentang penggunaan internet yang sehat, keterampilan berpikir kritis, dan pemahaman tentang keberagaman agama dan budaya harus menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah.
Selain itu, pemerintah harus meningkatkan regulasi dan kebijakan untuk mengawasi konten yang berpotensi meradikalisasi, tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi. Ini termasuk bekerja sama dengan penyedia platform digital untuk memperkuat sistem pemantauan dan mengembangkan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang lebih akurat dalam mendeteksi konten ekstremis.
Selain itu, penting juga untuk memberikan perhatian khusus pada aspek deradikalisasi. Program deradikalisasi ini dapat dilakukan melalui pendekatan sosial, psikologis, dan agama, yang membantu individu yang telah terpengaruh oleh ideologi radikal untuk kembali ke jalur kehidupan yang lebih positif. Banyak negara yang telah melaksanakan program deradikalisasi, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang berhasil membantu beberapa mantan anggota kelompok teroris untuk kembali berintegrasi dengan masyarakat.
Dalam konteks yang lebih luas, peran masyarakat juga tidak kalah penting dalam menanggulangi radikalisasi di dunia maya. Masyarakat dapat berperan aktif dalam menciptakan ruang dialog yang toleran, yang memberikan kesempatan bagi individu dengan pandangan yang berbeda untuk saling mendengarkan dan memahami. Komunitas agama dan tokoh-tokoh agama juga memiliki peran besar dalam memberikan tafsir yang moderat terhadap ajaran agama, guna mencegah penyalahgunaan teks-teks agama untuk mendukung kekerasan.
Oleh karena itu, menanggulangi kebangkitan aktivisme keagamaan radikal di era digital adalah suatu keharusan untuk menjaga perdamaian dan keharmonisan sosial. Langkah-langkah yang terkoordinasi antara teknologi, regulasi, pendidikan, dan keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengatasi tantangan ini. Dunia digital yang terbuka harus digunakan secara bijaksana, agar tidak menjadi tempat penyebaran kebencian dan kekerasan yang hanya akan merusak tatanan sosial.