Salah satu yang hingga kini masih menjadi diskusi hangat khususnya di Indonesia adalah ucapan Selamat Natal, yang oleh sementara orang dilarang bahkan pengucapnya oleh sementara yang melarang dinilai kafir. Ada juga pihak membolehkan, bahkan menilainya bijak, karena ucapan itu dapat menjalin hubungan harmonis antarumat beragama. Yang melarang beralasan bahwa ucapan selamat itu mengandung arti pengakuan bahwa Isa as adalah anak Tuhan sekaligus membenarkan kepercayaan trinitas.
Hemat penulis, larangan tersebut benar kalau memang si pengucap mempercayai apa yang dikemukan di atas. Tapi apakah semua yang mengucapkannya memang demikian? Apakah umat kristiani yang menerima ucapan selamat itu memahami bahwa muslim pengucap selamat telah mengubah akidah tauhidnya menjadi trinitas? Hampir dapat dipastikan : tidak demikian! Kalaupun yang menerima ucapan selamat itu berpendapat demikian, maka itu sama sekali tidak mencederai kesucian akidah tauhid si pengucap karena sebagaimana sabda Rasullah SAW انما الاعمل بالنية yakni “nilai/penilaian satu amal berdasar niat pelakunya” (HR. Bukhari dan Muslim). Al-Qur’an juga menegaskan bahwa : “Allah tidak menuntut pertanggungjawaban menyangkut sumpah yang kamu ucapkan yang bukan dengan maksud bersumpah. Pertanggungjawaban yang dituntut-Nya adalah (sumpah yang kamu ucapkan) dengan kemantapan hati kamu” (Qs. Al-Baqarah [2] : 225).
Ayat ini menurut para ulama mengandung makna bahwa Allah tidak menilai/menuntut dari seseorang yang mengucapkan kalimat sumpah selama kalimat itu tidak bermaksudkan oleh hatinya sebagai sumpah. Allah tidak juga menuntut dari seorang yang mengucapkan kalimat kufur bila terpaksa, selama hatinya tetap tenang dalam mempercayai keesaan Allah (Qs. An-Nahl [16] : 106), yakni tidak menuntut seseorang dari bunyi redaksi yang diucapkannya, tetapi dari maksud ucapannya. Karena itu, yang salah ucap atau keliru, tidak dinilai berdosa.
Di samping itu, dewasa ini, sekian banyak ucapan yang secara redaksional berpotensi mengandung makna tertentu, tapi kebiasaan telah mengubah makna tertentu itu sehingga tidak lagi dipahami sebagaimana dipahami sebelumnya. Memang banyak ulama masa lampau yang mengharamkan ucapan itu, karena adat dan pemahaman masa lampau tentang ucapan Selamat Natal dikaitkan dengan ajaran agama, dan Selamat Natal pada masa lalu dikaitkan dengan kepercayaan umat Nasrani tentang trinitas, tapi kini adat kebiasaan telah berubah.
Fatwa-fatwa yang ditemukan melarang ucapan selamat Natal itu, lahir dari situasi masa lalu. Perlu dicatat bahwa tidak semua ulama masa lalu melarangnya, ada juga yang membolehkannya. Kita tidak dapat menuduh para ulama masa lalu yang melarang itu sebagai orang-orang intoleran dan dalam saat yang sama kita tidak dapat menilai fatwa mereka salah. Karena memang fatwa harus mempertimbangkan kondisi dan situasi keadaan penanya.
Nah, kini keadaan telah berubah. Tidak ada seorang muslim yang mengucapkan selamat Natal sambil mengaitkan ucapnnya itu dengan trinitas atau sesuatu yang bertentangan dengan tauhid yang dianutnya. Seorang muslim yang paham agamanya, mengucapkan sebagai cara menjalin hubungan baik dan hidup berdampingan, yang demikian dibenarkan oleh Al-Qur’an (Qs. Al-Mumtahanah [60] : 8). Jika demikian, tidak ada halangan mengucapkannya, karena larangan masa lalu lahir dari sebab (‘illah) tertentu, yaitu dinilai mengakui trinitas, sedang ‘illah tersebut tidak terjadi bagi muslim masa kini ketika mengucapkannya. Memang semua ulama masa lalu dan masa kini sepakat bahwa ketentuan hukum dapat berubah jika ‘illah-nya berubah.
Al-Qur’an pun mengabadikan ucapan Selamat Natal yang diucapkan Nabi Isa as saat kelahiran beliau, yaitu ; Selamat/kesejahteraan tercurahkan kepadaku pada hari kelahiranku (Natal), pada hari aku mati, dan pada hari aku dibangkitkan (Qs. Maryam [19] : 33).
Tentu boleh-boleh saja menyampaikan Selamat Natal dengan makna yang dikandung oleh ayat di atas. Nabi Muhammad SAW ketika menjelaskan bahwa nabi-nabi bersaudara walau ibunya berbeda-beda, namun ayah mereka sama. Ketika menjelaskan hal tersebut, beliau bersabda ;
انا اولى الناس بعيس ابن مريم في الاولى والاخرة
Artinya : Saya adalah orang yang paling dekat kepada Isa Putra Maryam di dunia dan akhirat (HR. Muslim)
Di sisi lain telah menjadi lumrah dewasa ini, sekian banyak penganut agama Kristen, demikian juga penganut agama non-Islam yang mengucapkan Selamat hari Raya Idul Fitri kepada kaum muslimin, bahkan memberi hadiah lebaran. Namun demikian, itu semua tidak diduga oleh siapa pun bahwa para pemberi itu telah mengubah agamanya dan menjadi muslim. Jika demikian, tidaklah wajar menilai seseorang yang mengucapkan Selamat Natal sebagai sesuatu yang bertentangan dengan akidah Islam, sehingga dikafirkan/dihukumi keluar dari Islam. Ini, sekali lagi, tanpa mempersalahkan ulama masa lalu yang mengharamkan hal tersebut.
Masa kini banyak sekali ulama yang membolehkan bahkan menganjurkan ucapan Selamat Natal dari kaum muslimin terhadap umat Kristiani. Sebagai contoh, Syeikh Musthafa az-Zarqa’ (1904-1999 M) dalam buku yang menghimpun fatwa-fatwanya dan dilengkapi dengan kata pengantar oleh ulama kontemporer Yusuf Qardhawi. Di sana, secara tegas dinyatakan bahwa kini ucapan Selamat Natal dari seorang muslim dapat dibenarkan, karena itu diucapkan dalam konteks hubungan baik dan berbasa-basi.
Pandangan demikian dianut juga oleh banyak ulama Mesir termasuk pemimpin tertinggi Al-Azhar, Syekh Ahmad ath-Thayyib, bahkan setelah terjadi serangan teroris ke gereja Halwan di Mesir, dan pada suasana Natal, Grand Syekh Al-Azhar itu, sambil mengutuk serangan keji tersebut, menganjurkan agar kaum muslimin menunjukkan solidaritasnya kepada umat Kristen dengan berpartisipasi bersama saudara-saudara mereka umat Kristen dalam merayakan Natal.
Sementara orang menduga bahwa ucapan Selamat Natal dari seorang muslim, kendati dia ucapkan bukan dalam arti yang dipahami oleh umat Kristen, tetap saja terlarang karena itu sama dengan membohongi orang lain dan berbohong adalah haram. Dalih ini tidaklah tepat, karena yang diucapkan kepadanya itu, mengetahui bahwa sang muslim yang mengucapkannya tidak bermaksud kecuali berbasa-basi, bukan arti menukar akidahnya. Bahkan, katakanlah bahwa hati si pengucap membiarkan si penerima ucapan menduga atau terkesan bahwa si pengucap menganut paham trinitas, maka tidak serta merta sikap demikian itu telah mengeluarkan si pengucap dari Islam, kecuali jika tanda-tanda kemurtadan/kekufuran sudah sedemikian jelas darinya.
Apalagi dalam percakapan sehari-hari, seseorang dapat memilih satu kata atau susunan kata yang mempunyai dua makna atau lebih. Satu diantaranya yang dimaksud oleh si pengucap, sedang makna kedua diharapkan oleh mitra bicara. Yang semacam inilah yang dilakukan Sayyidina Ibrahim as ketika enggan mengikuti perayaan masyarakatnya yang berkaitan dengan kekufuran dengan alasan : “Aku sakit” (Qs. ash-Shaffat [37] : 89). Maksud beliau adalah sakit hati dan pikiran melihat kesesatan mereka, bukan yang dipahami oleh kaumnya sakit fisik. Demikian juga ketika beliau menghadapi seorang penguasa yang kebiasaannya merebut perempuan yang bersuami dengan membunuh suaminya. Dalam pertemuan dengan penguasa itu, beliau ditanya perempuan yang bersamanya (istrinya), beliau menjawan : “Dia saudaraku.” Maksud beliau saudaraku seagama, tapi dipahami oleh sang penguasa sebagai saudara sekandung.
Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa yang merasa bahwa akidahnya berubah dengan mengucapkan selamat Natal, maka hendaknya jangan mengucapkannya, tetapi yang bermaksud mengucapkannya sambil memelihara akidahnya dan dengan tujuan menjalin hubungan baik dengan sesama umat beragama, maka silakan mengucapkannya. Tidaklah wajar saling mempersalahkan apalagi mengkafirkan karena mengkafirkan siapa pun yang mengucapkan dua kalimat syahadat, tidak diperkenankan kecuali setelah bukti-bukti akurat terhimpun.