Suatu ketika isteri saya bertanya tentang pengertian konsep multiplisitas (multiciplity) Deleuze, salah seorang pemikir Perancis kontemporer. Seperti biasa, saya pun menjelaskannya dari berbagai sudut-pandang, karena bagi saya, wacana-wacana kritis adalah semacam “perkakas” untuk memahami ataupun melakukan sesuatu yang lain. Sangat disayangkan andaikata wacana-wacana kritis itu sekedar teori yang tak berguna bagi kehidupan nyata.
Dari berbagai pengalaman yang ada, seumpamanya ketika membahas sebuah karya film, saya tak sekedar meletakkannya sebagai sebuah obyek kajian, tapi menggunakan film tersebut untuk menemukan hal lain yang seringkali berada di luar film itu sendiri. Menakar Gerakan Makar “12.00” (https://www.harakatuna.com), adalah salah satu esai kolaboratif kami yang berupaya membongkar jaringan, strategi, dan eksekusi lapangan, gerakan-gerakan terorisme kontemporer yang sama sekali berbeda dengan gerakan-gerakan terorisme masa lalu.
Seperti misalnya penemuan saya bahwa gerakan-gerakan terorisme kontemporer di Indonesia, terutama yang berinduk pada IS (Islamic State), tak lagi mementingkan aspek ideologi di mana di masa silam merupakan salah satu syarat mutlak dalam sebuah organisasi. Sebab, merujuk pada kenyataan di lapangan, kebanyakan para pelaku datang dari kalangan yang jauh dari pendidikan agama dan memiliki kehidupan masa silam yang kelam. Mereka tampak berislam secara instan sehingga mengaji al-Qur’an pun mereka tak bisa melakukannya (Hikayat Binatang Beragama dan “Bertolak Dari yang Ada,” Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net).
Penemuan lainnya adalah penemuan saya tentang “habitat”—yang tak secara khusus merujuk pada ruang fisikal dan lebih merupakan strukturisasi the habbits (kebiasaan-kebiasaan)—yang ternyata lebih penting daripada jaringan. Selama habitat itu ada, meskipun satu jaringan dengan jaringan lainnya tak tersambung secara rapi dan gamblang, atau bahkan terputus sama sekali, tumbuh-kembangnya gerakan-gerakan terorisme kontemporer sangatlah gampang.
Inilah kenapa gerakan-gerakan terorisme kontemporer di Indonesia seperti tak ada habisnya untuk menunjukkan gelagatnya. Di tengah wabah corona pun, beberapa hari yang lalu, kembali kepolisian menangkap orang-orang yang diduga anggota JAD, di Sidoarjo dan Surabaya. Dengan habitat yang saya maksud inilah mereka juga melakukan komunikasi yang acak sehingga hanya orang-orang yang memiliki habitat yang sama, meskipun tak mengenal secara personal satu sama lain, yang mampu menangkap dan mengeksekusinya di lapangan.
Baca Juga : Ramadhan, Covid-19 dan Kohesivitas Sosial
Multisiplitas Deleuze saya kira dapat pula digunakan untuk menilik sesuatu yang lain, tentang apa yang saya maksud sebagai “penggandaan” kebiasaan role model tertentu (Radikalisasi Dari Bawah: Mengurai Jejaring Radikalisasi Keagamaan di Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id) yang akhirnya seperti halnya plot sebuah “drama” yang dapat terjadi di berbagai tempat dan waktu yang berbeda (Maling Teriak Maling: Analisis Diskursif Tentang Kemungkinan Maraknya Kejahatan, Radikalisme dan Terorisme di Tengah Wabah Corona, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).
Di samping itu multisiplitas Deleuze dapat pula secara konstruktif digunakan untuk mengurai sifat relasional segala sesuatu untuk menepis tentang kemungkinan watak “masturbasif” yang merupakan ciri purba radikalisme dan terorisme (Mengakrabkan Diskursus Kontra Radikalisme-Terorisme Pada Anak-anak, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Multisiplitas diajukan oleh Deleuze untuk menghindari kosekuensi konsep ousia (Aristoteles), monad (Leibniz), subyek (Descartes), yang secara umum diistilahkan sebagai subtansi. Substansi lazimnya diartikan sebagai sebuah prinsip pertama di mana keberadaannya adalah berada dengan sendirinya, berdiri sendiri, yang justru keberadaannya mengakibatkan keberadaan hal-hal lainnya. Ia lazim disebut pula sebagai sang causa prima atau sebab pertama.
Sedangkan pada multisiplitas sebenarnya tak ada yang namanya causa prima. Sebab secara logis, yang dipandang sebagai sebab dan akibat itu mengukuhkan atau menopang satu sama lain. Sederhananya, apalah arti siang tanpa adanya malam, lelaki tanpa adanya perempuan, orang kaya tanpa adanya orang melarat, mukmin tanpa adanya kafir—atau kalau ingin lebih jauh, Tuhan (Gusti) tanpa adanya insan (kawula), negara tanpa adanya warganegara, dan begitu pula sebaliknya?
Dalam Serat Wedhatama, yang secara sufistik tampak berpaham ahl al-sunnah, terdapat istilah “roro ning atunggil,” dua tapi satu, yang mengacu pada relasi antara kawula (insan) dan Gusti (Tuhan), dua hal yang dapat dibedakan tapi tak dapat dipisahkan. Ketakterpisahan inilah yang disebut sebagai “tunggal.” Seumpamanya, ketiak yang kecut, keduanya tetap dapat dibedakan karena ternyata tak hanya ketiak yang kecut, jeruk nipis pun juga kecut. Tapi tetap, tak ada ketiak ataupun jeruk nipis yang tak kecut. Dengan demikian, di sinilah letak multiplisitas itu, relasi antar unsur-unsur itulah yang menjadikan ada dan bukannya unsur-unsur itu sendiri.
Dalam filsafat Buddhisme terdapat istilah anatta yang berarti ketiadaan diri. Hal ini tak berarti bahwa diri itu benar-benar tak ada, tapi keberadannya tergantung oleh relasinya dengan diri-diri lainnya (interconnectedness). Jadi, keberadaan apapun pada akhirnya bersifat inter-subyektif. Taruhlah konsep Islam sebagai sistem tolong-menolong, yang secara etis mengindikasikan tentang dikenalnya konsep multiplisitas di atas. Konsep shodaqah ataupun zakat misalnya, tak akan bermakna sama sekali seandainya tak ada orang yang melarat. Ataupun perintah berpuasa di al-Qur’an yang dikhususkan pada orang-orang yang beriman dan bukannya orang-orang yang tak beriman mengindikasikan pula bahwa konsep multiplisitas terang dikenal dan bahkan merupakan dasar, baik teologis maupun etis, konsep Islam sebagai sistem tolong-menolong—karyenak tyasing sasama.