Reideologisasi Pancasila dalam Gelanggang Pemilu

Reideologisasi Pancasila dalam Gelanggang Pemilu

- in Narasi
1562
0
Reideologisasi Pancasila dalam Gelanggang Pemilu

Hari-hari ini hampir semua media memberitakan perihal Polri yang menemukan kurang lebih 3500an hoaks yang diproduksi tiap hari di dunia maya terkait kontetasi Pilpres dan Pileg. Terakhir, ketika naskah ini ditulis, media sosial dan televisi juga tengah memberitakan perihal cawapres Sandiaga Uno yang diterpa gosip-gosip miring; dari soal penyimpangan seks sampai perselingkuhan. Sebelumnya, presiden sekaligus capres Joko Widodo juga telah berkali mengingatkan perihal adanya berita palsu akan kemunculan dan keterkaitan (keluarganya) dengan PKI yang sudah menjadi partai terlarang itu.

Pada Februari silam, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipisiber) Bareskrim Polri bahkan berhasil mengungkap mekanisme kerja Muslim Cyber Army (MCA) dalam menyebarkan hoax dan ujaran kebencian. Grup MCA ini konon telah memiliki ratusan ribu anggota dengan dua puluh admin yang bekerja secara terstruktur. Ada yang bertugas menampung seluruh berita (isu yang bisa ‘digoreng’) dari para member yang ratusan ribu itu dan ada pula yang bertugas memviralkannya. Ada tim inti yang bertugas merencanakan seluruh mekanisme MCA, ada jaringan tertutupnya yang bertugas membuat settingan isu untuk pemenangan opini publik, ada pula tim khusus yang dibentuk untuk menyerang individu atau kelompok yang dianggap lawan.

Maka bisa dibayangkan berapa ribu jari pula yang kemudian membagikan, serta berapa ratus ribu kepala yang termakan hasutannya. Fenomena miris itu menggambarkan betapa rapuhnya ideologi masyarakat kita—yang sebagiannya dengan gampang memercayai berita-berita yang justru memperkeruh suasana dan mengurangi kadar nasionalismenya.

Kita mestinya menyadari sedari awal, bahwa masa-masa kampanye adalah masa subur-suburnya berjualan pencitraan diri. Bahwa politik sebenarnya hanyalah soal pencitraan diri. Proses berjualan ini ada yang menggunakan cara lurus-lurus saja, namun juga ada yang tak segan menggunakan cara-cara kotor, yakni dengan mencari segala celah untuk menjatuhkan dan memperkeruh citra lawan politiknya. Segala macam kepentingan pun kemudian digodok menjadi isu untuk kemudian digulirkan ke publik dan menjadi semacam kue yang bisa disantap dalam sebuah pesta. Sesuatu yang sebenarnya amat mengerikan namun dianggap biasa-biasa saja lantaran masih dianggap seperti sebuah permainan belaka. Tentu kita masih ingat bagaimana menderitanya Sayyidati Fatimah ketika diterpa berita bohong bahwa beliau dikabarkan melakukan perselingkuhan dengan sahabat Shafwan bin Al Mu’aththal RA. Jikalau kesabarannya dalam menanti pertolongan dari Allah Swt. tak sampai, tentulah sejarah akan bercerita lain. Berita bohong, meski ia hanya berupa kabar belaka, namun sanggup memengaruhi opini hingga berlanjut melahirkan sikap kita terhadap objek yang menjadi sasaran. Maka tak heran ketika mantan presiden Sukarno termakan isu perihal keterkaitannya dengan PKI, sampai sekarang pun sebagian dari kita masih terpengaruh dan mengambil sikap yang sama terhadap para anak cucunya.

Dari semua hoax itu, yang paling menggelikan sepertinya adalah perihal dasar negara kita yang sering diberitakan bertentangan dengan agama, hanya menguntungkan beberapa kelompok saja, dan merupakan ideologi sekuler. Jikalau masyarakat kita sudah memiliki dasar-dasar pemahaman yang kuat akan ideologi bangsanya sendiri, tentulah isu-isu kacangan itu takkan dengan mudah menggiringnya ke arah kekeliruan nalar yang fatal—semisal bahwa Pancasila justru bertentangan dengan agama (khususnya Islam), lantaran para bapak bangsa dan pencetus Pancasila itu sendiri memiliki kadar keislaman yang tak hanya sebatas dibibir saja.

Lantas apa saja yang bisa kita lakukan untuk meminimalisir kebodohan massal akibat pengonsumsian berita-berita bohong yang tak bermutu itu?

Pentingnya Ajang Silaturami

Kita menyadari bahwa ruh bangsa ini adalah Bhinneka Tunggal Ika. Keberbedaan itu menyatu dalam sebuah wadah yang dianungi oleh Pancasila. Keberbedaan yang tak didasari dengan sikap saling mau mengenal satu sama lain tentulah akan mudah menimbulkan kekeroposan bangunan persatuan, entah lantaran terpaan rasa saling curiga, kecemburuan sosial, ketidakpercayaan, dsb. cepat atau lambat. Sikap saling kenal itu mungkin bisa dimulai dengan semacam gerakan silaturahmi nasional yang diadakan secara berkala. Silaturahmi memiliki watak saling terbuka sehingga bisa menangkal faktor-faktor pengeropos persatuan bangsa.

Lantas apa saja sih keuntungan dari silaturahmi nasional ini?

Ada banyak manfaat yang bisa kita petik dari tindakan sederhana ini. Selain mempererat tali persaudaraan, silaturahmi juga bisa menepis berita-berita bohong yang berkembang dalam dunia maya. Silaturahmi mendorong sikap keterbukaan sehingga para penyebar berita-berita bohong sukar menemukan celah untuk dijadikan isu. Hal ini pernah dicontohkan oleh Presiden Jokowi dan Pak Prabowo Subianto yang ketika itu ramai disebut-sebut sebagai diplomasi kuda. Bahwa, bohong jika kubu A dikatakan anti pancasila, lucu jika kubu B didakwa hendak memanfaatkan dan mendompleng Pancasila, bahwa keduanya masih dalam kondisi rukun-rukun saja dan setia menjaga keutuhan bangsa. Kita mesti sadar dan selalu ingat dengan perjalanan sejarah bangsa ini, telah berapa kali pendahulu kita mengalami kegagalan yang pahit ketika mencoba berpindah dari Pancasila?

Pemilu adalah ajang untuk memilih siapa yang kiranya sanggup memanggul amanah untuk kebaikan bersama. Pemilu bukanlah ajang untuk saling menjatuhkan lawan politik. Bukankah kita masih saudara satu bangsa? Maka dari itu, pererat dan kenali saudara kita melalui ajang silaturahmi. Ubah pemaknaan lawan politik menuju arah kawan politik. Bukankah kawan tak mesti satu pandangan saja? Yang terpenting, kita masih sama-sama setia dengan Pancasila.

Facebook Comments