Setiap negara dan kultur masyarakat mempunyai cara berbeda dalam membingkai Islam. Tidak merubah apalagi merusak inti dan subtansi ajarannya, tetapi tradisi lokal membingkai ajaran menjadi lebih semarak dan adaptif dengan kebatinan masyarakat lokal. Karenanya, Islam dipraktekkan seragam, tetapi diekspresikan dengan nuansa yang beraneka ragam.
Melanggengkan nilai sebuah ajaran Islam menjadi penting di tengah arus berislam yang sekedar tampilan dan formalistik semata. Islam hanya aksesoris, tetapi tidak menjadi bagian dari gaya hidup muslim. Cara melanggengkan dan menanamkan nilai Islam adalah dengan tradisi yang dekat dengan kultur setempat. Di sinilah ramuan Islam nusantara sukses menjadikan Islam sebagai karakter dan jati diri nusantara.
Dalam prakteknya, kenapa Idul Fitri menjadi sangat meriah di Indonesia dibandingkan di Timur Tengah? Kenapa Idul Fitri tidak hanya selesai setelah bubarnya jamaah dari masjid pada pelaksanaan shalat I’d. Bagi masyarakat nusantara, Idul Fitri adalah kemenangan besar yang dirayakan dalam berbagai event keagamaan. Parade aktifitas keagamaan yang ditampilkan sama sekali tidak bertentangan dengan nilai dan subtansi Islam.
Istilah lebaran yang berarti lebar, lebur dan luber mengandung makna Idul Fitri sebagai hari setelah (lebar) puasa yang ditandai leburnya dosa dan melubernya segala rizki dan keberkahan. Tidak ada istilah lebaran dalam Islam, tetapi setelah berlebaran (lebar, lebur dan luber) orang kembali fitri (idul fitri). Adakah yang bertentangan?
Belum lagi kita berbicara lebaran kedua yang banyak dikenal di masyarakat pesisir Jawa, Madura dan Lombok yang dikenal telasan topak, telas lontong dan istilah lain sebagai peringatan setelah melaksanakan puasa sunnah syawal. Tradisi ini sama sekali bukan bertentangan karena justru memeriahkan rasa syukur dan melekatkan nilai Islam dalam masyarakat pribumi.
Tidak hanya sehari, Idul Fitri di tengah masyarakat pribumi dihiasi dengan ragam kegiatan keagamaan yang berupa silaturrahmi. Siapa yang akan melarang dan membid’ahkan silaturrahmi? Syawal bagi masyarakat Nusantara adalah bulan silaturrahmi dengan ragam kegiatan baik open house, halal bi halal hingga acara sambang kerabat jauh dan dekat. Sungguh sebuah panorama islami yang hanya bisa ditemukan di masyarakat muslim nusantara dalam memaknai Idul Fitri.
Kekayaan tradisi Islam nusantara dalam Idul Fitri sangat beragam. Dari simbol ketupat, aktifitas mudik hingga acara silaturrahmi yang digelar selama satu bulan. Apa maknanya? Idul Fitri tidak cepat berlalu. Begitu pun puasa tidak hilang begitu saja. Nilai dan semangat idul fitri dan puasa dilanggengkan melalui berbagai aktifitas tradisi yang mengandung nilai Islami.
Beragama tidak menjadi gersang. Beragam tidak sekedar hitam dan putih, tetapi tentang mewarnai hidup dengan kebaikan. Apapun kebaikan tidak membutuhkan dalil. Begitupula meninggalkan keburukan. Apalagi kebaikan itu disertakan dalam memaknai hari dan bulan-bulan suci. Mentradisikan Idul Fitri dalam berbagai kegiatan yang bernilai Islami adalah cara masyarakat muslim nusantara melanggengkan nilai Islam dalam bahasa pribumi.
Anak-anak saat ini tidak hanya mengenal Idul Fitri dengan takbir, tetapi kemeriahan takbir yang membahana melalui karnaval. Generasi saat ini tidak hanya mengenal Idul Fitri dari shalat Id semata, tetapi juga silaturrahmi yang menyeluruh terhadap sanak famili. Dan masih banyak contoh lain bagaimana pribumisasi Idul Fitri menjadi media menanamkan nilai dan makna yang islami.
Saat ini bukan masalah apakah tuntunan serupa ada dalilnya, tetapi apakah kebaikan itu bertentangan dengan syara atau tidak. Banyak sekali inovasi yang sejak dulu dilakukan para sahabat, tabiin dan generasi setelahnya yang menyumbangkan jasa besar bagi Islam sekalipun aktivitas itu tidak ada dalilnya.