James Potter, dalam Media Literacy, menjelaskan bahwa literasi media adalah seperangkat perspektif yang secara aktif digunakan diri kita terhadap media dan menginterpretasikan makna dari beragam pesan yang dijumpai. Literasi media merupakan suatu hal yang bersifat multidimensi dan berkelanjutan. Literasi media memberi penekanan pada proses adaptasi terhadap dunia yang berubah daripada mengabaikan/menolak perubahan yang datang. Adaptasi dengan cara membuka diri kita terhadap beragam pesan dan menganalisis pesan tersebut. Tujuannya untuk mendapatkan elemen yang baru. Selanjutnya diakhiri dengan proses evaluasi terhadap elemen tersebut untuk mengapresiasi nilai yang dibawanya. Ada lima struktur pengetahuan yang diperlukan dalam literasi media: efek media, konten media, industri media, dunia yang nyata, dan diri. Pengetahuan dalam kelima area tersebut berguna untuk membuat keputusan saat mencari informasi (2013: 14-19).
Di era dengan kecepatan produksi informasi yang begitu masif, literasi media menjadi keharusan. Jika tidak, kita hanya akan tergulung arus informasi dan tenggelam dalam rimba ketidakpastian. Salah satu agen yang bisa diberdayagunakan dan strategis untuk menciptakan generasi melek media adalah kaum wanita. Khususnya para ibu yang telah memiliki putra dan putri. Sebab keluarga adalah benteng pertama untuk melindungi anak-anak dari informasi-informasi yang menyesatkan. Jika para ibu telah membekali anak dengan kemampuan literasi yang tinggi, niscaya mudah menangkal informasi tidak bermutu dan hoax. Sikap kritis saat membaca informasi adalah modal utama. Abdul Wahid dan Dhinar Aji Pratomo dalam karyanya Masyarakat dan Teks Media, berpendapat kesadaran kritis masyarakat adalah keharusan. Hal ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, hilangnya hak masyarakat atas informasi yang benar. Kedua, adanya kelompok kepentingan ekonomi dan politik yang menjadikan teks sebagai alat untuk mendominasi gagasan. Ketiga, popularitas konten media mengarahkan pada keseragaman tema di masyarakat. Hal ini menjadi penghambat dan akan menggerus perilaku komunikatif yang beragam antar sesama (2017: 17).
Beberapa langkah yang bisa dilakukan orang tua, khususnya para ibu, sebagai agen literasi media adalah:
Pertama, lakukan kontrol terhadap informasi yang dikonsumsi. Jangan memberikan kebebasan berlebihan kepada anak-anak. Sebab ada informasi yang patut diterima dan ada informasi yang merusak. Terhadap informasi dengan konten yang buruk, harus dijauhkan. Apalagi daya serap anak-anak sangatlah tinggi. Dikhawatirkan jika tidak ada pembatasan semua informasi akan ditelan mentah-mentah. Akibat lanjutannya, termanifestasi dalam tindakan yang tidak baik. Contohnya video yang berisi kekerasan dan caci maki. Saat menontonnya, anak-anak akan mudah menirunya. Lalu dicontoh dan dilakukan terhadap teman-temannya. Perilaku tidak baik ini jika terus-menerus dikerjakan akan membentuk tabiat dan dibawa hingga dewasa. Tentu kita tidak ingin mencetak generasi dengan karakter yang suka kekerasan dan mencaci maki. Maka perlu peran wanita sebagai ibu yang mengarahkan dan mendidik.
Kedua, mendiskusikan informasi yang diterima anak. Saat anak-anak menyerap informasi, segera ajak berdiskusi. Tujuannya menelaah apakah informasi tersebut memiliki nilai yang baik atau tidak. Secara tidak langsung, langkah ini mengajarkan anak untuk bersikap kritis. Bahwa ada informasi yang memang ditujukan untuk memberi manfaat kepada kita, tetapi ada juga informasi yang ditujukan untuk memecah belah dan menyebarkan kebencian. Anak-anak yang dibekali sikap kritis niscaya akan selalu menyaring informasi yang diperolehnya. Dia tidak akan labil dan mudah mengikuti arus informasi. Termasuk dalam hal ini terbentuk kepekaan dalam menilai informasi apa yang benar dan informasi yang tidak berdasarkan fakta.
Ketiga, merekomendasikan informasi yang bermanfaat. Para ibu bisa mengarahkan agar anak-anak mengkonsumsi pengetahuan yang bergizi. Misalnya situs apa di internet yang aman dan mengajarkan sifat cinta kasih, grup whatsapp apa yang perlu diikuti dan wajib dihindari, saluran youtube apa saja yang memiliki nilai edukasi tinggi, dan sebagainya. Dengan begitu, anak-anak memiliki pegangan dalam berselancar di era teknologi informasi isi. Jika para ibu tidak melakukan ini, anak-anak akan mencari informasi secara acak dan tidak terarah. Hal ini akan sangat membahayakan. Terlebih kini banyak gerakan radikal yang menggunakan teknologi informasi sebagai upaya penyebaran ideologinya. Anak-anak dengan pondasi pengetahuan yang labil akan mudah masuk dalam perangkap mereka. Hal ini tentu tidak kita inginkan. Oleh karena itu, perlu keterlibatan aktif kaum wanita dalam mencetak generasi melek media.