Perempuan Cerdas, Tangkal Kaum Radikalis

Perempuan Cerdas, Tangkal Kaum Radikalis

- in Narasi
1353
1
Perempuan Cerdas, Tangkal Kaum Radikalis

Pemanfaatan perempuan oleh kelompok teroris semakin mengkhawatirkan. Perempuan, yang kehadirannya diharapkan mampu mendidik anak-anaknya menjadi manusia yang bermartabat dan bermanfaat, justru terlibat dalam penanaman nilai-nilai kebencian. Bahkan perempuan menjadi aktor langsung dalam aksi-aksi kekerasan. Kasus terakhir yang cukup menggemparkan, Rabu 13/3/2018, terjadi bom bunuh diri yang dilakukan oleh MSH alias S bersama dengan anaknya. S merupakan istri dari terduga teroris AH. Awalnya, polisi berniat membujuk S untuk menyerahkan diri. Tetapi pelaku menolak. Dan akhirnya memilih jalan keluar dengan meledakkan diri bersama anaknya yang masih kecil. Akibat dari ledakan ini, bangunan di sekitar lokasi ledakan pun rusak dan masyarakat sekitar harus dipindahkan sementara.

Peristiwa teror sebelumnya, yang juga cukup menyita perhatian, adalah ledakan bom bunuh diri yang dilakukan seorang wanita di Surabaya. Empat orang kakak beradik terlibat dalam pengebomam di rumah peribadatan. F dan Y, meledakkan bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela pada 13 Mei 2018. Kedua adiknya diajak ibunya yang akan mengebom gereja GKI Diponegoro. Sementara ayahnya, DO melakukan aksi bom bunuh diri di di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Enam orang ini, yang merupakan satu keluarga, akhirnya meninggal dengan sia-sia. Doktrin sesat untuk melukai pihak lain tampaknya selalu diulang-ulang secara rutin dalam keluarga ini. Hingga akhirnya menumpulkan nalar mereka untuk membedakan mana kebaikan dan mana keburukan.

Secara sederhana, dua hal yang menyebabkan perempuan terlibat dalam tindakan kekerasan adalah: Pertama, dirinya tidak paham telah diperalat. Sehingga tidak sadar telah mendukung tindakan yang membahayakan keluarga dan orang lain. Kedua, dia tidak memiliki kuasa untuk menolak.

Pada penyebab pertama, banyak perempuan yang mengiyakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh pasangannya. Apalagi jika suaminya telah memanfaatkan doktrin-doktrin agama agar istrinya menuruti segala keinginannya. Misalnya terkait doktrin nusyuz (meninggalkan perintah suami, menentangnya, dan membencinya). Penolakan terhadap kemauan suami lantas dicap sebagai dosa. Akibatnya, apapun perintah suami harus ditaati dan tidak ada ruang untuk beradu argumentasi. Hal yang sangat berbahaya, ketika perintah yang disampaikan ternyata melanggar aturan dan membahayakan diri dan keluarganya (termasuk perintah untuk melakukan amaliyah istisyadiyah). Untuk itulah, perempuan harus juga paham dengan agama. Mau mencari ilmu diluar apa yang disampaikan oleh suaminya.

Baca juga :Perempuan yang Mendidik dan Melahirkan Generasi Agen Perdamaian

Sementara pada penyebab kedua, perempuan tidak berdaya untuk menolak keinginan suaminya yang berniat melakukan kejahatan. Ada ketakutan dirinya dan anak-anaknya akan disakiti jika membantah perintah suami. Ketakutan yang berlebihan akhirnya membuat dirinya tidak bisa menolak apapun. Akhirnya, dia dan anak-anak pun kembali menjadi korban. Untuk mengatasi hal ini, perempuan harus mau bergaul dengan pihak lain. Dengan bergaul, dia akan mudah menceritakan perasaan dan pengalaman yang dialaminya. Harapannya, akan ada pihak lain yang turut membantu menyelesaikan persoalannya. Sebaliknya, jika perempuan seperti ini terus mengurung diri dalam rumah, tidak akan mendapatkan solusi. Dia akan terus-terusan menjadi korban.

Perempuan juga memegang peranan penting dalam membentengi keluarga dari sikap radikal. Posisi strategis ini harus dipahami oleh kaum wanita. Terlebih dalam kultur keluarga konvensional di Indonesia, perempuan lebih banyak menghabiskan waktunya bersama anak-anak dibandingkan pria. Disinilah saat yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada buah hatinya. Misalnya sepulang sekolah, para ibu bisa berbincang dengan buah hatinya dan mengajarkan kebajikan. Seperti bagaimana bersikap terhadap orang lain yang berbeda, upaya menghindari jalan kekerasan dalam mengatasi masalah, dsb. Perkembangan asnak harus terpantau setiap saat. Pola pendidikan seperti ini tidak boleh diserahkan begitu saja kepada pihak sekolah. Sebab, sekolah hanya menyumbang sedikit dari pembentukan karakter anak. Kontribusi terbesar justru ada di tangan keluarga.

Peran signifikan perempuan lainnya, sebagai seorang ibu, adalah menamankan nilai perdamaian. Dalam pergaulan sehari-hari, anak-anak pasti menerima banyak pengaruh dari luar. Jika pengaruh ini baik, maka tidak masalah. Tetapi kerap, anak-anak mendapat pengaruh negatif dari teman-temannya. Contohnya, ada anak-anak yang suka mencela dan mengejek anak-anak lain yang berbeda agama dan keyakinan. Ada juga yang suka membully anak-anak dengan etnis tertentu. Ketika seorang ibu melihat ada gelagat tidak baik seperti ini, maka harus diberi pengertian dan disadarkan. Anak-anaknya perlu diberi pemahaman bahwa tidak baik mengejek orang lain. Diberi penjelasan dengan baik, bahwa hekekat manusia adalah bersaudara dan sama-sama mahluk tuhan. Sehingga tidak layak menghina sesama manusia.

Facebook Comments