Refleksi Nuzulul Alquran: Sudahkah Kita Berperilaku Qurani?

Refleksi Nuzulul Alquran: Sudahkah Kita Berperilaku Qurani?

- in Narasi
1000
0
Refleksi Nuzulul Alquran: Sudahkah Kita Berperilaku Qurani?

Minggu ketiga di bulan suci Ramadhan, kita akan disapa dan diingatkan oleh sebuah momentum sejarah penting dalam perjalanan umat Islam, yaitu diturunkannya Alquran (Nuzulul Qur’an) kepada Nabi Muhammad SAW—yang oleh jumhur ulama diyakini pada hari ke 17 dari bulan penuh ampunan ini. Maka sejak saat itulah, Nabi mengajarkan kepada umatnya, agar Alquran tidak hanya dijadikan pedoman, tetapi lebih dari itu, agar menjadi pelipur lara dalam setiap kata dan tindakan sehari-hari.

Penelitian ilmiah menunjukkan, bahwa keistimewaan Alquran mengandung gramatikal bahasa yang tak ada satupun makhluk bisa sebanding dengan apa yang diucap oleh Alquran. Sebab, Alquran adalah kalamullah (sabda Tuhan langsung) yang dianugerahkan kepada umat manusia melalui utusan-Nya dan keberadaanya pula akan senantiasa dijaga oleh Sang Pemiliknya hingga waktu tak terbatas (QS. Al-Hajr: 9).

Goethe, seorang sastrawan Jerman pernah berkomentar menarik tentang Alquran. Menurutnya, “this book will go on exercising thought all ages a most potent influence”. Bahwa Alquran akan terus menggugah sepanjang masa dengan pengaruh yang luar biasa. Dengan kata lain, Alquran dapat dijadikan cahaya hidup yang menerangi kehidupan manusia.

Karena itu, momentum peringatan nuzulul Quran, seyogianya merupakan wahana yang tepat untuk membuat refleksi dan proyeksi diri. Refleksi diri, berarti menengok ke belakang untuk mengevaluasi dan introspeksi (muhasabah) atas pengamalan ajaran Alquran selama ini. Sedangkan membuat proyeksi, berarti meneguhkan cita-cita untuk mengamalkan Alquran lebih baik di masa mendatang.

Apalagi, turunnya kitab suci itu bersamaan dengan momentum bulan suci Ramadhan, yang berarti pula menambah ketajaman bagi umat Islam untuk memperdalam makna Alquran secara keseluruhan. Pelaksanaan ibadah puasa mengantarkan seorang muslim semakin peka terhadap kebenaran, dari mana dan kapan pun datangnya. Tentu saja termasuk yang ada dalam kitab suci Alquran yang kita yakini kebenarannya.

Kata nuzul dalam bahasa Arab berarti sebuah proses turunnya sesuatu dari yang metafisik kepada sesuatu yang fisik. Dengan demikian, nuzulul Quran, berarti proses turunnya Alquran dari yang metafisik (Allah) kepada yang fisik (Rasulullah Muhammad SAW). Sedangkan lawan kata dari kata nuzul adalah mi’raj, yaitu, sebuah proses perjalanan naik dari sesuatu yang fisikal kepada yang metafisik. Contoh yang paling aktual adalah peristiwa isra mikraj Nabi Muhammad.

Internalisasi nilai

Upaya mengamalkan Alquran secara praktis dalam kehidupan nyata, ada ungkapan menarik dari Sir Mumammad Iqbal, “Bacalah Alquran seolah-olah ia diturunkan kepadamu”. Jika hal ini dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh setiap muslim, niscaya Alquran menjadi petunjuk sesungguhnya dalam kehidupan ini.

Misalnya, ketika Alquran mengkritik seseorang atau sebuah kaum yang melakukan perbuatan melanggar etika, maka itu sesungguhnya mengingatkan kita supaya memperbaiki sikap dan perilaku.

Alquran diturunkan secara bertahap. Dari proses ini, kemudian menimbulkan dua watak Alquran, yakni transendental dan transhistoris. Transendental bermakna Alquran memiliki nilai-nilai ilahiah atau tidak tersentuh oleh kemampuan pikir manusia. Makanya, sampai kapan pun, bentuk, isi, dan keistimewaan Alquran, tidak akan pernah tertandingi oleh kemampuan pikir manusia.

Sedangkan transhistoris, berarti, Alquran diturunkan dengan beragam situasi dan kondisi. tetapi nilai yang dikandung tidak terbatas oleh ruang dan waktu tertentu. Dengan begitu, Alquran senantiasa bisa menjadi acuan semua umat manusia, di mana dan kapan pun juga. Karena itu, saat ini yang terpenting bagi umat Islam adalah bagaimana membaca Alquran, bukan hanya sebagai sebuah kebiasaan, melainkan menghayati, memahami, dan mengamalkannya.

Peringatan nuzulul Quran harus dimaknai sebagai proses internalisasi nilai-nilai universalitas Alquran kepada hati kita. Bukan lagi dipahami atau diperingati sebagai bukti fisik saat turunnya Alquran seperti sekian abad silam. Sebab, inti peringatan nuzulul Quran tidak pada dimensi eksoteris (bersifat fisikal), tetapi pada dimensi esoteris (substansial) yang lebih mengedepankan internalisasi nilai daripada seremonial yang kerap kehilangan makna.

Semoga peringatan nuzulul Quran pada Ramadhan kali ini benar-benar membawa perubahan yang signifikan di tengah-tengah kondisi masyarakat yang sedang mengalami krisis moral. Harapannya, Alquran dapat dijadikan cahaya hidup yang menerangi kehidupan manusia, maka menjadi benar ungkapan Goethe di atas, bahwa Alquran akan terus menggugah sepanjang masa dengan pengaruh yang luar biasa. Inilah arti penting dari nuzulul Quran.

Facebook Comments