Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

- in Narasi
27
0
Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno pada sidang BPUPKI yang menjadi momentum pertama kali gagasan Pancasila diperkenalkan. Kini, usia Pancasila sudah lebih dari tujuh dekade. Dalam banyak hal, Pancasila kerap mendapat kritik, baik dari kalangan moderat maupun konservatif.

Kalangan moderat mengkritik Pancasila, karena cenderung hanya menjadi kalimat yang indah dalam wacana, namun lemah dalam implementasi di dunia nyata. Sedangkan, kalangan konservatif menggugat Pancasila sebagai dasar negara yang tidak lagi relevan dan kontekstual dalam mengatasi persoalan bangsa. Kalangan konservatif menawarkan ide mengganti Pancasila dengan ideologi agama.

Peringatan Hari Pancasila 1 Juni tahun ini berbarengan dengan ramainya perdebatan tentang narasi zero attack terrorist. Ada sejumlah kalangan yang menafsirkan narasi zero attack terrorist itu secara tidak tepat. Salah satunya adalah pernyataan bahwa nihilnya aksi teror membuktikan bahwa kita tidak lagi butuh lembaga yang secara khusus menanggulangi terorisme.

Lantas, bagaimana posisi Pancasila di tengah kondisi zero attack terrorist yang masih kerap disalahtafsirkan ini?

Seperti kita tahu, Pancasila adalah ideologi yang bersifat terbuka. Sebagai sebuah ideologi terbuka, relevansi dan kontekstualitas Pancasila sangat bergantung pada bagaimana kita menafsirkannya. Pancasila mendapat kritik keras dari kalangan konservatif dan moderat, karena tidak adanya penafsiran yang representatif untuk mengatasi problem kekinian.

Disinilah pentingnya melakukan rejuvenasi Pancasila, yakni meremajakan kembali nilai Pancasila agar relevan dengan tantangan zaman. Dalam konteks narasi zero attack terrorism yang tengah hangat diperbincangkan, rejuvenasi Pancasila perlu untuk menata ulang kemana arah penanggulangan terorisme di Indonesia.

Di tengah kondisi zero attack terrorist, nilai Pancasila tetap dibutuhkan, terutama demi mengawal Indonesia Emas 2045. Terwujudnya agenda Indonesia Emas 2045 sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia.

Kualitas SDM tentu tidak hanya diukur dari penguasaan dalam bidang keilmuan dan teknologi. Namun juga terkait paradigma berpikir masyarakatnya tentang pluralitas dan multikulturalitas. Di titik inilah rejuvenasi menjadi hal yang urgen dan relevan. Terutama di kalangan generasi Z dan Alpha yang juga dikenal sebagai digital native alias homo digitalisasi.

Rejuvenasi Pancasila dalam konteks kekinian adalah upaya menghadirkan kembali nilai Pancasila di tengah algoritma medsos yang kerap dibajak dan didominasi oleh narasi radikalisme dan ekstremisme. Rejuvenasi Pancasila di era kekinian sekaligus juga dimaknai sebagai upaya menanamkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan bagi gen Z dan Alpha.

Penanaman nilai Pancasila bagi gen Z dsn Alpha tidak bisa dilakukan melalui pendekatan indoktrinatif, melainkan melalui pendekatan diskursif. Pancasila tidak boleh dianggap sebagai berhala yang disakralkan. Sebaliknya, Pancasila harus dihadirkan sebagai gagasan yang terus didiskusikan bahkan dikritisi. Gen Z dan Alpha dikenal dengan karakternya yang rasional dan kritis.

Maka, diseminasi Pancasila harus dikemas ke dalam pendekatan yang adaptif pada karakter gen Z dan gen Alpha. Di media sosial, nilai Pancasila harus dihadirkan dan disebarkan melalui narasi baru yang membawa harapan, bukan ketakutan, sekaligus membawa optimisme bukan pesimisme.

Selain itu, Pancasila tidak boleh hanya diorientasikan untuk mengatasi problematika internal kebangsaan. Pancasila idealnya juga mampu berbicara dalam kancah global. Terutama terkait persoalan ekonomi dan geopolitik global yang belakangan mengalami banyak turbulensi.

Lebih spesifik dalam konteks narasi zero attack terrorist, Pancasila idealnya menjadi inspirasi bagi gen Z dan Alpha untuk mengadaptasi paradigma berpikir yang adaptif pada nilai toleransi, inklusivisme, dan moderat.

Dengan meremajakan nilai dan prinsip Pancasila, narasi zero attack terrorist ini kiranya tidak akan disalahtafsirkan. Pemahaman yang utuh tentang Pancasila akan membangkitkan kesadaran bahwa musuh bangsa itu tidak hanya aksi teror fisik yang tampak. Musuh kebangsaan itu kompleks. Meliputi semua narasi yang berusaha mendegradasi komitmen kebangsaan.

Termasuk narasi daulah atau khilafah islamiyyah yang kini hadir di ruang publik kita dengan kemasan baru yang lebih populer dan adaptif dengan gaya hidup gen Z dan gen Alpa. Jika ideologi daulah atau khilafah yang bertentangan dengan komitmen kebangsaan bisa dihadirkan dengan cara populer seperti podcast, stand up comedy, talkshow, film, dan produk budaya populer lainnya, mengapa Pancasila tidak? Tantangan kita adalah bagaimana merejuvenasi Pancasila di era digital, era dimana gen Z dan gen Alpa hidup dibawah kendali algoritma.

Facebook Comments