Tepat tanggal 22 Oktober 2015 Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan Hari Santri itu merupakan pemenuhan atas janji kampanye Presiden Jokowi pada saat kontestasi presidensial 2014 silam. Selain itu Keppres tersebut sebagai bukti dan pengakuan sejarah atas komitmen kebangsaan para santri yang selama ini telah mewakafkan seluruh jiwa raga dan hidupnya untuk mempertahankan serta mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Dengan demikian, seruan resolusi jihad merupakan sebuah komitmen untuk mempertahankan, mengisi kemerdekaan, dan menjaga keutuhan Indonesia. Komitmen yang hingga saat ini masih sangat relevan dengan konteks zaman now dan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Salah satu komitmen tersebut adalah semangat untuk meredam berkembangnya paham anti kebangsaan dan segala bentuk radikalisme baik dalam jaringan (online) maupun luar jaringan (offline).
Perlu digarisbawahi bahwa ancaman dalam jaringan (online) tentu membutuhkan perhatian khusus. Dikarenakan perkembangan teknologi informasi cukup membawa dampak yang signifikan terhadap semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terutama kian meningkatnya peran media sosial yang membawa dampak berkembangnya industri hoaks dekade terakhir. Apalagi dalam langgam politik digital, media sosial tentu tidak bisa lepas dari hoaks dan ujaran kebencian.
Dikatakan demikian karena “konten utama” dari para buzzer media sosial yang berwatak transaksional adalah hoaks dan ujaran kebencian. Bahkan, dalam tahapan kampanye politik digital pemanfaatan hoaks telah menjadi hal yang lumrah. Itu mengapa tidak heran, hoaks politik kian mengurita hingga kemudian melahirkan industri yang serpihannya berbentuk teatrikal atau sandiwara. Jika ditelisik, dalam teatrikal hoaks tentu ada yang dinamakan drama yang telah didesain sedemikian rupa.
Para pelaku tidak hanya sebagai pemain tunggal, tapi melibatkan banyak orang dengan peran yang berbeda-beda pula. Ada yang berperan sebagai tokoh yang dikorbankan hingga ada yang ditugasi kreator konten. Kemudian ada yang bertugas mendistribusikan hoaks melalui media sosial serta ada yang berperan mengagitasi dan memprovokasi publik dengan mengunakan trending topik. Terakhir ada pula tokoh kunci yang dipersepsikan sebagai figur yang paling dibutuhkan untuk mengatasi kekacauan tersebut. Biasanya, tujuan dari teatrikal ini adalah agar tercipta instabilitas guna menjatuhkan wibawa dan kredibilitas lawan politik.
Teatrikal hoaks itu sungguh berbahaya. Dikarenakan dapat memutarbalikan opini publik sekaligus mendongkrak citra kandidat politik pilihannya. Jikalau serpihan teatrikal hoaks ini terus mengalir, bisa dipastikan akan membawa dampak buruk terhadap penguatan literasi digital kewargaan. Sebab biasanya hoaks yang dilontarkan ke ruang publik tentu akan tersimpan dalam nalar kognisi warga yang bisa merusak akal sehat. Jika sudah demikian, ada kecenderungan hoaks tersebut akan dilanjutkan dengan kebohongan berikutnya untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Apalagi saat ini masyarakat masih memiliki kecenderungan untuk lebih menyukai isu-isu yang terkesan subjektif dan sederhana ketimbang informasi lain yang lebih substansial seperti ekonomi, pelanggaran hak asasi manusia, hingga politik pemerintahan.
Melihat gambaran tersebut, sudah saatnya para santri bisa kemudian bertransfomasi menjadi santri milenial. Santri yang tentunya melek dan bisa cepat beradaptasi dengan geliat revolusi industri 4.0. Termasuk ikut bertransformasi menjadi influencer dan buzzer yang berwatak pancasilais dan membawa nilai-nilai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja). Dengan begitu santri milenial bisa ditujukan untuk melanjutkan semangat resolusi jihad terutama dalam ranah digital. Terutama untuk ikut menjaga kedaulatan digital bangsa ini dari segala bentuk ancaman paham radikalisme dan anti kebangsaan. Termasuk, ikut membenamkan hoaks dan ujaran kebencian serta berbagai sampah digital lainnya.
Dengan demikian, peran santri milenial dalam resolusi jihad digital bisa merupakan sebuah estafet untuk melanjutkan semangat perjuangan resolusi jihad 1945 yang tengah dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Oleh karena itu tugas berat kedepan para santri milenial adalah harus bisa mengisi demokrasi digital yang kian banal dengan nilai-nilai kebangsaan. Sekaligus ikut membenamkan hoaks dan ujaran kebencian yang bisa memecah belah persatuan bangsa. Dengan kata lain, ditangan para santri milenial inilah terdapat segudang harapan agar para santri bisa ikut ambil bagian menjaga kedaulatan demokrasi digital bangsa ini. Sekaligus menjadi garda terdepan yang ikut menjaga keutuhan negara, menjadi benteng moral bagi bangsa, sekaligus memperjuangkan kesejahteraan-keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.