Esensi media sosial adalah medium komunikasi dan informasi. Di media sosial, manusia dimungkinkan untuk saling terkoneksi satu sama lain, berinteraksi, bertukar gagasan, melakukan transfer pengetahuan, atau sekedar menjalin pertemanan. Namun, belakangan medsos telah berevolusi menjadi semacam kanal bersemainya ujaran kebencian, narasi adu domba dan narasi provokasi. Entah siapa yang memulai, namun sejak beberapa tahun terakhir, media sosial memang berubah dari arena bermain yang menyenangkan menjadi ajang perdebatan nirmutu, bahkan sarana menebar adu domba dan provokasi.
Gejala menjumbuhnya narasi provokasi dan adu domba di medsos barangkali bisa dilacak pada momen Pilpres tahun dan berlanjut hingga ke Pilkada DKI 2017 lalu memuncak pada Pilpres 2019 lalu. Perbedaan pilihan dalam kontestasi politik praktis telah memecah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok kecil yang berinteraksi di media sosial dengan penuh kecurigaan, prasangka bahkan kebencian. Tujuh tahun belakangan ini boleh jadi merupakan masa-masa paling buruk bagi dunia medsos kita. Keberadaan UU ITE yang dibuat untuk meredam narasi kebencian dan provokasi di dunia maya pun tampaknya tidak banyak berpengaruh.
Nyaris semua isu di dalam kehidupan nyata, baik itu isu sosial, politik, ekonomi maupun agama nyaris selalu memantik perdebatan di dunia virtual. Begitu juga yang tampak belakangan ini, ketika dalam beberapa pekan medsos kita riuh oleh provokasi dan adu domba yang ironisnya justru menggunakan Pancasila sebagai alat propagandanya. Perbedaan cara pandang dan penafsiran publik dalam memaknai dan memahami Pancasila telah menimbulkan sikap pro-kontra di tengah publik. Kondisi ini tampaknya dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memecah belah masyarakat.
Provokasi virtual di dunia jelas bukan fenomena baru di negeri ini. Sebagaimana disebutkan di atas, gejala pembusukan komunikasi publik di ranah virtual sudah terjadi sejak tujuh tahun belakangan ini. Pangkal dari pembusukan itu ialah isu politik praktis yang memecah belah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok yang saling berahadap-hadapan. Kini, provokasi virtual dan adu domba di medsos itu menggunakan Pancasila sebagai senjatanya. Pancasila yang hakikatnya merupakan alat pemersatu bangsa justru diselewengkn fungsinya menjadi pemecahbelah persatuan bangsa.
Persatuan Sebagai Kekuatan Bangsa
Fenomena segregasi sosial apalagi disintegrasi bangsa ialah hal yang patut kita waspadai. Salah satu kekuatan bangsa, terletak pada bagaimana bangsa tersebut mengonsolidasikan persatuannya. Sosiolog Paul F. Jackman menyebutkan bahwa ada setidaknya enam kunci sukses bangsa dan negara dalam menaklukkan tantangan abad modern, yakni inovasi, jejaring global, pendidikan, teknologi, sumber daya alam, cadangan uang dan persatuan bangsa. Keenam poin itu merupakan komponen penting bagi sebuah bangsa dan negara dalam menghadapi arus deras persaingan global.
Baca Juga : Waspada Provokasi yang Mengadu Domba
Dalam pandangan Jackman, klausul persatuan menjadi hal pokok yang kerap diabaikan padahal keberadaannya menentukan nasib bangsa ke depan. Tanpa persatuan, sebuah bangsa atau negara dipastikan akan terjebak dalam konflik sosial antarsesama anak bangsa yang tidak jarang berujung pada kehancuran bangsa itu sendiri. Sejarah membuktikan bahwa konflik sosial antarsesama anak bangsa kerap kali menjadi pemicu mundur bahkan hancurnya sebuah peradaban. Dalam konteks yang paling dekat, kita bisa menjadikan situasi Suriah saat ini sebagai contoh bagaimana konflik sosial-politik dalam beberapa tahun saja bisa menghancurkan peradaban yang dihasilkan selama puluhan bahkan ratusan tahun.
Apa yang terjadi di Suriah sekaligus menyadarkan kita bangsa Indonesia bahwa provokasi dan adu domba terutama di media sosial ialah penyakit yang berbahaya bagi kesehatan bangsa. Konflik sektarian di Suriah ialah ekses dari dibiarkannya narasi provokasi dan adu domba di dunia maya. Masing-masing kelompok merasa diri paling benar dan berhak mendeskreditkan bahkan menegasikan kelompok lain. Situasi yang segregatif ini lantas bereskalasi menjadi konflik berdarah yang menewaskan ribuan nyawa dan menimbulkan kerugian material tidak sedikit. Kita tentu tidak ingin apa yang terjadi di Suriah terjadi di negeri tercinta ini. Eksistensi bangsa ini terlalu mahal untuk kita gadaikan pada para provokator dan tukang adu domba yang menjadikan Pancasila sebagai alat pemecahbelah bangsa.
Keberadaan medsos hari ini ialah keniscayaan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi selama beberapa dekade terakhir. Kemunculan internet dan medsos kian mengukuhkan tesis Thomas L. Friedman mengenai “flat world” alias dunia datar dimana semua manusia saling terkoneksi satu sama lain. Kondisi ini menurut Friedman tidak selalu baik, lantaran bisa menimbulkan apa yang ia istilahkan sebagai creative destruction, yakni kreatifitas manusia yang merusak. Adanya kejahatan siber (cybercrime), kejahatan digital lintas negara, termasuk berkembangnya hoaks, provokasi dan adu domba di ranah virtual adalah bagian dari creative destruction tersebut. Melarang medsos tentu bukan hal bijak, lantaran hal itu sama saja mengekang kebebasan masyarakat.
Melawan Segala Jenis Provokasi dan Adu Domba
Namun, membiarkan medsos menjadi sarang berkembangnya provokasi dan adu domba juga lebih tidak bijak. Yang harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat ialah menghalau provokasi dan adu domba di media sosial dengan langkah strategis. Dari sisi pemerintah, penegakan hukum terhadap penyebar konten provokatif dan adu domba di medsos perlu digalakkan lagi. Penegakan hukum penting bukan hanya untuk menghukum pelaku, namun juga mencegah orang lain melakukan hal serupa. Tidak kalah penting dari itu, pemerintah harus mengedepankan pola komunikasi yang efektif dan efisien sehingga masyarakat mudah memahaminya.
Segala kebijakan pemerintah, baik dalam urusan ekonomi, politik, agama, sosial, hukum dan lain sebagainya idealnya dikomunikasikan dengan bahasa yang mudah dipahami publik. Hal ini dimaksudkan agar tidak muncul tafsir liar di publik yang rentan dijadikan alat untuk memprovokasi dan mengadu domba masyarakat. Pola komunikasi efektif dan efisien ialah cara paling taktis untuk menutup celah bagi provokator dan tukang adu domba untuk memelintir isu tertentu demi mewujudkan kepentingannya.
Dari sisi masyarakat, kita perlu mengembangkan pola pikir cerdas dan kritis sebagai modal utama kita membangun kesiagaan dan kewaspadaan dalam menghadapi provokasi virtual dan adu domba di medsos. Pengetahuan tentang literasi digital mutlak harus dimiliki oleh setiap individu yang sehari-hari aktif di dunia medsos. Tanpa literasi digital yang mumpuni, masyarakat akan mudah terseret arus bah informasi sehingga mudah dikendalikan dan diprovokasi oleh pihak tertentu. Literasi digital juga memungkinkan masyarakat membangun semacam defense mechanism untuk menghindar dari provokasi dan upaya adu domba. Harus kita akui bahwa mermedia sosial ialah hal mengasyikkan. Kita bisa berjam-jam larut memelototi lini masa yang dipenuhi segala jenis pengetahuan dan informasi. Namun, bermedsos tidaklah semudah seperti yang kita lihat. Bermedsos tidak hanya membutuhkan telepon cerdas dan koneksi internet. Lebih dari itu, bermedsos juga membutuhkan pengetahuan dan pemahaman kita tentang isu dan wacana yang tengah berkembang di publik. Tanpa itu, kita hanya akan menjadi pengguna medsos yang tidak memiliki independensi dan mudah dimobilisasi oleh isu atau wacana yang diembuskan pihak tertentu.