Prinsip ‘Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalih’ dalam Menjaga Esensi Dakwah

Prinsip ‘Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalih’ dalam Menjaga Esensi Dakwah

- in Keagamaan
6
0

Prinsip “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalih (menolak kemudharatan lebih utama ketimbang mewujudkan kemaslahatan)” merupakan kajian dalam Ilmu Ushul Fiqh. Dalam konteks dakwah juga tentu sangat erat berkaitan. Praktik prinsip ini sangat dekat dengan interaksi sesama/sosial. Dan berdakwah juga tak dapat dilepaskan dengan interaksi dengan sesama.

Dakwah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh dai (orang yang berdakwah) kepada mad’u (orang yang didakwahi) agar dapat menapaki jalan Tuhan dengan sebaik-baiknya. Dai bagaikan sales barang dagangan. Untuk dapat menjajakkan dagangannya dengan baik, maka seorang sales harus mampu merayu calon konsumen dengan baik. Bahkan pengamatan dan pendekatan sosio-kultural juga menjadi mutlak adanya. Dengan kemenarikan sang sales, konsumen yang awalnya tidak tertarik terhadap barang yang dijajakan akhirnya penasaran dan semangat untuk membeli. Begitu pula dengan dai, mereka juga menggunakan ilmu yang sama dalam rangka menarik hati mad’u. bukan hanya pendekatan sosio-kultural, bahkan pendekatan personal sering kali dilakukan para dai sehingga para mad’u merasa menyatu dengan dai. Ketika sudah menyatu, mad’u akan dengan mudah mengikuti ajakan sang dai.

Pendekatan personal antara satu orang dengan yang lainnya berbeda-beda. Maka apabila dakwah akan berhasil, maka seorang dai harus mampu menyelami masing-masing orang yang menjadi tujuan dakwahnya. Seorang dai dituntut untuk bisa bergaul dan komunikasi sesuai dengan kebiasaan mad’u. Karena hanya dengan inilah mad’u akan bisa merasa dekat dengan dai dan akhirnya mendapat pencerahan sehingga bisa menuju jalan Tuhan dengan baik.

Permasalahannya adalah kompleksitas masyarakat yang ada. Artinya, dai harus bisa menguasai cara bergaul dan berinteraksi dengan masing-masing mad’u. Cara bergaul dan berinteraksi antara satu orang/kelompok dengan yang lainnya berbeda-beda. Bagi masyarakat abangan, mereka memiliki kepribadian yang jauh jika dibandingkan dengan kelompok akademisi dan santri. Maka, dalam rangka pendekatan personal dan diksi dalam komunikasi pun harus menyesuaikan dengan mad’u.

Perbedaan cara seperti inilah yang berpotensi menjadi masalah. Lebih-lebih bagi seorang dai kondang yang segala gerak-geriknya selalu diintai kamera. Perkataan yang pantas di satu kelompok masyarakat bisa jadi masalah pada kelompok masyarakat lain. Padahal, dengan adanya kamera dan media sosial, perkataan tersebut akan dengan sangat mudah dikonsumsi kelompok lain. Maka dari itulah, satu perkataan ataupun tindakan seorang dai akan dengan sangat mudah menjadi masalah di masa sekarang.

Bermula dari sinilah, prinsip “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalih (menolak kemudharatan lebih utama ketimbang mewujudkan kemaslahatan)” dalam berdakwah di masa sekarang harus semakin dipegang kuat. Dalam konteks interaksi dengan para mad’u yang berlatar belakang abangan, seorang dai harus lebih hati-hati dalam bertindak dan bertutur kata. Membumi dengan mereka adalah keharusan karena menjadi kunci keberhasilan. Namun demikian perkataan kotor, merendahkan, ataupun negatif lainnya harus dihindari.

Mungkin saja dengan perkataan negatif akan memiliki ‘keuntungan’ dalam menggaet mad’u. Namun demikian potensi negatif lainnya juga banyak ditimbulkan. Perkataan negatif yang keluar dari seorang dai kondang bisa jadi legitimasi oleh masyarakat luas dalam meniru perkataannya. Masyarakat bisa dengan mudah mengatakan, “dia aja yang dai kondang biasa mengatakan seperti ini (baca: kata negatif), apalagi hanya saja, maka tidak apa-apa”. Dengan begitu, perkataan negatif akan dengan mudah diucapkan oleh masyarakat luas.

Belum lagi jika terdapat orang/kelompok yang tidak suka dengan personal dai. Perkataan negatif yang diucapkan bisa jadi amunisi para pembenci untuk menjegal nama baiknya. Ketika hal ini sudah terjadi, bukan hanya personal dai saja yang terdampak namun karisma dakwah akan memudar. Alhasil, ketika sudah banyak masyarakat tidak simpati dengan dai, maka mad’u yang menerima materi dakwah lambat laun akan terus berkurang.

Tuhan juga sebenarnya telah membuat regulasi dakwah. Dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil) dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125).

Ayat ini menunjukkan adanya potensi mad’u memprovokasi dai mengucapkan kata negatif. Namun demikian, seorang dai harus menjaga diri untuk tetap tenang, tidak terprovokasi. Perkataannya harus tetap positif, bahkan ketika melakukan perdebatan.

Dakwah kepada kelompok masyarakat yang tidak bermoral sejatinya telah diteladankan sang juru dakwah, Nabi Muhammad SAW. Ia sempat berdakwah ke Thaif namun mendapat perlawanan keras. Bukan hanya perkataan kotor dan cacian yang diterima Nabi Muhammad SAW namun juga kekerasan fisik diterimanya. Bahkan Malaikat Jibril sempat menawarkan diri untuk memberi balasan penduduk Thaif dengan menghantam dengan gunung.

Sebagai seorang pendakwah sejati, Nabi Muhammad SAW tidak termakan emosi. Tawaran Malaikat Jibril tidak diterima. Ia justru bersabda, “Sungguh Allah tidak mengutusku untuk menjadi orang yang merusak dan bukan (pula) orang yang melaknat. Akan tetapi Allah mengutusku untuk menjadi penyeru dan pembawa rahmat. Ya Allah, berilah hidayah untuk kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui!” (HR Baihaqi).

Cara-cara dakwa Nabi Muhammad SAW seperti ini mendapat komentar positif dari Allah SWT. Dan tentu, komentar ini menjadi pegangan para pendakwah setelahnya, yakni para dai hingga akhir zaman. Allah SWT berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Al-Imran: 159).

Wallahu a’lam.

Facebook Comments