Radikalisme dan Kontestasi Politik : Politisasi Agama dan Agamaisasi Politik

Radikalisme dan Kontestasi Politik : Politisasi Agama dan Agamaisasi Politik

- in Narasi
133
0
politisasi agama

Pengaruh politik dalam membentuk sikap radikal telah menjadi fenomena yang terus menerus berkembang dalam sejarah manusia. Dalam sejarah Islam, muncul kelompok radikal seperti Khawarij merupakan residu dari kontestasi politik yang tidak bisa dihindarkan. Kebencian dan fanatisme terhadap tokoh, kepentingan politik dan tujuan politik menumbuhkan bibit radikalisme yang bisa menghalalkan segala cara.

Kita perlu menyadari bahwa politik memiliki daya dorong yang kuat terhadap munculnya sikap radikal. Kontestasi politik yang intens seringkali menciptakan ketegangan dan polarisasi dalam masyarakat. Saat kepentingan politik menjadi lebih utama daripada nilai-nilai kemanusiaan atau keragaman pendapat, risiko radikalisasi meningkat.

Sejarah Islam menyajikan contoh yang mencolok, terutama dalam munculnya kelompok radikal seperti Khawarij. Kelompok ini muncul pada awal periode Islam, di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, dan terbentuk sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan atas kebijakan politik. Mereka menggunakan retorika keagamaan untuk menjustifikasi tindakan radikal dan bahkan menganggap lawan-lawan politik mereka sebagai musuh dan kafir.

Sebagai sebuah agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan, Islam tidak jarang dijadikan alat untuk kepentingan politik tertentu. Fenomena ini menimbulkan risiko radikalisasi, di mana kecenderungan untuk mengadopsi pandangan dan tindakan ekstrem cenderung meningkat dengan memperalat ajaran agama.

Politisasi Agama dan Agamaisasi Politik

Salah satu faktor kunci yang memicu radikalisasi adalah politisasi agama dan agamaisasi politik. Politisasi agama terjadi ketika agama digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik tertentu. Sebaliknya, agamaisasi politik terjadi ketika ideologi politik diubah menjadi dogma keagamaan. Kedua fenomena ini menciptakan ruang untuk radikalisasi, di mana ajaran agama disalahgunakan untuk menguatkan posisi politik tertentu.

Misalnya, dalam beberapa konteks, terdapat upaya untuk menghubungkan agama dengan isu-isu politik aktual seperti perpecahan etnis atau konflik geopolitik. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya pandangan radikal yang mempertaruhkan persatuan masyarakat dan mengkristalkan ketidaksetujuan terhadap kelompok tertentu.

Selain itu, pemaknaan politik sebagai perang agama merupakan proses sakralisasi politik yang dapat menyentuh emosi dan berimbas segregasi politik masyarakat berdasarkan keyakinannya. Menganggap politik sebagai pertarungan keyakinan dan dalam rangka memenangkan agama tertentu adalah proses yang bisa mendorong fanatisme berlebihan dalam politik.

Pencegahan Politisasi Agama dan Agamaisasi Politik

Perlu antisipasi dari politisasi agama dan agamaisasi politik yang dapat memicu radikalisasi. Masyarakat harus diberikan kesadaran bahwa Pemilu adalah proses demokrasi dalam merancang masa depan bersama. Konstestasi politik adalah ruang kerjasama antar berbagai aktor bukan hanya persoalan persamaan dan perbedaan keyakinan keagamaan.

Tokoh agama harus menahan diri dengan membingkai kontestasi ini secara ekslusif untuk kepentingan kekuasaan. Mereka tidak boleh menjadikan ruang kontestasi politik dimaknai sebagai kontestasi antar keyakinan keagamaan. Kontestasi politik harus dibangun berdasarkan kerangka kebangsaan bukan keagamaan. Karenanya, kemenangan siapapun bukan kemenangan agama tertentu, tetapi kemenangan seluruh warga negara.

Mendorong dialog dan kerjasama antarumat beragama untuk membangun pemahaman bersama dan memecah stereotip negatif dan segregasi sosial akibat kontestasi politik. Agama tidak boleh dijadikan alat untuk memecah belah umat dalam pertarungan politik. Demikian juga politik tidak perlu dimaknai secara sakral sebagai pertarungan antar umat.

Facebook Comments