Kita semua merasakan di tahun lalu, 2017, ujaran kebencian telah mendera bangsa ini. lelah dan bosan mendengar kegaduhan di mana-mana. Belum lagi berita penuh fitnah (hoax) yang turut merusak kebangsaan kita. Tradisi saling hormat-menghormati kita selama 2017 sedikit banyak dicurangi oleh kepentingan identitas, boleh sebut sebagian kepentingan politik.
Kita semua telah dewasa, berpengalaman menjaga martabat keharmonisan tanah air. Bangsa kita terdiri dari beragam suku dan budaya, agama dan bahasa, semua itu menjadi kekuatan fundamental mengokohkan semangat kebersamaan. Cek cok saling hujat bukan tradisi kita, tradisi kita adalah kesantunan dan saling menghormati.
Narasi kebencian telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa. Narasi-narasi pemecah belah telah membuat kerut kening wajah kita semua. Hoax juga turut menjadi pemicu lahirnya saling tuduh padahal kita bersaudara. Sesama saudara sebangsa tidak boleh saling menjatuhkan, apalagi saling membunuh hanya karena perbedaan pendapat.
Saudara sebangsa tidak mengenal perbedaan. Kita semua bersaudara dalam satu rumah bernama Indonesia. Perbedaan sama sekali bukan alasan kita saling menyalahkan. Perbedaan adalah alasan pentingnya persatuan dan kesatuan.
Narasi-narasi yang beredar tahun lalu adalah pelajaran berharga. Kita lelah dan bosan kini mendengar suara-suara kebencian yang menyulut permusuhan. Narasi kekerasan yang beredar di berbagai media telah menguras waktu dan tenaga untuk hal-hal yang sebenarnya tidak produktif. Apa yang terjadi kemaren mestinya menjadi bahan refleksi betapa ujaran bisa memecah persatuan dan kesatuan kita.
Maka, tidak ada kata lain, selain kata lawan, kita lawan narasi kebencian dengan narasi-narasi perdamaian. Jangan hanya diam ketika ada penjajahan bentuk baru berupa narasi pemecah belah antar keberagaman bangsa kita. Jangan biarkan narasi-narasi kebencian kembali muncul di tahun yang baru. Selama ini kita berhasil menjaga kebhinekaan, spirit yang sama perlu ditegaskan kembali untuk menjaga Indonesia damai mulai dari sekarang dan seterusnya.
Jika tahun yang lalu media temasuk sosial media penuh sesak dengan hoax dan ujaran kebencian. Kini, saatnya kita lawan, penuhi sosial media dengan narasi perdamaian. Bukan hanya sosial media, dalam praktek kesaharian kita wajib menunjukkan perilaku damai, santun, dan menyejukkan.
Pada tahun 2018, kita akan menggelar pesta demokrasi, pemilu serentak di berbagai daerah, hingga nanti pemilu raya pada 2019. Untuk menjaga nilai-nilai demokrasi perlu kita pertegas diri bahwa kita bisa menjaga iklim perdamaian menjelang hajatan besar itu. Pengalaman yang lalu narasi politik telah ternoda oleh narasi SARA dan ujaran kebencian. Pastikan hingga sekarang, di awal tahun ini, bahwa narasi SARA dan kebencian tidak terulang kembali.
Biarkan demokrasi menjadi bukti bahwa kita hidup berbangsa dalam keragaman tetap mampu menjaga perdamaian. Indonesia ini negara besar dengan kekayaan budaya yang luar biasa, terlalu mahal jika kita menggandaikan urusan kebangsaan kita untuk narasi kebencian yang merusak dan membuat luka itu.
Modal kita berbangsa selama ini adalah keberagaman yang ada. Tanpa keragaman kehidupan yang kita miliki, Indonesia bukan apa-apa. Indonesia ada, kita semua hidup, kita semua saling mengenal, karena satu alasan, karena kita beragam. Keberagaman adalan narasi dasar kenapa kita dituntut saat ini untuk saling menghargai bukan saling mencaci.
Mari ramaikan tahun ini dengan narasi-narasi perdamaian. Mari kita saling senyum dan sapa dalam bingkai demokrasi. Mari kita ajarkan kepada anak-anak kita mengenai pentingnya menjaga kerukunan, toleransi, kebhinekaan, dan kebangsaan. Saya meyakini turut serta menjaga bangsa ini tetap damai, Tuhan akan membalasnya dengan kebaikan-kebaikan lain yang tak terhingga.