Tahun 2024 ini genap 100 tahun keruntuhan dinasti Turki Usmani yang terjadi pada 3 Maret 1924. Dinasti yang dibangun pertama kali pada 1299 itu runtuh akibat berbagai faktor. Antara lain, konflik internal kerajaan, serangan negara-negara Eropa dan gerakan makar yang diinisiasi kelompok zionis DNS freemansory terhadap kesultanan Usmani.
Keruntuhan Tukri Usmani kerap disebut sebagai penanda berkshirnya era kekhalifahan dalam Islam sekaligus akhir dari kisah keemasan peradabannya. Meski demikian, wacana khilafah masih tetap laku dijajakan di tengah umat hingga sekarang. Buktinya, ada sebagian muslim yang rindu pada kebangkitan khilafah. Kerinduan sejarah masa lalu ini bahkan memicu munculnya organisasi dan gerakan teror mulai dari Jamaah Islamiyyah hingga ISIS.
Jamaah Islamiyyah dan ISIS adalah dua organisasi yang merepresentasikan kegandrungan pada khilafah dalam bentuk yang paling ekstrem. Kedua organisasi atau gerakan itu mendoktrinkan pass pengikut dan simpatisannya untuk melakukan apa saja demi tegaknya kekhalifahan Islam di era modern. Termasuk cara-cara kekerasan dan teror.
Mengapa Wacana Khilafah Masih Laku di Tengah Umat?
Pernyataannya kemudian adalah mengapa khilafah yang telah terkubur oleh sejarah selama 100 tahun itu tetap laku di tengah umat? Seidaknya ada tiga sudut pandang untuk memahami persoalan ini.
Pertama, dari sisi historis adalah ada semacam upaya untuk meromantisasi sejarah masa lalu dan mengglorifikasi sistem kekhalifahan Islam sebagai yang paling ideal dalam sejarah. Glorifikasi sejarah masa lalu itu lantas mendorong lahirnya upaya untuk menduplikasi sistem khilafah ke zaman sekarang.
Romantisasi sejarah dan glorifikasi khilafah ini problematik karena menjadikan fakta sejarah yang tersembunyi tentang khilafah. Simpatisan gerakan khilafah kerap mengklaim ideologi yang mereka sebagai solusi atas seluruh problem manusia hari ini. Padahal, kenyataanya tidak demikian. Era kekhalifahan Islam nyatanya juga penuh dengan kriris baik itu ekonomi, sosial, politik, agama dan budaya.
Kedua, secara teologis masih lakunya wacana khilafah di tengah umat disebabkan oleh kerancuan sebagian umat dalam memahami ajaran Islam itu sendiri. Sebagian umat kerap memahami ajaran Islam secara normatif. Alhasil, sebagian umat Islam acapkali gagal membedakan mana ajaran Islam yang sifatnya tetap (al tsawabit) dan mana yang sifatnya dinamis (al mutaghayyirah).
Hukum Islam yang mengatur soal relasi antara manusia dan Allah atau ibadah mahdhah, misal hukum sholat, ketentuan zakat, syarat dan rukun haji, juga tatacara puasa itu sifatnya tetap dan tidak bisa diubah. Namun, hukum Islam yang mengatur soal muamalah alias relasi antarmanusia, termasuk urusan politik dan pemerintahan itu sifatnya dinamis dan terbuka terhadap ijtihad.
Ketiga, secara politis ideologi khilafah kerap diposisikan sebagai antitesis dari demokrasi. Ketika demokrasi mengalami beragam krisis, khilafah diklaim sebagai sistem politik yang menghadirkan solusi untuk mengatasi residu krisis demokrasi tersebut. Narasi khilafah sebagai solusi krisis demokrasi ini gencar dipropagandakan oleh kelompok radikal.
Klaim bahwa khilafah adalah sistem politik paling sempurna yang steril dari potensi krisis telah membuat sebagian umat kepincut. Apalagi di tengah kondisi demokrasi yang belakangan kerap diwarnai penyimpangan seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, politik uang, dan sebagainya.
Khilafah Tidak Relevan di Era Negara-Bangsa
Banyaknya umat Islam yang masih gandrung pada khilafah membuktikan bahwa sebagian dari kita masih berpikir regresif alias berorientasi ke belakang alias belum move-on. Maka dari itu, kita perlu cara pandang baru dalam memahami sejarah dan dinamika politik serta pemerintahan Islam.
Peringatan seabad runtuhnya Turki Usmani idealnya menjadi momentum umat Islam untuk move-on dari khilafah. Seabad berakhirnya khilafah kiranya menjadi titik pijak untuk mengembangkan nalar dan perilaku keagamaan yang progresif, alih-alih regresif. Umat Islam harus berani lepas dari romantisasi dan glorifikasi kejayaan masa lalu.
Mengapa demikian? Tersebab, mayoritas umat Islam hari ini hidup di wilayah nation-state alias negara bangsa. Dalam konteks negara bangsa, sistem khilafah menjadi tidak relevan lagi. Khilafah dengan demikian tidak lebih dari artefak sejarah yang hanya cocok dijadikan materi pembelajaran, bukan sebagai ideologi gerakan.
Romantisisasi dan glorifikasi khilafah ala Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan para pengasong khilafah tidak akan menyelesaikan problem keumatan hari ini. Problem kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya tidak akan selesai hanya dengan propaganda khilafah yang masif. Semua problem keumatan itu butuh solusi nyata. Dan, para pengasong khilafah sampai hari ini tidak pernah memberikan tawaran yang konkret, alih-alih hanya wacana dan utopia belaka.
Di tengah problem keumatan yang kian kompleks, solusi nyata seperti pemerataan akses ke pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan untuk seluruh kelompok dan lapisan masyarakat akan lebih efektif ketimbang mengobral janji manis tentang tegaknya khilafah.