Saya baru saja menamatkan sebuah film berjudul Goebbels and The Fuhrer (2024). Film yang menceritakan kisah hubungan antara pemimpin Nazi Jerman, Adolf Hitler dan tangan kanannya, Paul Joseph Goebbels. Sosok Goebbles merupakan figur penting dalam karir politik Hitler dan tindakan Holocaust (genosida kaum Yahudi Eropa) yang dilakukannya.
Goebbels adalah seorang propaganda ulung yang lihai memoles citra Hitler, dan membuat Holocaust menandai seolah-olah benar. Ia juga bertanggung jawab mengobarkan tindakan anti-semitisme ke warga Jerman dan Eropa pada umumnya.
Jika merujuk pada film tersebut, ada beberapa faktor yang membuat Goebbels berhasil dalam peopagandanya. Pertama, ia menggunakan media populer, yakni film untuk membangun citra Hitler yang kuat, pemberani, dan pemimpin yang besar.
Dalam video atau film, Hitler selalu digambarkan sebagai sosok sempurna tanpa cela. Padahal, nyatanya tidak demikian. Hitler di dunia nyata adalah sosok tempramen, labil, melankolis, dan memiliki kondisi fisik yang tidak prima. Tangannya selalu bergetar khas penderita Parkinson.
Kedua, di satu sisi, ia selalu mengglorifikasi bangsa Jerman dan Eropa sebagai ras Arya yang paling unggul sejagat raya. Di sisi lain, ia mendemonisasi kaum minoritas (Yahudi, keturunan Afrika, bangsa Asia, dan non-Eropa lainnya) sebagai ras rendahan yang jahat, bodoh, dan layak dilenyapkan.
Gabungan antara glorifikasi bangsa sendiri dan demonisasi bangsa asing itu menjadi strategi untuk mengorbankan kebencian pada bangsa Yahudi dan membuat Holocaust seolah-olah dibenarkan secara etika.
Ketiga, Goebbels memakai narasi-narasi tentang kejayaan, keadilan, dan kemakmuran untuk menyihir publik. Klaim tentang kejayaan dan kemakmuran Jerman dan Eropa itu dipakai untuk menjustifikasi tindakan kekerasan dan peperangan yang dilakukan tanpa mengindahkan nilai kemanusiaan.
Mesin Propaganda Khilafah
Selepas menonton film itu saya jadi teringat dengan model propaganda kaum radikal ekstrem belakangan ini. Kelompok yang getol mempropagandakan khilafah itu tampaknya juga memakai strategi yang sama dengan yang dipakai Goebbels.
Jika Goebbels mengklaim bahwa Hitler dan nasionalisme ala Nazi adalah sosok dan ideologi yang sempurna, maka kaum pengasong khilafah selalu mengklaim ideologinya sebagai yang paling sempurna, tanpa cela, dan akan mengatasi seluruh problem umat manusia. Padahal, klaim-klaim itu tidak lebih dari sebuah utopia belaka.
Nyatanya, di masa lalu khilafah tidak lepas dari berbagai problem sosial dan politik. Kejahatan kemanusiaan tetap terjadi di era ketika dunia Islam menerapkan sistem khilafah. Jika Jerman Nazi akhirnya kalah dalam Perang Dunia ke 2 melawan tentara Sekutu, khilafah tampaknya juga akan mengalami nasib serupa; bangkrut sebelum sempat menguasai dunia.
Selain itu, propagandis khilafah juga memakai teknik demonisasi dan glorifikasi. Di satu sisi, kaum pengasong khilafah gencar mengglorifikasi umat Islam sebagai umat sempurna dan tidak memiliki kelemahan.
Di sisi lain, mereka mendemonisasi kelompok non-muslim sebagai orang jahat yang keberadaannya hanya menjadi ancaman bagi muslim. Demonisasi kelompok non muslim ini bertujuan untuk membangun persepsi bahwa tindakan teror dan kekerasan yang menyasar kelompok non muslim itu sebagai tindakan suci dan sesuai ajaran Islam.
Melawan Propaganda Khilafah
Terkahir, kelompok pengasong khilafah juga memakai bahaya populer sebagai mesin propagandanya. Jika di masa Nazi, film menjadi sarana utama propaganda, di masa sekarang, media sosial dan internet menjadi mesin propaganda utama kaum khilafaher.
Seperti kita lihat belakangan ini, propaganda khilafah begitu gencar membanjiri ruang digital kita. Bentuk dan kemasannya pun beragam. Ada yang berupa video pendek, kajian keagamaan, atau pun podcast yang membahas isu-isu kekinian. Kemasan boleh berbeda, namun isinya dan tujuannya sama; menancapkan ideologi khilafah di benak umat, khususnya kaum muda.
Mesin propaganda khilafah ini akan semakin panas jelang momen politik nasional, seperti Pilkada Serentak 2024 yang akan dihelat sebentar lagi. Kelompok khilafaher seolah tidak mau ketinggalan momentum untuk menunggangi isu politik lokal dengan mempropagandakan khilafah. Beragam narasi pun disebar.
Mulai dari tudingan bahwa Pilkada adalah sistem kufur, ajakan untuk memboikot Pilkada, sampai seruan menegakkan Khilafah. Di media sosial, belakangan ini ramai tagar #TegakkanKhilafah, #JihadKhilafah, #KhilafahForNKRI dan sebagainya. Hastag itu sengaja diviralkan melalui mesin-mesin bot demi mencuci otak umat Islam.
Sebagai masyarakat yang aktif di media sosial, kita wajib mengenali ciri propaganda kaum khilafaher di dunia maya. Tagar mengandung unsur kata khilafah, jihad, atau syariah susah sepatutnya tidak perlu disebarluaskan. Konten keaagamaan yang menjurus pada ide negara Islam selayaknya diabaikan. Hanya dengan mengabaikan, maka konten propaganda khilafah itu akan tenggelam di algoritma media sosial.
Hari ini, ada banyak ribuan Goebbels baru yang mempromosikan ideologi berbahaya seperti khilafah dan ideologi transnasional lainnya. Tugas kita adalah melawannya dengan narasi kebangsaan yang kokoh. Setiap kita punya tanggung jawab untuk menggabungkan narasi kebangsaan dan kemanusiaan di dunia maya. Demi melawan propagandis khilafah yang kian tak terhitung jumlahnya.