Dakwah Islam yang berkarakter puritan tengah menjadi tren belakangan ini. Terutama di jagad medsos. Dakwah puritan itu dicirikan dengan sejumlah jargon. Antara lain; “kembali ke Alquran dan Sunnah”, “pemurnian akidah”, “back to Quran”, dan sejenisnya. Intinya, dakwah yang mengajak umat Islam meninggalkan segala hal yang dicap bid’ah, khurafat, takhayul, mistis, dan sejenisnya.
Model dakwah puritan ini sangat digandrungi oleh kalangan muda. Terutama milenial dan terlebih lagi generasi Z. Apalagi yang tinggal di perkotaan (urban). Mengapa bisa demikian? Amatan sederhana penulis menyimpulkan bahwa ada sejumlah faktor yang melatari mengapa milenial dan gen Z sangat menggemari model dakwah puritan tersebut.
Pertama, para pendakwah atau ustad puritan ini cenderung tidak ingin dikultuskan oleh jemaahnya. Dalam banyak hal, para ustad dakwah puritan ini justru menempatkan dirinya sejajar dengan jemaahnya. Inilah yang membuat milenial dan gen Z cenderung merasa nyaman mengikuti kajian-kajiannya.
Hal ini bertolak belakang dengan model dakwah kultural-moderat, terutama di lingkungan Nahdlatul Ulama. Harus diakui bahwa model relasi kiai-santri atau kiai-jemaah di lingkunga NU masih diwarnai oleh kultus individu. Para kiai atau ulama kerap menuntut penghormatan berlebih. Praktik kultus individu ini cenderung tidak bisa diterima oleh kalangan milenial dan gen Z perkotaan.
Kedua, dakwah puritan umumnya dilakukan dengan “kemasan” yang sederhana. Kajian dilakukan di masjid, aula lembaga pendidikan, dan tempat sejenis yang nisbi steril dari ornamen-ornamen atau ekspresi simbolik yang tidak perlu.
Kajian-kajian yang dilakukan oleh ustad puritan umumnya tidak memakai sound system besar, lampu-lampu, atau panggung mewah. Cukup memakai backdrop, kursi dan meja, bahkan kadangkala lesehan.
Ini berbeda misalnya dengan pengajian-pengajian atau acara sholawatan di lingkup NU yang kerap disebut mirip konser musik. Pengajian menggunakan panggung luas dan tinggi, lengkap dengan gemerlap lampu, dan perangkat sound system yang menggelegar. Bahkan, kadang kala disertai atraksi joget-joget layaknya pertunjukan musik. Kebiasaan itu cenderung tidak bisa diterima oleh kalangan milenial dan gen Z perkotaan.
Ketiga, dakwah puritan cenderung straight to the point alias tidak bertele-tele dan langsung masuk ke persoalan yang relateable dengan kehidupan kaum muda milenial dan gen Z. Para ustad dakwah puritan ini paham sekali bahwa milenial dan gen Z tidak butuh retorika keagamaan yang muluk-muluk, atau referensi keagamaan yang njelimet.
Kaum milenial dan gen Z urban hanya butuh sebuah kajian keagamaan yang mampu menghadirkan solusi bagi problem kehidupan mereka. Dan, itu yang dihadirkan oleh para ustad dakwah puritan.
Para ustad dakwah puritan juga cenderung menghindari guyonan atau humor yang dianggap tidak etis secara norma sosial dan budaya kaum urban modern. Hal ini beda dengan para kiai atau ulama moderat dari tradisi NU yang justru kerap blunder dalam ceramah-ceramahnya.
Misalnya, melempar humor seksis (mengobyektifikasi perempuan), merendahkan orang lain, bahkan ada yang ceramah sambil mengisap rokok. Karena perilaku itulah, kaum milenial dan gen Z perkotaan kerap melabeli para pendakawah NU sebagai “ustad red flag” alias harus di-blacklist.
Rebranding Dai Moderat di Tahun 2025
Label “ustad red-flag” yang kadung tersemat di kalangan pendakwah moderat, terutama dari lingkungan NU inilah yang harus dilepaskan. Perlu ada rebranding dari para penceramah moderat terutama dari kalangan NU agar bisa diterima di kalangan milenial dan gen Z urban.
Ini penting agar kaum muda perkotaan tidak dihegemoni oleh nalar keagamaan yang tekstualis dan eksklusif sebagaimana diajarkan para ustad-ustad salafi-wahabi yang berkarakter puritan tersebut.
Kita tentu tidak bisa memandang sepele, apalagi bersikap permisif pada tren dakwah puritan ini. Puritanisme bagaimana pun juga merupakan akar dari ekstremisme dan terorisme. Seseorang mustahil tiba-tiba menjadi ekstrem atau menebar teror.
Kecuali dia telah melalui tahapan menjadi seorang puritan. Puritanisme menanamkan doktrin bahwa dia dan kelompoknya adalah entitas paling suci, paling benar, dan paling mewakili kehendak Tuhan. Sedangkan yang lain isu sesat, maka pantas dan wajib dienyahkan.
Logika eksklusivisme inilah yang menjadi embrio ekstremisme dan terorisme. Seseorang tega melakukan kekerasan dan teror pada sesamanya, lantaran didasari oleh klaim kebenaran tunggal. Bahwa pandangan keagamaannya lah yang paling benar.
Kaum milenial dan gen Z perkotaan jelas harus diselamatkan dari hegemoni dakwah puritan ala ustad salafi dan wahabi tersebut. Jika tidak, maka dipastikan akan lahir para jihadis baru yang siap menebar teror dan kekerasan demi membela klaim kebenaran tunggal tersebut.