Khilafah, dalam konteks NKRI selalu menjadi hantu yang nyata bagi tegaknya nilai-nilai Pancasila. Mengingat, penerapan khilafah yang hanya bercorak salah satu agama saja di tubuh NKRI akan menjadi duri bagi kemajemukan warga negara Indonesia (WNI) yang plural. Penerapan ideologi khilafah dikhawatirkan akan menggoreskan luka menganga perpecahan pada anyaman kebangsaan yang telah dirajut secara padu oleh para Founding Fathers NKRI.
Namun, meskipun organisasi HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) telah resmi dibubarkan karena memperjuangkan khilafah islamiyyahyang notabene bertentangan dengan semangat kebinekaan, gerakan khilafah nyatanya tidak pernah kehilangan akal. Dalam momentum gelombang protes atas RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila), para pengusung khilafah justru menjadi penumpang gelap dalam arus penolakan tersebut. Seolah-olah, mereka adalah pembela Pancasila, namun justru merencanakan untuk mengganti ideologi negara Indonesia yang telah mapan tersebut.
Apa yang dilakukan tersebut, merupakan intrik politik penuh tipu daya atau dapat disebut pula politik kuda troya. Sebetulnya, strategi Kuda Troya adalah bentuk tipu daya klasik yang teracu pada mitologi Yunani tentang perebutan Kota Troya. Kisah tentang dikepungnya Kota Troya selama sepuluh tahun oleh balatentara Yunani dan tak kunjung menyerah juga. Maka, atas akal Odysseus, dibangunlah patung kuda kayu raksasa yang di dalamnya berongga dan bisa diisi sepasukan tentara.
Baca Juga : Menangkal Kamuflase Kuda Troya Khilafah
Pada pagi hari orang-orang Troya melihat perkemahan yang kosong, dan mengira Yunani telah menyerah. Patung tersebut dimasukkan ke kota atas petunjuk Sinon, orang Yunani yang ditinggal dengan cerita palsu ramalan ahli nujum, untuk dirawat agar terhindar dari murka dewa Athena. Ketika semua penduduk sudah terlelap dengan perasaan aman pada malam hari, pasukan Yunani keluar dari dalam patung, membuka pintu gerbang kota, dan balatentara Yunani yang ternyata hanya bersembunyi di sebuah pulau, mengalir masuk ke dalam kota. Malam itu kota dibakar, penduduknya dibantai, dan Troya dihapus dari muka bumi [Hamilton, 1961 (1940): 193-9].
Sebagaimana tipu daya kuda troya, penegakan khilafah islamiyyah di masa sekarang pun sesungguhnya penuh dengan tipu daya nalar atas romantisme sejarah Islam masa lalu. Farag Fouda, salah satu pemikir revolusioner Mesir, kolumnis, dan aktivis HAM berpengaruh adalah orang yang berani mengungkap secara jujur praktik politik khilafah Islam pada masa klasik dalam bukunya Al-Haqiqah Al-Ghaibah(Kebenaran yang Hilang). Fouda menuliskan pemikiran kritisnya terhadap sejarah kelam kekhalifahan Islam, dari zaman sahabat hingga Daulah Abbasiyah. Ia secara jelas menentang pandangan kaum fundamentalis Islam bahwa khilafah merupakan bentuk sistem negara yang par exelence dengan menyajikan fakta-fakta sejarah yang bertolak belakang.
Pertama, Masa Khulafaurrasyidin. Usman bin Affan wafat karena dibunuh oleh umat Islam sendiri dan bahkan jasadnya harus menunggu dua hari untuk dimakamkan karena sebelumnya ditolak oleh kaum Anshar untuk dimakamkan di makam umat Islam. Lalu, dimakamkanlah di tempat-tempat orang Yahudi. Bahkan, sebelum mencapai makam, jasadnya diludahi dan salah satu tulangnya dipatahkan.
Kedua, Masa Dinasti Umayyah. Muawiyah bin Abu Sofyan dengan segala kelicikannya melawan Ali bin Abi Thalib dengan memecah-belah persatuan umat Islam. Putranya, Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan menolak pertanggungjawaban atas terjadinya perang Karbala yang menewaskan Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu kesayangan Rasulullah.
Ketiga, Masa Dinasti Abbasiyyah. Abu Abbas As- Saffah, perintis Dinasti Abbasiyyah menjagal puluhan anggota keluarga Bani Umayyah sambil makan malam. Pun, keturunannya, Al-Walid bin Yazid, dikenal sebab kegemarannya mabuk, homoseksual, dan hobi membidik al-Qur’an dengan anak panah. Bahkan, meskipun memiliki perilaku begitu, ulama dipaksa membuat fatwa bahwa khalifah adalah ahli surga yang harus selalu dipatuhi.
Dari sini, jelas bahwa keberadaan khilafah bukan hanya berpotensi memunculkan perpecahan kelompok karena menganut salah satu agama saja, tapi juga berpotensi menganut kebenaran tunggal dan penyalahgunaan kekuasaan. Iklim ini sungguh tidak cocok untuk negara bercorak demokrasi yang mengedepankan praktik-praktik beradab.
Dari situ, kita harus bersama-sama berikhtiar membela Pancasila agar tidak tumbang menghadapi arus gempuran ideologi khilafah yang membabi buta. Meskipun, ideologi khilafah jelas-jelas salah kaprah dalam menalar praktik khilafah islamiyyah pada masa lalu, tapi gerakan tersebut masih saja eksis hingga sekarang. Ikhtiar tersebut dapat dilakukan dengan menanamkan kecintaan terhadap NKRI dan mensosialisasikan pentingnya Pancasila dalam sejarah kebangsaan kita kepada para generasi penerus bangsa.
Agar, tidak ada lagi muncul warga negara yang simpati dengan khilafah. Mereka sadar, betapa khilafah yang dinarasikan pengusungnya merupakan sistem utopis yang berpotensi menimbulkan perpecahan dan rawan atas penyalahgunaan kekuasaan. Pancasila lebih logis, karena digali dari nilai-nilai warga negara sendiri dan bisa mencakup kepentingan bersama meski terlahir bineka.
Di sisi lain, kita juga harus memahami nilai-nilai Pancasila serta menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar, Pancasila bukan hanya menjelma menjadi pengetahuan yang dogmatis dan tidak fleksibel, tetapi Pancasila menjadi ideologi yang das solen dan das sein yang selalu relevan dengan perkembangan zaman. Wallahu a’lam.