Puasa, Spirit Egalitarianisme dan Penajaman Jiwa Sosial

Puasa, Spirit Egalitarianisme dan Penajaman Jiwa Sosial

- in Narasi
2116
0
Puasa, Spirit Egalitarianisme dan Penajaman Jiwa Sosial

Ramai-ramai umat Islam melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan. Menunaikan kewajiban yang telah termaktub jelas dalam Q.S. al-Baqarah ayat 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Dalam ayat tersebut, jelaslah bahwa tujuan puasa adalah menjadi hamba Tuhan yang benar-benar bertakwa.

Menurut HAMKA, takwa bermakna memelihara. Memelihara hubungan yang baik dengan Allah SWT. Memelihara jangan sampai terperosok kepada perbuatan yang tidak diridhai-Nya. Memelihara segala perintah-Nya supaya dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya. Memelihara kaki jangan terperosok ke tempat yang penuh lumpur dosa atau duri kemaksiatan (Kurnianto, 2020). HAMKA juga menyebut, dalam takwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakal, ridha, dan sabar. Takwa adalah pelaksanaan dari iman dan amal saleh.

Maka itu, tak heran bahwa hanya tingkat ketakwaan yang membedakan derajat umat manusia (Q.S. al-Hujurat: 13). Artinya, suku, budaya, bahasa, warna kulit, status sosial dan jabatan tidak akan mempengaruhi derajat kemanusiaan kita. Semua sama di mata Tuhan. Tidak dibeda-bedakan. Hanya ketaatan kita dalam menjalankan perintah-Nya yang akan mengangkat derajat kita di mata Tuhan.

Dari itu, jelas bahwa Islam sangat menghargai konsep kesetaraan derajat antarmanusia. Bahkan, perintah puasa Ramadan juga penuh dengan makna kesetaraan derajat manusia. Ini karena baik si kaya dan si miskin, sama-sama diminta menahan lapar, syahwat dan hal-hal yang membatalkan puasa selama waktu yang ditentukan.

Dari fajar sampai terbenam matahari. Si kaya yang sebenarnya mampu membeli makanan-makanan enak, harus rela merasakan lapar dan dahaga sebagaimana yang dirasakan si miskin setiap harinya karena susah memenuhi kebutuhan pangan. Ini semua dilakukan demi menunjukkan ketakwaan kepada Tuhan.

Baca Juga : Ramadhan, Covid-19 dan Kohesivitas Sosial

Hanya saja, prinsip kesetaraan seringkali diabaikan oleh umat beragama. Praktik kapitalisme telah mengakar dengan begitu rupa sehingga mereka lebih fokus mengeksploitasi dan mencari untung dari orang lain. Bukan saling membantu menyelesaikan persoalan kemanusiaan. Tak ayal, begitu mudah umat manusia saling menjatuhkan satu sama lain.

Maka itu, momentum dilaksanakannya kewajiban ibadah puasa yang memukul rata umat beragama dari beragam status sosial untuk sama-sama merasakan penderitaan orang miskin, seharusnya menjadi titik tolak untuk menjadikan agama yang benar-benar memanusiakan. Agar, pelaksanaan ibadah puasa tidak hanya dimengerti oleh umat beragama sebagai ritus formalitas belaka dan berorientasi pada dogma an sich.

Mempertajam Jiwa Sosial

Telah jelas bahwa puasa seyogyanya membuat umat beragama tidak hanya memikirkan diri sendiri tapi juga memikirkan orang lain. Puasa seharusnya mempertajam jiwa sosial umat beragama. Apalagi dalam masa darurat pandemi Covid-19, jiwa sosial seharusnya bukan hanya bangkit karena benar-benar memahami makna puasa tapi juga karena murni dorongan empati kemanusiaan. Dan, ini selanjutnya diwujudkan dalam gerakan-gerakan sosial untuk membantu kalangan mustadl’afin (orang-orang lemah) agar terlepas dari permasalahan-permasalahan kemanusiaan yang menimpanya. Agar, mereka tetap bisa bertahan hidup di tengah krisis global yang tidak diketahui secara pasti kapan waktu berakhirnya.

Rasulullah berujar, “khairunnas anfa’uhum linnas” (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya) (H.R. Ahmad dan Thabrani). Maka, sepantasnya kita berlomba-lomba berbagi kebaikan kepada tetangga dan saudara di sekitar kita yang membutuhkan. Agar, kita semua bisa menikmati berkah Ramadan dengan penuh cinta kasih.

Memang, setinggi apapun jiwa sosial seseorang, kemampuan kita dalam membantu dan meringankan beban orang lain di masa pandemi ini amat terbatas. Karena mayoritas kita juga dihadapkan dengan kondisi krisis yang sama. Kita juga tidak bisa membantu semua orang yang butuh pertolongan secara sendirian. Tetapi, itu tetap akan lebih baik daripada tidak meringankan beban orang lain sama sekali. Prinsipnya, ”maa laa yudraku kulluhu, yudraku ba’dluhu” (jika tidak bisa semuanya, sebagian tidak apa-apa).

Jika ingin memberikan dampak yang signifikan dan meluas, uluran tangan kita perlu disalurkan secara terorganisir. Tidak bersifat pribadi. Bisa melalui lembaga profesional atau membentuk kelompok kerjasama. Agar, bantuan bisa merata di wilayah yang dimaksudkan pemberi bantuan. Tidak ada bantuan sosial bersifat tebang pilih. Yang benar-benar berhak, pasti akan dapat. Sehingga, tidak ada lagi tetangga atau saudara-saudara sesama warga negara yang merasakan krisis kelaparan di tengah pandemi Covid-19. Momentum pandemi Covid-19 memang sedang menguji sejauhmana tingkat jiwa sosial yang kita miliki meski kita juga dihadapkan dengan krisis yang serupa. Akan tetapi, selama kita saling membantu kepada orang-orang terdampak krisis Covid-19, kita akan berhasil melewatinya dengan sehat dan selamat. Wallahu a’lam.

Facebook Comments