Puasa Kok Gitu?

Puasa Kok Gitu?

- in Keagamaan
2710
0

Dalam artian yang paling sederhana, puasa berarti “menahan”. Bukan hanya menahan diri dari tidak makan dan tidak minum, tetapi menahan hajat yang lebih besar, yakni hajat untuk menjadi orang yang tidak menyenangkan. Tidak makan dan tidak minum hanyalah persyaratan sah puasa, tetapi bukan inti dari puasa. Karena jika hanya menahan makan dan minum, ular dan unta pun bisa melakukan hal yang sama.

Quraish Shihab dalam “Tafsir al Misbah” (2000) menjelaskan, hakikat utama dari puasa adalah menentramkan jiwa. Yakni dengan melatih kesabaran melalui latihan intensif untuk menahan diri dan menahan nafsu, ini dilakukan agar orang yang berpuasa menjadi individu yang lebih baik dari sebelumnya. Maka dalam konteks ini puasa bukan hanya sekedar ibadah tahunan, tetapi latihan untuk terus menerus memperbaiki diri.

Dalam “Terror di Tanah Suci,” (2016) alm. Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub mengajak kita untuk melihat secara baik-baik makna Ramadhan dengan lebih jujur, yakni dengan menanyakan pada diri sendiri “benarkah kita merindukan Ramadhan?” karena jangan-jangan, kita tak pernah sebenarnya rindu pada Ramadhan; kita hanya sibuk pada euphoria konsumerisme-nya. Tenggelam dalam hiruk pikuk aneka jajanan khas ramadhan dan diskon besar-besaran di pusat-pusat perbelanjaan.

Bisa jadi, kita bukan termasuk orang yang benar-benar merindukan ramadhan. Nyatanya, tidak ada perubahan penting dalam kehidupan sehari-hari, kecuali jadwal makan yang pindah, tapi porsi makan malah bertambah.

Tidak adanya perubahan dalam diri selama bulan Ramadhan merupakan salah satu bukti nyata betapa bulan penuh rahmat ini rupanya hanya lewat di depan mata, tak pernah benar-benar mampir dalam hati dan kepala.

Ini dapat dilihat dari tidak sedikitnya dari kita yang masih saja urakan meski Ramadhan telah datang; puasa yang seharusnya digunakan sebagai momen untuk menahan diri justru disalahgunakan untuk menahan orang lain mencari rejeki. Alasan menghormati bulan puasa kerap digunakan justru untuk menyusahkan sesama. Merasa paling mengerti kemauan tuhan sampai enteng banget melakukan kekerasan.

Karenanya, sudah seharusnya bulan penuh ampunan ini digunakan sebagai momen untuk memperbaiki diri. Hal itu bisa dimulai dengan berani jujur pada diri sendiri, apa yang sebenarnya sangat dirindukan dari ramadhan kali ini? Jangan sampai puasa hanya dimaknai sebagai kelaparan di siang hari dan makan gila-gilaan di malam hari. Puasa harus jadi momen untuk evaluasi dan memperbaiki diri, harus!

Hal yang harus pula dipahami adalah, bahwa puasa merupakan ibadah yang sifatnya personal; hanya antara kita dan tuhan saja. Karenanya bagus tidaknya puasa seseorang hanya bisa diketahui oleh Tuhan dan yang bersangkutan saja. Kita? Tidak usah ikut-ikutan. Kita fokus saja pada puasa kita masing-masing, tidak usah repot ngurusi ibadah orang lain.

Puasa adalah ibadah yang mendorong kita untuk belajar menghormati diri sendiri dan juga orang lain, karena dengan puasa kita diajarkan untuk menginjak ‘pedal rem’ pada hal-hal yang biasa kita lakukan secara kebut-kebutan. Bukan hanya perkara makan dan minum, tetapi menahan diri dari segala keburukan yang mungkin masih sering kita lakukan.

Karenanya tidak tepat jika menggunakan alasan puasa untuk meminta orang lain menghormati kita; justru kita yang puasalah yang harus menghormati orang lain, termasuk mereka yang tidak berpuasa. Ingat, ibadah puasa hanya untuk tuhan, karenanya tuhan sendiri yang akan membalas ibadah ini; bukan tetangga, teman, atau sanak saudara. Memaksa orang lain untuk menghormati kita yang sedang puasa berarti tidak percaya pada janji tuhan; bahwa “Puasa itu hanya untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya” (HR. Bukhori & Muslim).

Facebook Comments