Setiap menjelang perayaan Hari Raya Waisak, para Bhikkhu melakukan perjalanan suci dengan berjalan kaki menuju Candi Borobudur, yang dikenal dengan tradisi Thudong. Ribuan kilo meter mereka tempuh sebagai pelajaran hidup dan berupaya melepaskan segala keburukan yang melekat dalam jiwanya.
Tradisi Thudong ini telah menarik perhatian masyarakat lintas agama. Mereka tak sekadar ‘welcome’ atas perjalanan spiritual yang dilakukan para Bhikkhu ini. Masyarakat bahkan turut-serta berjejer, memberi semangat dengan sapaan-senyum serta memberi bunga. Seperti yang dikutip dalam suarabaru.id para Bhikkhu diberi kesempatan untuk beristirahat di serambi Masjid Baiturahmah di daerah Kabupaten Temanggung perbatasan Temanggung-Magelang, kecamatan Kranggan, desa bengkal sebelum tiba di Candi Borobudur (19/5/24).
Tradisi Thudong ini telah menjadi semangat penting dalam membangun relasi harmonis lintas agama bagi bangsa ini. Bagaimana masyarakat tak sekadar mengapresiasi keberagaman agama yang ada, tetapi berperan aktif dalam menjaga keberagaman agar tetap damai, tolerant dan penuh kebersamaan. Tradisi Thudong telah melahirkan euforia masyarakat lintas agama yang penuh dengan kebersamaan, toleransi dan kedamaian.
Seperti di dalam prinsip; (Dutiyamarapasa Sutta; Samyutta Nikaya 4.5) “Berkelanalah, O, Para Bhikkhu, demi kesejahteraan banyak makhluk, demi kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia”.
Tradisi Thudong pada dasarnya bisa dikatakan menjadi satu perjalanan moderat kebangsaan dalam perjalanan para Bhikkhue dalam mengenalkan masyarakat atas keberagaman. Dukungan dari lapisan masyarakat lintas agama yang begitu antusias menyambut para Bhikkhu yang sedang berjalan kaki menempuh ribuan kilo meter. Ini juga akan menjadi dampak positif bagi hubungan atau relasi umat beragama dalam menerima keberagaman dengan baik.
Saya begitu tertarik dengan ajaran (Dhammapada Syair 6) bahwasanya: “Masih banyak orang yang tidak mengerti mengapa kita dapat binasa di dunia ini akibat perselisihan. Ia yang memahami kebenaran ini, akan dapat melenyapkan perselisihan”. Bahwa kesadaran atas perbedaan pada dasarnya sebagai kebenaran yang luhur yang tak perlu diselisihkan dan jalan damai, kasih-sayang dan saling berbuat baik sebagai jalan penting untuk melenyapkan segala perselisihan itu.
Antusias masyarakat lintas agama yang menunggu kedatangan para Bhikkhu di sepanjang jalan yang dilewatinya. Ini tak sekadar bentuk apresiasi masyarakat atas kehadiran umat agama lain yang melakukan perjalanan suci menuju Candi Borobudur. Melainkan sebagai bentuk penghormatan atas kehadiran umat agama lain yang sedang akan melaksanakan hari raya keagamaan bagi umat Buddha.
Perjalanan Thodung para Bhikkhu menuju ke Candi Borobudur tentunya terikat oleh tiga misi yang secara reflektif dapat menabur kebaikan dan mengikat relasi harmonis keberagaman antar umat beragama. Ada tiga tema besar Waisak 2024 yang sangat mengerucut pada semangat keberagaman sebagai inti dari perayaan Waisak untuk kembali pada ajaran Buddha Sidharta Gautama itu.
Perwakilan Umat Theravada Indonesia (STI) mengusung tema “Memperkokoh persatuan dalam keberagaman”. Sang Agung Indonesia (SAGIN) “Keharmonisan merupakan pedoman hidup berdampingan dalam berbangsa”. Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) “Untuk hidup bahagia sebagai makhluk dan manusia, marilah kita meningkatkan kesadaran yang diajarkan oleh Sang Buddha”.
Jadi, semarak perayaan Hari Raya Waisak yang dihiasi dengan tradisi Thudong para Bhokkhu ini sejatinya menjadi paradigma penting di dalam membangun relasi antar umat beragama yang harmonis dan damai. Kegembiraan masyarakat lintas agama menyambut perjalanan suci para Bhikkhu sejatinya harus menjadi spirit sosial di dalam menanamkan kesadaran akan keberagaman yang harus dijaga relasi keharmonisan-nya yang penuh kedamaian.