Rumah Ibadah; Rumah Damai Tanpa Politisasi

Rumah Ibadah; Rumah Damai Tanpa Politisasi

- in Narasi
1063
1
Rumah Ibadah; Rumah Damai Tanpa Politisasi

Gegap gempita menyambut pemilu 2019 semakin semarak. Kedua kubu pun saling menjual keunggulan pasangan yang diusung. Safari politik dilakukan demi mendulang suara pada 17 April mendatang. Namun, kampanye dan bumbu politik tidak selamanya positif. Hoax, ujaran kebencian serta politisasi menjadi bahan yang tak luput dijadikan umpan memancing suara. Politisasi rumah ibadah oleh salah satu kubu yang bertanding sempat menjadi tagar di media sosial menjadi contohnya.

Kampanye atau mengenalkan para calon pemimpin menjelang pemilu memang merupakan fenomena yang wajar. Terlebih yang dikampanyekan adalah calon presiden dan wakil presiden. Hiruk pikuk pendukung antar pasangan calon, poster, baliho, serta berbagai alat peraga kampanye yang tersebar di berbagai tempat menjadi pemandangan biasa. Semua hal itu dibolehkan oleh negara dan telah diatur dalam Undang-undang tentang Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017, dengan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) sebagai penyelenggara dan pengawas.

Akan tetapi pemberitaan mengenai tempat ibadah yang dijadikan sarana kampanye oleh salah satu pasangan calon, menjadi fenomena yang menyita perhatian publik. Dikutip dari Tempo.co (16/02/2019) calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto melaksanakan salat Jumat di Masjid Agung Kauman, Semarang pada Jumat, 15 Februari 2019. Agenda salat Jumat itu sempat heboh, dikarenakan terdapat selebaran, spanduk, serta ­broadcast Whatsapp maupun Instagram bertuliskan “Hadirilah Shalat Jumat Bersama Prabowo Subianto, Jumat 15 Februari 2019.” Hal ini ditengarai menjadi viral, lantaran postingan dan selebaran yang berbau politis.

Baca juga :Membumikan Falsafah Bangsa Melalui Rumah Ibadah

Tindakan yang dilakukan oleh oknum dari salah satu kubu merupakan hal yang tercela, karena telah menodai kesucian rumah ibadah. Tempat ibadah seharusnya bersih dari hal yang berkaitan dengan politik, baik alat peraga kampanye maupun narasi yang bernada politis. Hal itu sudah sepatutnya dimengerti dan diamini oleh kedua kubu. Menjaga penghormatan kepada rumah ibadah dan menjadikan rumah ibadah sebagai tempat yang netral, penuh ketenangan tanpa kericuhan adalah tugas bersama, tanpa harus melihat siapa dia dan berdiri di kubu mana.

Terjaganya kesucian rumah ibadah pun menjadi cermin pengamalan pancasila sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sudah menjadi tugas kita sebagai warga negara untuk menjaga dan menghormati rumah ibadah sebagai tempat suci, tempat beribadah kepada Tuhan, dan sarana mencari kedamaian. Bukan menjadikannya tempat mengadu domba, menyebar kebencian, ataupun menyebar paham anti-pancasila.

Menghormati rumah ibadah tanpa menjadikannya sebagai salah satu sarana politik, baik melalui pamflet atau narasi agama berbau politis, harus dilakukan oleh kedua pasangan calon dan seluruh pendukungnya tanpa terkecuali. Karena menghormati rumah ibadah sama halnya menghormati pemeluk agama, dan menghormati Tuhan. Untuk itu, bila penghormatan pada rumah ibadah tidak diacuhkan, sama halnya tidak menghormati pemeluknya, dan juga Tuhan.

Kedamaian tercipta karena manusia bisa saling mengerti, menghargai dan menghormati satu sama lain. Kedamaian dapat terjaga bila manusia tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang sudah diberlakukan sesuai dengan kesepakatan bersama. Begitupun dengan rumah ibadah, yang sudah sepatutnya menjadi tempat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, menjadi ruang perbaikan diri, menyelami ilmu keagamaan dan mempertebal keimanan.

Sesuai fungsinya, rumah ibadah sudah sepatutnya bebas dari hal-hal yang berbau negatif dan duniawi, semacam kekerasan, tindak kriminal, pemberitaan palsu (hoax), ujaran kebencian dan kampanye politik. Semua itu harus ditiadakan di lingkungan rumah ibadah, demi menjaga kesucian rumah ibadah itu sendiri. Oleh karenanya menjaga dan menghormati rumah ibadah menjadi tugas bersama sebagai manusia yang beragama, dan warga negara Indonesia.

Facebook Comments