Refleksi Hari Raya Qurban: Menyembelih Fanatisme dan Ananiah dalam Diri

Refleksi Hari Raya Qurban: Menyembelih Fanatisme dan Ananiah dalam Diri

- in Keagamaan
6
0
Refleksi Hari Raya Qurban: Menyembelih Fanatisme dan Ananiah dalam Diri

Hari raya Idul Adha atau Hari Raya Qurban merupakan salah satu bentuk dari simbol pengorbanan, keikhlasan, dan penundukan ego. Hal ini sebagaimana telah diteladankan oleh Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan Allah untuk menyembelih putranya, Ismail AS, sebagai ujian keimanan dan kepasrahan total. Di sinilah mayoritas masyarakat mengatakan jika Hari Raya Qurban merupakan sarana untuk menyembelih “sifat-sifat binatang” di dalam diri kita masing-masing.

Dari keteladanan Nabi Ibrahim, Hari Raya Qurban mengajarkan umat untuk menyembelih segala bentuk nafsu dan kepentingan pribadi yang menghambat hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesama, dan bahkan dengan dirinya sendiri. Inilah momentum untuk merenungi bahwa qurban sejati adalah tentang melepas ego, bukan sekadar menyembelih hewan semata.

Salah satu “sikap sikap kebinatangan” yang sering muncul di negara multikultur adalah fanatisme dan ananiah (egoisme kelompok atau kesukuan). Fanatisme yang berbalut dengan keyakinan hingga menimbulkan sikap ananiah sangat berbahaya jika bersemayam di dalam diri seseorang.

Fanatisme, baik dalam agama, politik, maupun budaya, adalah sikap berlebihan dalam membela sesuatu secara membabi buta. Ia menutup ruang dialog, membunuh rasionalitas, dan menyuburkan kebencian. Fanatisme sering kali lahir dari ketakutan akan perbedaan dan kegagalan dalam memahami esensi dari nilai yang diyakini.

Dalam konteks keagamaan, fanatisme bisa menjelma menjadi tindakan eksklusif yang merasa paling benar sendiri, menghakimi orang lain, bahkan menganggap kekerasan sebagai pembenaran. Dalam masyarakat plural, fanatisme adalah racun yang mengancam harmoni sosial.

Maka, momen qurban harus dimaknai sebagai seruan untuk “menyembelih” fanatisme dalam diri. Sebagaimana Ibrahim menyembelih ego dan tunduk sepenuhnya pada kehendak Allah, umat pun harus mampu menyembelih sikap fanatik yang membuat manusia lupa pada misi rahmatan lil ‘alamin yang dibawa oleh agama.

Sedangkan, Ananiah atau ‘ashabiyah adalah bentuk fanatisme yang berakar pada kebanggaan kelompok, baik itu suku, ras, golongan, bahkan mazhab atau organisasi. Dalam sejarah Islam, ananiah telah menyebabkan perpecahan, konflik, dan pertumpahan darah. Padahal, Nabi Muhammad SAW dengan tegas menolak segala bentuk ananiah, seraya bersabda, “Bukan dari golonganku siapa pun yang menyeru kepada ‘ashabiyah.” (HR. Abu Dawud)

Qurban menjadi refleksi bahwa dalam ibadah, semua manusia setara. Tidak ada kasta dalam menyembelih hewan qurban. Yang kaya maupun miskin, yang bangsawan atau rakyat biasa, semuanya datang kepada Allah dengan ketulusan. Nilai ini menjadi tamparan bagi mereka yang masih menjunjung tinggi identitas kelompok melebihi nilai kemanusiaan dan persatuan.

Refleksi di Hari Raya Qurban sejatinya bukanlah tentang jumlah kambing atau sapi yang disembelih, melainkan tentang seberapa jauh manusia bersedia mengikis sifat-sifat buruk dalam dirinya. Ia adalah ajakan untuk membumikan ajaran Tuhan dalam perilaku sehari-hari: merawat kasih sayang, menjauhi kebencian, merangkul perbedaan, dan membangun kemanusiaan di atas dasar tauhid.

Dengan menyembelih fanatisme, manusia belajar menjadi bijak dalam menyikapi perbedaan. Dengan menyembelih ananiah, manusia meruntuhkan tembok ego kolektif yang membelah ukhuwah. Dan dengan menyembelih ego, manusia mendekatkan diri pada keikhlasan Ibrahim dan ketulusan Ismail.

Melakukan Refleksi di hari raya qurban adalah cermin bagi kita agar tidak berpuas diri dengan ritualisme, tapi diperlukan revolusi batin. Menyembelih kambing bisa dilakukan dalam satu waktu, namun menyembelih fanatisme dan ananiah butuh perjuangan panjang. Maka, mari kita jadikan Idul Adha bukan sekadar seremoni, tapi juga momen spiritual untuk memerdekakan diri dari penyakit-penyakit hati yang membelenggu. Karena sejatinya, qurban adalah tentang mengikhlaskan, menyucikan, dan memanusiakan kembali manusia.

Facebook Comments