Rumah Ibadah Bukan Tempat untuk Memecah Belah

Rumah Ibadah Bukan Tempat untuk Memecah Belah

- in Narasi
1429
0
Rumah Ibadah Bukan Tempat untuk Memecah Belah

Berbagai macam rumah ibadah berdiri di bumi Nusantara. Hal tersebut menandakan keragaman kepercayan dan agama yang dianut masyarakat di dalamnya. Mulai dari masjid, gereja, wihara, pura, hingga kelenteng. Keamanan masing-masing rumah ibadah beserta kegiatan keagamaan di dalamnya dijamin oleh negara.

Di samping menjadi tempat beribadah, rumah-rumah ibadah kerap menjadi tempat masyarakat untuk berkumpul, berdiskusi, berdialog, untuk mempererat persaudaraan dan menyelesaikan pelbagai bersama. Selama yang dibicarakan di rumah ibadah adalah untuk kepentingan bersama, maka tidak menjadi soal. Persoalan muncul ketika rumah ibadah justru digunakan untuk menyebarkan kepentingan politik praktis, atau bahkan penyebaran paham-paham radikal. Jika itu yang terjadi, jelas kita perlu waspada.

Baru-baru ini, Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan melakukan survei dan mendapatkan temuan yang cukup mengejutkan terkait masjid yang terindikasi paham radikal. Dilansir dari tempo.co (8/7/2018), survei yang dilakukan selama 29 September-21 Oktober 2017 tersebut menemukan bahwa dari 100 masjid kantor pemerintahan di Jakarta, ada 41 masjid yang terindikasi paham radikal. Penelitian dilakukan dengan cara merekam audio dan video khotbah Jumat selama periode tersebut.

Agus Muhammad, koordinator penelitian menjelaskan, paham radikal yang dimaksud dalam penelitian tersebut adalah paham yang menganggap satu kelompok paling benar dan kelompok lain salah, mudah mengkafirkan orang lain, berpaham intoleransi, cenderung memaksakan keyakinan pada orang lain, dan menganggap demokrasi adalah produk kafir.

Lebih lanjut, dijelaskan bahwa dalam penelitian tersebut yang dimaksud ‘terindikasi radikalisme’ dibagi tiga kategori. Kategori rendah artinya secara umum moderat tapi berpotensi radikal. Kategori sedang, yakni tingkat radikalisme cenderung tinggi. Dan kategori tinggi yang artinya ada provokasi untuk melakukan tindakan intoleran. Dan dari 41 masjid yang terindikasi paham radikal tersebut, 17 masjid berada dalam kategori tinggi, 17 dalam kategori sedang, dan 7 masjid masuk kategori rendah.

Itu adalah gambaran masjid yang ada di kantor pemerintahan di Jakarta. Bukan tidak mungkin hal yang sama, atau justru lebih mengkhawatirkan, akan ditemukan di masjid-masjid lain di pelbagai kota atau daerah. Khotbah Jumat yang mestinya berisi seruan untuk selalu menguatkan ketakwaan dan mengukuhkan persaudaraan, baik antar sesama umat Islam, sesama warga bangsa, maupun sesama umat manusia, justru dimanfaatkan untuk melakukan provokasi radikalisme yang berpotensi memecahbelah umat.

Di samping rentan menjadi tempat penyebaran paham radikal, masjid juga kadang menjadi arena pertarungan politik. Sebenarnya tak masalah jika yang ada adalah politik etis, yakni politik gagasan yang mengedepankan nilai-nilai etik universal, untuk kepentingan kemanusiaan tanpa memandang perbedaan. Namun, seruan politis di masjid menjadi soal ketika muatannya cenderung pada politik praktis, tentang kontestasi politik yang konkret dan mengarahkan untuk memihak atau membenci kelompok politik tertentu.

Ahmad Syafii Maarif pernah mengatakan, masjid boleh politis selama menjadi ruang diskusi dalam rangka kepentingan bersama, bukan memfasilitasi persaingan dalam perebutan kekuasaan (Kumparan, 26/4/2018). Pada dasarnya, setiap khotbah memang politis, dalam arti memiliki tujuan menguatkan ketakwaan, juga memotivasi untuk melakukan kebaikan, mempererat persaudaraan, dan menegakkan keadilan. Yang menjadi persoalan adalah ketika khotbah atau ceramah di masjid sampai menjamah ke wilayah-wilayah politik praktis pragmatis.

Seperti diungkapkan Mahfud MD, bahwa dalam tataran konsep, semua khotbah itu memang politis. “Kalau ‘politik ‘dalam arti baik sebagai inspirasi atau kebijakan, misalnya, ‘Hendaklah berbuat adil di kehidupan, pemerintah diminta berbuat adil, menegakkan hukum pada siapa pun, itu oke. Tapi kalau politik dalam arti kelompok-kelompok politik, ya tidak boleh,” jelasnya (Kumparan, 27/4/2018). Artinya, seruan-seruan dalam masjid mestinya lebih mengedepankan nilai-nilai yang menjadi kepentingan bersama, seperti keadilan, persaudaraan, perdamaian, dan sebagainya.

Bukan tempat memecah belah

Masjid sebagai rumah ibadah umat muslim memang kerap menjadi sarana kelompok-kelompok tertentu untuk menebarkan paham, ideologi, atau pandangan politik tertentu. Momentum salat Jumat, misalnya, di mana dalam suatu masjid kerap kali berkumpul umat muslim dari pelbagai daerah, kelompok, aliran, dan sebagainya, menjadi sangat strategis untuk menebarkan paham atau pandangan tertentu.

Jika paham radikal dan kepentingan politik praktis sudah memasuki masjid dan memengaruhi pemikiran umat, maka potensi perpecahan yang ditimbulkan akan semakin besar. Orang-orang akan berjalan pulang dari masjid dengan dada dipenuhi sentimen negatif, kebencian, bahkan dendam dan amarah. Jelas ini bukan hal yang kita inginkan.

Menjadi penting untuk selalu menjaga masjid-masjid atau rumah ibadah dari pelbagai macam paham dan provokasi yang justru merusak sendi-sendi persaudaraan. Rumah ibadah bukan tempat untuk menyulut kebencian yang memecahbelah masyarakat. Rumah ibadah juga bukan tempat memobilisasi massa demi kepentingan politik praktis dan pragmatis.

Rumah ibadah mestinya menghadirkan suasana aman, nyaman, tentram, sejuk, dan damai, sehingga orang semakin mudah menjalin kedekatan pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Rumah ibadah mestinya menyerukan khotbah, ceramah, dan dialog-dialog reflektif yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat luas, membuat setiap individu semakin tawadhu’ dan punya kesadaran tentang pentingnya menjaga persaudaraan, perdamaian, dan keharmonisan hidup bersama. Wallahu a’lam..

Facebook Comments