Rasulullah Saw adalah teladan kebaikan atau uswah hasanah (Qs. al-Ahzab [33] : 21). Ibarat mata air, aneka kebaikan terus menyembur dari dirinya, tiada habis-habisnya. Dan, tak sebutir keburukanpun yang muncul darinya.
Akhlak beliau adalah cermin keagungan. Perangainya cermin kemuliaan. Maka tak heran, jika permaisuri tercintanya, ‘Aisyah binti Abi Bakr berucap takjub; kana khuluquhu al-Qur’an/akhlak beliau adalah al-Qur’an. (Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, V/163). Akhlak al-Qur’an, tak syak lagi, adalah seagung-agung dan semulia-mulia akhlak.
Itulah teladan paling agung (sekaligus paling berat untuk ditiru) dari Rasulullah Saw. Beliau, seperti diakuinya, memang diberi mandat oleh Allah Swt li utammima makarim al-akhlaq/untuk menyempurkan moralitas (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Karena itu, sebagai umatnya, sudah seharusnya kita menimba banyak-banyak mata air akhlak itu dari Rasulullah Saw, untuk diamalkan dalam keseharian kita di tengah masyarakat. Inilah sejatinya inti bi’tsah beliau ke dunia fana ini, untuk mewujudkan misi rahmah li al-‘alamin/kerahmatan bagi semua makhluk (Qs. al-Anbiya’ [21] : 107).
Diantara kemuliaan akhlak Rasulullah Saw, adalah tata krama atau etikanya dalam menjalin hubungan sosial dengan para tetangganya. Diceritakan, suatu ketika Aisyah r.a. menyelenggarakan kenduri dengan menyembelih kambing.
Seusai matang, oleh Aisyah r.a., masakan daging kambing itu lantas dibagi-bagikan pada tetangga dekatnya. (Ini sesuai anjuran Rasulullah Saw, jika kita memasak, hendaklah diperbanyak kuahnya, supaya para tetangga juga turut merasakannya/HR Muslim dan al-Darimi).
“Isteriku, apakah Si Fulan juga telah dikirimi masakan?” tanya Rasulullah Saw memastikan.
“Belum! Dia itu Yahudi dan saya tidak akan mengiriminya masakan,” jawab Aisyah r.a. tegas.
Apa reaksi Rasulullah Saw? Beliau tetap meminta Aisyah r.a. untuk mengiriminya. “Kirimilah! Walaupun Yahudi, ia adalah tetangga kita,” pinta Rasulullah Saw beralasan.
Itulah etika bertetangga Rasulullah Saw. Beliau “mengritik” sikap isterinya sendiri yang memilih-milih dan memilah-milah tetangga berdasarkan latar belakang agamanya. Bagi beliau (dan seharusnya bagi umatnya), tetangga tetaplah tetangga sampai kapanpun, tiada peduli latar belakang suku, agama, ras, golongan dan sebagainya. Karena itu, pada kesempatan lain, beliau mengategorikan tetangga menjadi tiga.
Pertama, tetangga yang memiliki satu hak. Inilah tetangga yang paling rendah haknya. Mereka ini tetangga yang musyrik dan tidak memiliki tali atau darah kekeluargaan. Mereka memiliki hak sebagai tetangga.
Kedua, tetangga yang memiliki dua hak. Mereka ini tetangga yang beragama Islam. Mereka memiliki hak sebagai tetangga dan memiliki hak sebagai muslim.
Dan ketiga, tetangga yang memiliki tiga hak. Inilah tetangga yang paling tinggi haknya. Mereka ini tetangga yang beragama Islam sekaligus memiliki tali atau darah kekeluargaan. Mereka memiliki hak sebagai tetangga, muslim, dan keluarga. (HR al-Bazzar dari Jabir bin Abdillah).
Anjuran berbuat baik pada tetangga, dengan tanpa melihat apapun latar belakangnya, juga kita temukan dalam Qs. al-Nisa’ [4]: 36. Tetangga, dalam ayat ini, dibedakan menjadi dua: al-jar dzi al-qurba (tetangga dekat) dan al-jar al-junub (tetangga jauh).
Abu al-Fida’ Isma’il bin Katsir, dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, (Kairo: al-Maktab al-Tsaqafi, 2001 M, I/483), menukil beberapa penafsiran untuk mejelaskan hal ini. Misalnya, penafsiran Ibn ‘Abbas yang menyatakan, al-jari dzi al-qurba adalah mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kita. Sedang al-jar al-junub, adalah mereka yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan kita.
Penafsiran lainnya dari Nauf al-Bukali, al-jar dzi al-qurba adalah al-jar al-muslim (tetangga yang muslim). Sedang al-jar al-junub adalah al-Yahudi wa al-Nashrani (Yahudi dan Kristen).
‘Abd al-Rahman bin ‘Ali bin Muhammad al-Jauzy, dalam Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1404 H, II/78-79) juga menukil riwayat yang kurang lebih sama. Namun ditambahkannya, al-jar dzi al-qurba itu terjadi karena faktor ke-Islam-an itu sendiri.
Tiada Sekat
Kategorisasi tetangga yang diberikan Rasulullah Saw di atas, menyiratkan pelajaran dan keteladanan sangat peting bagi kita. Bagi beliau, kebertetanggaan tidak seharusnya disekat oleh latar belakang apapun.
Hatta pada tetangga yang musyrik sekalipun, beliau tidak lantas menjauhinya. Bagi beliau, mereka tetap memiliki satu hak sebagai tetangga dan hak itu harus ditunaikan. Untuk itu, komunikasi, relasi sosial dan hubungan kemasyarakatan tetap penting di jalin dengan mereka. Dan itu dibuktikannya melalui traktat Piagam Madinah.
Satu hal yang terlarang dijalin bersama mereka adalah akidah. Soal akidah ini, harus ada garis demarkasi yang jelas dan tegas. Kita adalah kita dan mereka adalah mereka. Tidak boleh ada pencampurbauran.
Dalam al-Qur’an disebutkan dengan terang, lakum dinukum wa liya din/bagimu agamamu dan bagiku agamaku (Qs. al-Karifun [109] : 6). Akibatnya pun harus ditanggung masing-masing di hadapan Allah Swt kelak.
Pertanyaannya kini; jika demikian agung dan mulianya etika bertetangga Rasulullah Saw, sudahkah kita meneladaninya? Sudahkah kita hidup berdampingan secara rukun dan damai dengan tetangga kita yang non-muslim?
Tampaknya tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Karena alih-alih dengan tetangga yang non-muslim, dengan tetangga muslim yang beda riual qunut subuh, tahlil, wirid, ziarah kubur atau maulid saja, kita acapkali masih saja ‘berantem’ tiada henti. Seakan tiada kata damai diantara kita.
Lantas, kapan kita akan mulai meneladani etika bertetangga a la Rasulullah Saw, untuk mewujudkan misi rahmatan lil ‘alamin itu? Wa Allah a’lam.