Momen ulang tahun BNPT yang hampir bersamaan dengan deklarasi pembubaran Jamaah Islamiyyah (JI) memantik ragam pertanyaan di benak banyak pihak. Pertanyaan pertama, bagaimana peta gerakan ekstremisme agama pasca bubarnya JI? Apakah bubarnya JI ini adalah akhir dari gerakan ekstremisme agama, setidaknya di Indonesia atau kawasan Asia Tenggara?
Pertanyaan, kedua bagaimana proyeksi BNPT ke depan pasca pembubaran diri JI? Akankah keberadaan BNPT tetap urgen dan relevan di tengah kebangkrutan JI sebagai motor penggerak ekstremisme di Indonesia?
Pertanyaan pertama, yakni terkait relasi pembubaran JI dengan peta gerakan ekstremisme bisa dijawab dengan melihat fenomena yang selama ini terjadi. Yakni bahwa bubarnya organisasi ekstrem tidak lantas menjadi akhir dari penyebaran ideologi ekstremisme itu sendiri.
Pembubaran organisasi ekstrem seperti HTI, FPI, dan JI tentu patut diapresiasi. Namun, kita tidak boleh terburu-buru menyimpulkan bahwa pembubaran organisasi ekstrem adalah akhir dari penyebaran ideologi ekstremisme.
Sebagai sebuah ideologi kebencian dan kekerasan, ekstremisme akan tetap hidup di tengah masyarakat, apalagi masyarakat yang berkarakter intoleran dan konservatif. Jika melihat realitas keberagaman umat Islam Indonesia yang harus diakui masih diwarnai oleh nalar konservatisme, maka ruang penyebaran ekstremisme masih terbuka lebar.
Di titik ini kita bisa mengambil kesimpulan awal bahwa pembubaran diri JI bukanlah akhir dari gerakan ekstremisme secara keseluruhan. Apalagi, dalam beberapa tahun belakangan, aksi teror di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh anggota JAT atau JAD yang berafiliasi dengan ISIS.
Gerakan ekstremisme dan terorisme tidak berakhir dengan bubarnya JI. Pembubaran diri JI hanya akan mengubah peta gerakan ekstremisme ke arah yang lebih soft (halus). Banyak analisa menyebutkan bahwa pasca pembubaran JI, kelompok ekstrem tidak lagi fokus pada upaya menyebarkan paham radikal melalui pendidikan, dakwah, terutama di media sosial dan media digital lainnya.
Merancang Langkah BNPT ke Depan
Bisa dikatakan, pembubaran JI ini hanya melahirkan semacam pancaroba gerakan ekstremisme, namun tidak sampai melahirkan badai yang mengakhiri gerakan eksotisme secara keseluruhan. Kondisi pancaroba gerakan ekstremisme itu kiranya menjawab pertanyaan kedua tentang urgensi dan relevansi BNPT sebagai leading sector penangangan radikalisme dan terorisme. Di tengah pancaroba gerakan ekstremisme ini, keberadaan BNPT tentu masih urgen DNS relevan. Proyeksi BNPT ke depan dapat dipetakan ke dalam setidaknya tiga hal pokok.
Pertama, melanjutkan agenda deradikalisasi para napi dan mantan napi terorisme. Deradikalisasi adalah proses panjang yang tidak instan dan membutuhkan dan banyak pihak dengan multi pendekatan. Agenda deradikalisasi berkelanjutan dengan multi pendekatan yang dilakukan oleh BNPT harus diteruskan, karena hal itulah yang akan memutus lingkaran setan radikalisme terorisme.
Kedua, memperkuat gerakan kontra narasi ekstremisme utamanya di media digital dengan membangun jejaring kolaborasi lintas sektor. Seperti kita tahu, pola gerakan ekstremisme hari ini mulai bergeser ke dunia maya dengan propaganda virtualnya yang masif.
Dunia maya telah menjadi ajang pertempuran ideologi keaagamaan, yang melibatkan kaum radikal di satu sisi dan kalangan moderat di sisi lain. Dalam konteks ini, BNPT harus hadir secara konkret dalam perang narasi melawan ekstremisme di dunia maya.
Ketiga, mengintensifkan sinergi antar-lembaga pemerintah dalam membangun mekanisme deteksi dini radikalisme. Sudah bukan rahasia lagi bahwa belakangan, kelompok radikal-ekstrem gencar menyusup ke lembaga atau instansi pemerintah untuk menyebarkan ideologinya. Target mereka adalah menempati posisi-posisi strategis di lembaga atau instansi pemerintah.
BNPT sebagai leading sector penanggulangan ekstremisme dan terorisme sangat dibutuhkan perannya dalam membangun sinergi antar-lembaga pemerintah tersebut. Peluncuran program I-KHub dan program Pentahelix adalah wujud konkret kontribusi BNPT dalam pencegahan terorisme di level lanjut.
Di usianya yang menginjak ke-14 tahun, BNPT tantangan yang dihadapi BNPT tentu kian beragam. Musuh BNPT saat ini bukan hanya kelomok teroris. Namun, juga para simpatisan gerakan radikal yang selalu menyerang BNPTdengan berbagai narasi. Misalnya, narasi yang menyebut BNPT gagal melakukan deradikalisasi karena masih banyak mantan napi teroris yang kembali ke organisasi radikal. Juga narasi yang menyebut bahwa BNPT seharusnya dibubarkan karena hanya memboroskan anggaran negara.
Pandangan itu, tidak lain merupakan upaya mendelegitimasi eksistensi BNPT. Keberadaan BNPT tetap urgen dan relevan di tengah perubahan peta gerakan radikal-ekstrem di Indonesia, Asia Tenggara, dan dunia. Kita perlu merancang ulang metode dan strategi pencegahan ekstremisme-terorisme. Dalam konteks inilah, BNPT yang memiliki segala sumber daya terkait penanggulangan terorisme masih sangat dibutuhkan kehadirannya.