Hamparan manusia di sudut kota sudah terlihat mulai menepi seiring berakhirnya malam pergantian tahun. Ya. Jutaan manusia, baik muda maupun tua merayakan tahun 2018 secara gegap gempita, penuh euforia.
Menyongsong tahun baru 2018 tidak cukup dengan menyulut kembang api, ngopi sembari ngobrol sama sanak famili atau sahabat sejati. Sekali lagi, tidak cukup. Tahun baru 2018 harus dekspresikan dan dimaknai secara bijaksana. Spirit perubahan harus menjadi satu pegangan utama guna menapaki perjalanan hidup yang lebih mulia; berkontribusi nyata bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Terkadang, kita yang meneguk dan menguras kekayaan negeri ini secara Cuma-Cuma lupa terhadap tugas dan tanggung-jawab sebagai penghuni (warga negara) yang baik. Salah satu indikatornya adalah acuh dan permisif terhadap kondisi dan masalah akut yang dihadapi oleh bangsa ini.
Inilah saatnya, tahun 2018 menentukan resolusi yang cocok untuk mengatasi kebentuan dalam menangani masalah akut. Jika hendak disebutkan apa saja masalah akut yang melanda bangsa dan negara ini, maka sangat sulit mengingat begitu banyak yang dihadapi bangsa ini; mulai kemiskinan, amoral, intoleran, meluasnya paham radikal dan lain sebagainya.
Namun melalui goresan ringan ini, penulis hendak menggarisbawahi satu diantara sekian masalah akut yang sedang menggerogoti bangsa ini, yakni merebaknya radikalisme yang berpotensi memunculkan aksi teror dan bunuh diri. Singkat kata, resolusi 2018 adalah momentum bersih-bersih paham radikal.
Mari kita sejenak menengok ke belakang. Pada 2017 lalu, publik dikejutkan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Mata Air Fondation dan Alvara Research Center. Ditemukan ada 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk menegakkan negara Islam atau khilafah.
Senada dengan Mata Air Foundatin dan Alvara Research Center, Wahid Foundation bersama Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2017 juga mengadakan survei besar-besaran terhadap masyarakat Indonesia tentang radikalisme. Dalam survei ini, diketahui bahwa bahwa sebanyak 0,4 persen penduduk Indonesia pernah melakukan aksi radikal. Sementara 7,7 persen menyatakan bersedia bertindak radikal.
Survei-survei di atas semakin mengejutkan ketika melihat pola pergerakan kelompok radikal yang mulai menyerang pemuda melalui jalur pendidikan. Bahkan mahasiswa yang dikenal sebagai agen perubahan dan icon negeri, sudah “teracuni” virus radikal yang berlindung dibalik pergerakan revolusioner.
Tak hanya itu, masjid-masjid juga dikuasai oleh kelompok ini sehingga jangkuannya semakin luas dan kuat.
Tentu kondisi di atas tidak bisa dibirkan begitu saja. Artinya, harus ada upaya-upaya luar biasa dari pemerintah bersama masyarakat guna membersihkan paham radikal yang sudang kadung meresap ke alam pikiran sebagian warga Indonesia.
Beberapa Langkah Strategis
Langkah-langkah konkret dan berkelanjutan menjadi kata kunci dalam rangka bersih-bersih paham radikal yang menjangkiti sebagian masyarakat kita. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh agar paham radikal benar-benar kalah dan minggat dari nusantara yang menjunjung tinggi persatuan, persaudaraan dan perdamaian ini.
Pertama, pemerintah harus tegas. Pemerintah sebagai lokomotif bangsa ini, dengan segala otoritas yang tersemat, tidak boleh lembek. Ormas-ormas yang diketahui dan terbukti berhaluan keras, maka harus ditindak, dibubarkan.
Pada 2017 lalu, pemerintah melalui Presiden Republik Indonesia sudah mengambil satu langkah konkret dengan mengeluarkan Perppu Ormas yang anti Pancasila. Ketegasan-ketegasan inilah yang menjadikan benih radikalisme perlahan mati.
BN-PT juga memiliki peran signifikan dalam hal ini, yakni melalui program deradikalisasi secara offline dan Online. Mengedukasi masyarakat bahwa paham radikal merupakan paham yang harus ditolak di negeri ini.
Kedua, libatkan tokoh dan masyarakat. Tokoh agama memiliki peran sentral dalam konteks menjamurnya paham radikal di Indonesia. Harus diakui, secara historis, radikalisme berbaju agama tidak memiliki akar historis di negeri ini. Jadi, radikalisme sejatinya merupakan ideologi impor. Oleh sebab itu, masyarakat harus benar-benar jeli dalam memahaminya.
Ketiga, perkokoh wawasan kebangsaan. Cinta tanah air harus diperkuat. Banyak cara memperkuat aspek ini; mulai mempelajari sejarah perjuangan bangsa, mencerna konsep ideologi bangsa dan lain sejenisnya. Hal ini menjadi penting mengingat kelompok radikal selalu menyoal tentang dalil nasionalisme dan semacamnya.
Sebagai penegasan, tahun 2018 harus benar-benar menjadi tahun kemenangan dan kejayaan kelompok toleran, yang menjunjung tinggi persatuan, perdamaian, dan persaudaraan. Jika kita lengah sedikit, maka kelompok radikal akan semakin menjadi-jadi. Jika yang demikian terjadi, penulis tidak bisa membayangkan masa depan anak cucu kita seperti apa.