Pilkada serentak telah selesai dihelat pada tanggal 27 Juni 2018. Patut disyukuri, tidak ada konflik destruktif yang turut mewarnai Pilkada kali ini. Hanya saja, umumnya sentimen politik dukungan belum tentu sudah berakhir. Para calon kepala daerah yang kalah bersaing dalam hajatan demokrasi ini beserta pendukungnya bisa jadi belum menerima atas kekalahan yang dideritanya.
Tentu saja, hal tersebut sangat tidak dapat dibenarkan. Pilkada bukan sekadar kontestasi demokrasi. Pilkada ialah untuk mencari pemimpin yang benar-benar sesuai amanah rakyat daerah. Outputnya, untuk mewujudkan daerah yang bukan hanya maju, tapi juga damai, tentram, jauh dari konflik dan disintegrasi sosial.
Maka itu, sikap siap kalah dan siap menang merupakan hal penting yang perlu diterapkan setiap momentum pemilihan umum dihelat. Umumnya, orang akan siap untuk menang. Akan tetapi, langka sekali orang yang siap menerima kekalahan. Kenyataan ini yang seringkali menimbulkan konflik sosial yang dapat merusak kerukunan yang telah terbangun sebelumnya.
Perlu dipahami, sikap fanatik berlebihan dan tidak menerima kekalahan ialah awal dari malapetaka dalam setiap pemilu dihelat. Sikap tidak menerima kekalahan dapat memunculkan sikap benci yang dapat membuat seseorang berani melakukan tindakan yang mengancam kedamaian dan keutuhan masyarakat. Jorge Luis Borges, pengarang terkemuka Argentina, menulis dalam “A Pedagogy of Hatred” bahwa “unjuk kebencian itu lebih tak senonoh ketimbang perilaku eksibisionisme” dan menandaskan bahwa “mengajarkan kebencian adalah kejahatan”. Dari itu, atas alasan apa pun, kebencian sangat tidak dapat dibenarkan. Karena dapat memutus tali silaturahmi yang telah terbangun secara mapan dalam diri masyarakat.
Lagipula, Soekarno pernah berujar, “Kita hendak mendirikan suatu negara “semua untuk semua”. Kebangsaan Indonesia yang bulat. Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia yang bersama-sama menjadi dasar nationale staat.” (Soekarno, 1 Juni 1945). Jelaslah bahwa persatuan merupakan hal utama yang perlu diwujudkan dalam membangun semangat kebangsaan Indonesia. Itulah pesan dari leluhur, Founding Fathers Indonesia.
NKRI harga mati. Hal ini jangan sampai hanya sekadar menjadi semboyan kebangsaan belaka. NKRI merupakan komitmen yang tidak dapat serta merta kita tukar dengan apapun. Bahkan dengan kursi kekuasaan sekalipun. Jangan karena Pilkada, kita melihat masyarakat terfragmentasi (terkotak-kotak) pada satu egoisme identitas. Meski berbeda pilihan politik, kita tetap satu bangsa. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang melebur satu dalam banyak perbedaan. Bangsa yang mencintai, mengasihi, dan melindungi sesama manusia bukan sesama golongan. Oleh karena itu, dibutuhkan sensitivitas kebangsaan yang tinggi agar terus terpanggil merawat persatuan.
Pilkada untuk Persatuan
Pilkada merupakan agenda demokrasi yang meleburkan tujuan bersama dalam satu upaya membangun masyarakat yang sejahtera. Kesejahteraan kolektif dan kesejahteraan yang memanusiakan. Oleh karenanya, pemaknaan pilkada sebagai alat pemersatu sudah sepantasnya melekat pada pemikiran masyarakat Indonesia, sehingga dapat mengkulturasi perilaku–perilaku yang demokratis, perilaku–perilaku perekat kebangsaan, serta perilaku yang toleran. Pilkada ibarat jembatan yang akan kita lalui bersama untuk kesejahteraan bersama.
Jangan kita kotori makna suci Pilkada tersebut dengan sentimen berlebihan dan kebencian atas satu pilihan politik sehingga memicu konflik sosial yang mengancam persatuan. Pilkada merupakan amanah suci demokrasi yang mengharapkan rakyat Indonesia menjadi bangsa yang tetap satu, tidak terpecah-belah. Pun, para Founding Fathers Indonesia akan menangis apabila melihat anak cucunya terpecah-belah.
Merajut Kembali Silaturahmi
Dalam beberapa hari ke depan, kita akan mengetahui secara resmi pemenang dalam kontestasi demokrasi yang baru saja dihelat. Maka itu, setiap pihak diharapkan bisa menerima hasil yang diperoleh, baik menang ataupun kalah. Semuanya harus legawa. Kita berharap agar semua pasangan calon (Paslon) yang dinyatakan kalah, tidak kecewa dan menerimanya secara ksatria.
Kalah dan menang dalam Pemilu adalah suatu hal yang biasa. Namun, persatuan dan kesatuan, serta semangat pengabdian kepada bangsa dan negara harus tetap dijaga. Kekalahan dalam Pilkada bukanlah akhir dari dunia, namun merupakan bagian dari hasil usaha yang maksimal untuk mengabdi pada bangsa dan negara untuk mewujudkan Indonesia sejahtera. Karenanya, kita harus diterima dengan dengan lapang dada.
Kita khawatir jika setiap paslon yang kalah tidak melakukan tindakan ‘ksatria’, maka bisa berbuntut perpecahan bangsa. Bila kalah, langsung saling tuding, menyebar kebencian dan tidak bersikap bijak, sehingga berpotensi memecah kesatuan NKRI.
Perlu dipahami, kemenangan dan kekalahan merupakan bagian dari dinamika demokrasi harus dierima dan dijalani ikhlas. Memang, beragam prediksi hasil Pilkada memang sudah muncul dari lembaga survei. Namun untuk hasil resmi, kita serahkan seluruhnya kepada KPU selaku penyelenggara resmi.
Kita berharap pemimpin yang terpilih benar-benar sesuai dengan amanah rakyat. Mampu menyejahterakan dan menjaga kedamaian NKRI. Tidak berambisi memperkaya diri serta mengedepankan kepentingan bangsa Indonesia.
Demi menyambut hal tersebut, marilah kita rajut kembali tali silaturahmi yang sempat retak karena perbedaan dukungan politik dalam momentum Pilkada. Jangan sampai tali silaturahmi kebangsaan putus disebabkan perbedaan pilihan politik. Sekali tali silaturahmi kebangsaan terputus, maka percuma ada Pilkada. Sebab, tidak ada pemimpin mana pun yang mampu membangun kesejahteraan apabila terdapat perpecahan dalam diri rakyat dipimpinnya. Wallahu a’lam bish-shawaab.