Resolusi Mewujudkan Tahun 2023 sebagai Tahun Bebas dari Politik Identitas

Resolusi Mewujudkan Tahun 2023 sebagai Tahun Bebas dari Politik Identitas

- in Narasi
641
0
Resolusi Mewujudkan Tahun 2023 sebagai Tahun Bebas dari Politik Identitas

Dari tahun ke tahun, masalah yang dihadapi oleh negeri ini hampir sama, yakni menguatnya polarisasi di tengah masyarakat akibat dari infilterasi toleransi, merebaknya ujaran kebencian, radikalisme, dan segala turunannya. Muara dari semuanya adalah masih massifnya politik identitas dimainkan oleh pihak-pihak tertentu.

Tahun 2023 perlu mendapat perhatian bersama, sebab tahun ini adalah tahun politik. Di mana politik identitas menjadi api dalam sekam yang bisa saja membakar tali ikatan persaudaran sesama anak bangsa. Kita perlu bejalar pada pilpers dan pilkada sebelum-sebelumnya, di mana pola pikir dikotomik, yang membagi manusia menjadi ke dalam dua kubu yang bersitegang, menjadi senjata andalan. Politik identitas belum seutuhnya lenyap. Ia mulai dimainkan oleh oknum-oknum tertentu.

Selama ini, ia dijadikan sebagai senjata. Politik identitas ialah politik yang memisahkan saya versus anda, kami versi kamu, kita versus mereka. Seluruhnya terhalang dalam batas-batas yang ditentukan.

Di penghujung tahun ini, narasi dan logika biner itu semakin menguat. Batas-batas diciptakan. identifikasi siapa yang diterima (kami) dan siapa yang ditolak (mereka), dimunculkan.

Agama, ras, etnis, serta kepentingan ekonomi dan ideologis sering dijadikan sebagai pembatas dan pembeda. Akibatnya, fanatisme, kekerasan, konfrontasi, dan konflik tidak bisa dihindari.

Logika biner, membagi bangsa ini menjadi dua kelompok yang berlawanan: kami versus kamu, kawan versus lawan, pro versus anti- adalah narasi provokatif di media sosial.

Perbuatan yang membedakan individu/kelompok dengan yang lain dilakukan secara serentak, yang pada akhirnya keragaman masyarakat menjadi yang seharusnya menjadi nikmat, justru malah menjadi azab

Atas nama ideologi kelompok kami, sah untuk mencemarkan nama baik kelompok lain. Atas nama membela agama kami, dianggap absah untuk mencaci dan menghina agama orang lain,

Untuk memperoleh suara, simpati dan pengikut dalam jumlah besar, adalah hal yang wajar untuk menyebarkan hoax dan memprovokasi lawan. mengintimidasi dan memutarbalikkan isu dan peristiwa tertentu, seringkali dilakukan.

Mulai dari Diri Sendiri

Agar resolusi 2023 itu tidak sekadar harapan tahunan tanpa ada realisasi, maka kuncinya sebenanarnya ada pada diri setiap orang. Kita harus memulai membersihkan narasi kebencian dan intoleran itu dari diri kita masing-masing. Mulai dari diri sendiri adalah kunci.

Dalam konteks inilah, saya teringat dengan pidato penutup Quraish Shihab yang menyentuh dan sempat viral di media sosial. Dalam pidato itu, Qurasih Shihab bercerita, dulu ada sesorang manusia yang ingin mengubah dunia. Akan tetapi, di tengah perjalanan mimpinya itu pupus, dan ia tidak bisa menjalankan, maka ia turunkan mimpinya “ingin mengubah bangsa.”

Ternyata itu juga tidak bisa ia lakukan. Ia turunkan ingin mengubah sukunya. Itu juga tidak bisa ia lakukan. Ia turunkan ingin mengubah keluarganya. Sampai akhirnya ia berada di pembaringan sakitnya, ia berucap: “seandainya dulu saya mulai dari mengubah diri saya sendiri, niscaya setalah mengubah diri saya, saya akan bisa mengubah keluarga, bisa mengubah suku, bisa mengubah bangsa, dan seterusnya.”

Di akhri pidato itu, Quraish Shihab menyatakan –dan ini adalah poin pentingnya –jika kita ingin mengubah dunia lebih damai, maka hal yang pertama dilakukan adalah mengubah diri kita dulu. Kita mulai dari diri. Menanamkan nilai-nilai perdamaian pada diri kita.

Jika tidak bisa intoleransi aktif, setidaknya –lagi-lagi masih menurut Pak Qurasih –toleransi fassif. Jika tidak bisa aktif melakukan perlindungan terhadap kelompok lain, setidaknya jangan merusak, menghina, dan mecemooh keyakinan atau kelompoknya.

Semangat Baru

Memasuki tahun baru ini, tentu kita semua seharusnya mempunyai semangat baru untuk menghentikan politik identitas itu dan membersihkan media sosial kita dari ulah tangan-tangan kotor yang tak bertanggung jawab.

Politik identitas harus dihentikan. Kita kembali ke identitas nasional. Kembali kepada Pancasila, kita semua adalah saudara dan anak bumi Nusantara. Kita tanggalkan pakaian yang memisahkan kita selama ini, tidak ada lagi istilah saya adalah musuh kalian, kami lawan kamu, kita menentang mereka, semuanya telah melebur ke dalam ikatan persaudaraan.

Menenun perdamaian harus dimulai dari diri sendiri. Setiap orang harus terbuka. Beri ruang untuk orang lain. Kita harus menyadari bahwa bangsa ini bisa mandiri dan eksis hingga saat ini berkat kerjasama antar manusia.

Keterbukaan membutuhkan penekanan. Kita tidak boleh terjebak dalam identitas sektarian kita. Keegoisan harus dihilangkan. Kita melihat ke masa depan bersama.

Dengan membuka diri, keberagaman bukan azab, melainkan berkah yang harus dijaga. Kemajemukan Indonesia merupakan anugerah Tuhan yang harus kita lindungi bersama. Amanat itu harus dipenuhi. Jangan biarkan beberapa elemen rusak demi politik pragmatis.

Hidup untuk saling membina dalam hidup menjadi spirit dalam mengelola keberagaman dan perbedaan ras, agama, suku, budaya dan bahasa harus dijunjung tinggi.

Keanekaragaman itu bagaikan pelangi, indah dan menawan karena perbedaannya. Nusantara indah dan menawan karena dihuni oleh dua ratus lima puluh juta orang dari berbagai latar belakang.

Biarkan kami mencintai kamu dalam damai. Di tengah maraknya penegasian satu sama lain, Tenun perdamaian bagaikan oase di gurun pasir.

Mari kita melepaskan semua bentuk kepentingan ideologis kelompok sektarian. Mari saling berpelukan. Tinggalkan provokasi dan lawan setiap upaya yang memprovokasi. Kita semua adalah anak bangsa. Pancasila adalah payung bersama kita.

Facebook Comments