Isu hoax kembali menjadi sorotan media massa. Kali ini giliran isu provokatif yang dilancarkan oleh oknum yang menamakan The Family Muslim Cyber Army (MCA). Tidak hanya soal diskriminasi SARA, tetapi soal isu penganiayaan ulama. Dan kebanyakan kabar yang disebar adalah hoax atau berita palsu. Tindakan MCA tentu bukanlah cermin ajaran Islam, yang sangat mengedepankan nilai-nilai kasih sayang, kedamaian, dan kejujuran.
Kalau kita tilik, keberadaan hoax semakin hari semakin meresahkan. Apapun dan siapapun berpotensi menjadi hoax. Dan tak ada yang benar-benar kebal terhadap fake news ini. Mulai dari rakyat sampai pejabat. Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun pernah menjadi korban berita hoax. Gubenur DIY tersebut pernah melaporkan situs blog metronews.tk ke Polda DIY pada 19 Apri 2017 silam, lantaran salah satu berita yang dimuat mencatu nama Sultan. Berita itu menjadi masalah karena mengandung isu SARA yang berpotensi memecah belah persatuan Indonesia serta ‘Bhineka Tunggal Ika’.
Tak hanya itu, bahkan mantan Presiden Barak Obama pun pernah didera kabar hoax yang tak jelas. Rentannya semua orang terhadap berita jenis inilah yang memicu keresahan berbagai pihak. Apalagi dengan kemajuan iptek berita hoax dapat tersebar dengan cepat dan rawan menjadi booming. Bagaimana tidak, semua orang di era teknologi dewasa ini mampu menjadi pembuat (produsen) informasi dan penyebarnya. Dengan hanya sekali klik informasi tersebut tersebar luas. Dan hal ini sangat berbahaya apabila yang membuat informasi adalah orang yang tak bertanggung jawab. Apalagi, di tahun politik seperti saat ini, dikhawatirkan muncul oknum bayaran penyebar hoax yang sengaja dipesan untuk memenuhi ambisi atau syahwat politik dalam rangka memenangkan pemilihan umum.
Merespon rentetan persoalan akutnya hoax ini, sudah seharusnya level penindakan mendapatkan perhatian serius. Pasalnya, regulasi berbagai peraturan yang diterapkan dalam UU No. 11/2008 tentang Informasi, Teknologi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE terbaru tampaknya belum mampu meredam bebasnya hoax beraksi. Hal ini diantaranya karena terbentur pada sisi penegakkan hukum. Selain itu, untuk mengendalikan virus bernama hoax ini tak cukup hanya sekedar UU ITE saja. Namun, perlu realisasi yang tegas dan runcing di semua sisinya agar menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan digital. Jangan sampai UU ITE yang dikonsep dengan wah ini hanya berakhir menjadi buku penghias landasan hukum semata tanpa ada tindak lanjut di lapangan yang tegas.
Rencana pemberian kode QR pada media yang telah terverikasi merupakan cara yang harus didukung karena dengan adanya situs-situs terpercaya maka masyarakat dapat dengan mudah mevalidasi setiap informasi yang tidak jelas pada situs resmi. Sehingga netter tidak dengan mudahnya terjebak hoax baik murahan maupun bayaran. Hal terpenting yang wajib dilakukan pemerintah mana kala penyematan kode merah benar-benar dilakukan ialah selalu mengawasi perkembangan situs berkode tersebut dan memberi sanksi lebih berat pada situs ber-QR, apabila ketahuan menyebar berita tidak jelas asalnya.
Harapannya dengan memberi kode QR laju infomasi yang sehat dan menyehatkan akan menjadi konsumsi netizen tanpa perlu ragu menimbulkan ancaman. Berlomba-lombanya para penggiat internet dalam menangkal hoax dengan menghadirkan beberapa inovasi seperti situs museum hoax.com hingga aplikasi seperti turn back hoax. Intinya dari semua itu kita harus menjadi user, produser,dan publisher yang sehat dan menyehatkan. Konten dunia maya yang dihadirkan adalah informasi yang benar, akurat, dan terpercaya.
Selain itu, berlombanya media sosial menerapkan filter seperti yang mulai dilakukan fb dan google menjadi gerakan masif yang akan mampu menghambat berkembangnya hoax di era penetrasi media. Hoax tidak akan pernah hilang sama sekali selama manusia masih mengguakan informasi digital. Sama halnya dengan kejahatan yang tak akan pernah hilang selagi masih ada kehidupan. Karenanya menyiapkan berbagai langkah preventif menjadi pilihan paling bijak daripada sibuk mengeluh dan mencaci yang pada akhirnya memperburuk situasi dan menciptakan lemahnya adab dalam bermedia.
Pemerintah, penggiat internet sudah seharusnya berlomba-lomba menyingkirkan hoax dan melalui ronda virtual secara berjamaah. Artinya, kita semua punya tugas sebagai agen pengawas berita dan informasi yang bertebaran di jagat maya. Hal ini akan sangat terbantu mana kala masyarakat sebagai individu maupun kelompok juga mulai memasang brikade terhadap hoax dengan lebih kritis dan selektif terhadap berita apapun. Harapannya kedepan informasi yang ada di dunia maya diwarnai dengan konten sehat, hoax pun dapat terkikis.