Fenomena Al Ghulwu wa At Tatharruf alias ekstrimisme dan radikalisme beragama makin marak di tengah kehidupan masyarakat. Al Ghulwu wa At Tatharruf menjadi penyakit dan borok umat Islam di tengah situasi yang kurang menguntungkan dalam peta global. Dalam tataran paling rendah penyakit ini melahirkan oranng-orang yang kaku dalam beragama. Sementara di level paling tinggi, borok ini memunculkan aksi-aksi terorisme dan kekerasan atas nama agama.
Dalam buku berbahasa Arab karya ulama kenamaan berkebangsaan Mesir, Syeikh Dr Yusuf Al Qardhawi, berjudul Ash Shahwah Al Islamiyyah bainal Juhud wa At Tatharruf menunjukkan keprihatinannya atas fenomena ini. Dia berpendapat bahwa sikap ekstrim dalam beragama menjadi beban sejarah sendiri bagi umat Islam. Keprihatinannya makin bertambah di tengah fakta banyaknya generasi muda yang ikut terjerumus dalam aksi-aksi ekstrim dan radikal.
Buku tersebut ia dedikasikan khusus bagi generasi muda agar terus waspada dan berhati-hati dalam menjalankan syariat agama. Tak hanya itu, Syeikh juga meminta para orang tua dan juga seluruh pihak untuk bisa terus mengawasi generasi muda dari bahaya radikalisme dan ekstrimisme agama. Anak muda yang punya ciri cepat bertindak adalah lahan subur perkembangan radikalisme dan ekstrimisme. Betapa tidak, karena penyakit hati masyarakat muslim ini membutuhkan daya hancur berupa sikap kalap dan membabi buta dalam menyerang apa yang mereka anggap menyalahi aturan.
Setidaknya ada dua hal utama yang dijabarkan secara detail dan rinci oleh Syeikh terkait hal ini. Pertama, ia mengungkapkan ciri-ciri orang yang telah terjangkit penyakit radikal dan ekstrim. Ternyata menurut pengamatan Syeikh, ekstrimisme dan radikalisme berfikir akan berbuah pada tindakan. Mereka yang otak dan hatinya menjadi radikal atau ekstrim akan termanifestasikan dalam sikap kehidupan sehari-hari.
Ada beberapa ciri yang melekat dari mereka yang terjangkit penyakit ini. Misalnya –dan ini menjadi ciri utama-, sangat fanatik terhadap satu pendapat tertentu, tidak terbuka terhadap pendapat pihak lain, apalagi mau menghargainya. Hal ini lahir dari anggapan bahwa apa yang mereka pikirkan adalah benar dan paling benar. Sementara yang lain adalah salah dan pasti salah.
Merasa paling benar pada gilirannya melahirkan berbagai sikap lain yang tidak baik. Sikap keras dan kasar terhadap orang yang mereka anggap salah adalah salah satu contohnya. Mereka tak segan memaki, mencaci, membid’ahkan, atau bahkan mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat. Istilah ‘menyalahi sunnah’, ‘khurafat’, ‘bidah’, ‘musyrik’, dan tudingan lainnya. Mereka selalu berpikir orang lain di luar mereka telah tersesat dan harus diingatkan dengan cara keras agar mau ‘kembali’.
Kedua, Syeikh memberikan analisanya mengenai sebab mereka menjadi seperti itu. Kurangnya wawasan dan keilmuan dalam pengamatan Syeikh menjadi pemicu munculnya radikalisme dan ekstrimisme. Mereka disebut sebagai orang yang kurang paham mengenai hakikat agamanya. Seharusnya, mereka paham alasan apa yang menjadi dasar utama Allah menurunkan ajaran agama lewat para Nabi, seperti untuk mewujudkan harmonisasi alam (rahmatan lil ‘alamin) dan kebaikan orang banyak (maslahatul ‘ammah).
Ketidaktahuan atas hakikat beragama diperperah lagi dengan cara mereka mengetahui atau mengambil pesan dari hukum-hukum Allah yang ada di dalam kitab suci (Alquran) maupun sunnah Nabi. Dalam pengamatan Syeikh, orang radikal dan ekstrim cepat merasa puas saat mempelajari agama (Islam) langsung dari sumbernya, tanpa perantara seorang guru atau ulama. Seperti sikap belajar Islam langsung dengan membaca Alquran atau terjemahnya atau mempelajari satu ilmu langsung dari buku secara otodidak, tanpa seorang pembimbing (guru yang mumpuni). Inilah yang pada gilirannya mengantarkan pemahaman keagamaan mereka tak terarah sesuai jalan yang benar.
Belajar agama (khusunya Islam) menurut Syeikh suka tidak suka harus melewati seorang guru atau ulama. Guru berfungsi sebagai pembimbing dan penilai sejauhmana sangn murid menguasai ilmu yang diajarkan. Dengan demikian, penyimpangan pemahaman sejauh mungkin dapat diminimalisir. Itulah yang diajarkan para ulama salafussholih yang dalam keilmuan Islam dikenal dengan istilah sanadul ‘ilmi (mata rantai keilmuan). Mata rantai keilmuan Islam tidak boleh terputus sejak turunnya dari Allah, lewat perantara Jibril, ke Nabi Muhammad, lalu para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, terus sampai hari kiamat nanti. Mata rantai itu dijaga oleh para ulama sebagai pewaris kenabian untuk menjamin otentisitasnya.
Di akhir buku tersebut, Syeikh mengingatkan agar umat Islam –wabil khusus para pemuda- kembali pada manhaj ‘ulama dalam menjaga keilmuan Islam. salah satu yang terpenting adalah mencari guru atau pembimbing dalam memahami agama. Selain itu, kadar keilmuan juga harus makin ditingkatkan agar semakin luas dalam melihat segala persoalan. Syeikh juga meminta mereka untuk mau belajar dan bersikap bijaksana terhadap pendapat dan pemahaman orang lain. Sikap toleransi, damai, menghargai orang lain, dan mau belajar adalah ciri orang tawassuth (moderat) yang jauh dari sikap ekstrim dan radikal.
Lalu, anda mau memilih jalan mana? Radikal atau moderat?