Titik Temu Kurban: Dari Abraham, Gotong Royong, hingga Etika Bernegara

Titik Temu Kurban: Dari Abraham, Gotong Royong, hingga Etika Bernegara

- in Narasi
5
0
Titik Temu Kurban: Dari Abraham, Gotong Royong, hingga Etika Bernegara

Setiap tahun, sayup-sayup takbir menggaung, disusul prosesi penyembelihan hewan kurban yang menjadi penanda salah satu hari raya penting bagi umat Islam. Namun, mari kita sejenak menelisik lebih jauh, melampaui hiruk-pikuk ritual tahunan ini. Sesungguhnya, gagasan “pengorbanan” atau kurban adalah sebuah pilar kuno yang mengikat erat tiga agama besar dunia: Yudaisme, Kristen, dan Islam. Pusat dari narasi ini adalah kisah fundamental tentang ujian ketaatan Ibrahim (Abraham) yang legendaris, sebuah kisah yang menjadi titik pijak bersama bagi tradisi-tradisi tersebut.

Terlepas dari balutan ritual dan interpretasi teologis yang beragam, narasi kuno ini mengandung pelajaran universal yang seringkali terlewatkan dalam pemahaman kita yang kadang terlampau tekstual. Pelajaran itu bukanlah perihal perintah untuk menumpahkan darah, melainkan sebuah penegasan yang mendasar: Tuhan tidak pernah menghendaki pengorbanan manusia. Justru, yang diuji adalah kesediaan untuk taat, berserah diri, dan melepaskan ikatan duniawi.

Di sinilah letak jantung filosofis dari ritual kurban. Pengorbanan sejati bukanlah semata-mata tindakan fisik yang kasat mata, melainkan lebih pada disposisi batiniah—sebuah keikhlasan, kepercayaan mutlak, dan kesediaan untuk melepas sesuatu yang paling kita cintai demi tujuan yang jauh lebih luhur. Ini adalah pengujian atas orientasi hati, bukan sekadar gerak tubuh.

Dari titik temu esensial ini, kita dapat menarik sebuah benang merah yang mengalir ke dalam sendi-sendi kehidupan sosial kita. Esensi kurban dapat diibaratkan sebagai “the cost of religion,” sebuah harga yang harus dibayar demi sebuah keyakinan. Harga ini menuntut penyangkalan diri, pelepasan kenikmatan duniawi, demi meraih keuntungan spiritual yang lebih substansial. Dalam ranah filsafat sosial, inilah fondasi dari empati dan solidaritas. Kemampuan untuk berkorban—entah itu waktu, tenaga, maupun harta benda—merupakan inti sari dari apa yang selama ini kita kenal sebagai semangat gotong royong.

Dalam konteks keislaman, dimensi vertikal (kepatuhan pada Tuhan) ini diterjemahkan secara unik ke dalam praktik horizontal yang begitu konkret dan terstruktur. Perintah untuk mendistribusikan daging kurban kepada mereka yang membutuhkan adalah penegasan bahwa ibadah ritual tidak akan pernah paripurna tanpa adanya dampak sosial yang nyata. Ini adalah sebuah model luhur di mana kesalehan pribadi berkelindan erat dengan kesejahteraan komunal. Praktik ini seolah mengajarkan kita bahwa spiritualitas yang otentik haruslah mampu meruntuhkan sekat-sekat egoisme individu dan jurang pemisah kelas sosial.

Evolusi dalam tradisi Yahudi pasca-kehancuran Bait Suci juga menunjukkan pergeseran yang serupa. Pengorbanan hewan secara bertahap digantikan oleh tindakan-tindakan etis, untaian doa, dan pendalaman Taurat sebagai bentuk pengabdian utama. Demikian pula dalam Kekristenan, pengorbanan Kristus yang tunggal dan final dipandang menggeser ritual kurban harfiah menjadi perwujudan iman melalui perbuatan kasih dan pelayanan tanpa pamrih. Semua ini mengerucut pada satu pesan universal: inti dari pengorbanan adalah transformasi etis dalam diri manusia.

Apabila kita mengangkat lensa ini ke tingkat yang lebih tinggi—kehidupan berbangsa dan bernegara—makna kurban menjadi semakin relevan dan krusial. Sebuah bangunan bangsa yang kokoh tidak pernah didirikan di atas pondasi egoisme individu atau kelompok, melainkan di atas kesediaan kolektif warganya untuk berkorban. Pengorbanan di sini tentu bukan lagi tentang hewan kurban atau persembahan harfiah, melainkan kesediaan untuk meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan nasional.

Kisah Ibrahim adalah tentang kepatuhan pada sebuah perintah yang lebih tinggi, sebuah panggilan yang melampaui pemahaman akal biasa. Dalam konteks negara, “perintah” itu adalah konstitusi, supremasi hukum, dan cita-cita luhur keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Seorang pejabat publik yang dengan ikhlas bersedia mengorbankan potensi keuntungan pribadi demi integritas jabatannya adalah perwujudan modern dari semangat kurban. Begitu pula warga negara yang menolak godaan politik uang dan memilih berdasarkan hati nurani sedang mempraktikkan “penyangkalan diri” demi kesehatan demokrasi yang lestari.

Tradisi kenabian dalam Yudaisme bahkan memberikan kritik tajam terhadap praktik ritual pengorbanan yang korup dan tidak disertai keadilan. Para nabi tidak serta-merta menolak ritualnya, tetapi mereka menolak sebuah “penolakan relasional dan situasional” di mana ibadah menjadi hampa tanpa diikuti dengan perlakuan adil terhadap sesama. Ini adalah cermin yang sangat relevan bagi kita hari ini. Apa artinya pekik nasionalisme yang lantang dan upacara megah jika praktik korupsi merajalela dan ketidakadilan sosial dibiarkan menganga di hadapan mata?

Pada akhirnya, ketiga tradisi Ibrahimik ini, dengan segala perbedaan manifestasinya, menunjukkan sebuah lintasan evolusi etis yang sama: bergerak dari tindakan literal menuju pemahaman moral yang lebih matang. Di sana, disposisi batin dan dampak etis selalu lebih diutamakan daripada sekadar pelaksanaan ritual semata. Warisan sejati dari pengorbanan Ibrahim bukanlah terletak pada ritualnya yang terulang, melainkan pada panggilan abadi untuk terus-menerus mengasah keikhlasan, memperkuat solidaritas sosial, dan tanpa lelah memperjuangkan keadilan sebagai bentuk pengabdian tertinggi kita—baik sebagai hamba Tuhan, anggota masyarakat, maupun warga negara yang bertanggung jawab.

Facebook Comments