Membangun “Mutual Understanding” Beragama Sebagai Vaksin Anti-Radikalisme

Membangun “Mutual Understanding” Beragama Sebagai Vaksin Anti-Radikalisme

- in Narasi
501
0
Membangun “Mutual Understanding” Beragama Sebagai Vaksin Anti-Radikalisme

Nuansa perayaan Natal sudah terasa dimana-mana. Gereja-gerje dihias meriah menyambut hari kelahiran Yesus Kristus. Natal tentu menjadi momen sakral sekaligus membahagiaan bagi umat Kristen. Dalam konteks kebangsaan, Natal idealnya juga menjadi momentum untuk membangun kesadaran pentingnya toleransi dan pluralisme agama.

Terutama bagi umat Islam sebagai golongan mayoritas di negeri ini. Merujuk pandangan Justin Gest dalam bukunya Majority-Minority, kelompok mayoritas selalu berada di antara dua pilihan yang dilematis dan problematis.

Di satu sisi, kaum mayoritas dihadapkan pada pilihan untuk bersikap jemawa bahkan arogan pada kelompok minoritas. Di titik ini, kaum mayoritas kerap tergoda untuk memanfaatkan posisi tawarnya yang kuat untuk melakukan tindakan diskriminatif, intoleran, bahkan kekerasan terhadap kelompok minoritas.

Di sisi lain, kelompok mayoritas juga dihadapkan pada pilihan untuk menggunakan kekuatan yang dimilikinya demi mengayomi dan melindungi kelompok minoritas. Dalam konteks ini, kelompok mayoritas akan tampil sebagai pihak yang memberikan jaminan perlindungan bagi kaum minoritas.

Dilema Kaum Mayoritas dalam Menghadapi Keragaman

Dua pilihan sebagaimana dijelaskan Gest itu tampaknya juga dihadapi oleh umat Islam di Indonesia sebagai kelompok mayoritas. Sebenarnya, secara kuantitatif sebagian besar umat Islam cenderung memilih untuk menjadi kaum mayoritas yang mengayomi. Namun, harus diakui ada sebagian umat Islam yang kerap tergoda menonjolkan sikap dominan dan arogan pada kaum minoritas, termasuk umat Kristen. Misalnya, masih ada oknum muslim yang menolak pendirian gereja, menghalangi ibadah umat Kristen atau mengkafirkan ucapan selamat Natal.

Meski jumlahnya kecil, namun keberadaan umat Islam yang memiliki karakter arogan dan intoleran ini tidak bisa disikapi permisif. Tersebab, sikap arogan dan intoleran dalam beragama yang dilandasi oleh nalar tirani mayoritanisme merupakan lahan yang subur bagi berkembangnya paham radikal-ekstrem.

Dalam konteks kebangsaan, relasi antar-agama yang dilandasi oleh sentimen mayoritas-minoritas padahal hal yang tidak ideal. Hubungan antar-agama yang dilandasi nalar mayoritanisme masih menyisakan potensi ketidakadilan yang dilatari oleh rumitnya pola relasi kuasa antar masing-masing kelompok.

Tiga Prinsip Membangun Relasi Keagamaan Ideal

Di tengah pluralitas agama seperti ada di Indonesia, relasi keberagamaan yang ideal adalah yang bertumpu pada tiga prinsip. Pertama, prinsip mutual respect yakni sikap saling menghargai antar-kelompok agama yang berbeda. Seperti kita tahu, setiap agama punya konsep teologis yang berbeda-beda. Untuk menjaga keharmonisan hubungan antar-agama, masing-masing pemeluk agama tidak perlu mempertentangkan doktrin keagamaan untuk mencari siapa paling benar.

Di ruang privat, umat beragama harus meyakini bahwa ajaran agamanya lah yang paling benar. Hal ini merupakan fundamental structure dari sikap beragama. Namun, di ruang publik, kita tidak boleh mengklaim ajaran agama kita yang paling benar dan menuding ajaran agama lain salah.

Kedua, prinsip mutual trust yakni sikap saling percaya antar-kelompok beragama. Sikap saling percaya dalam hidup beragama diwujudkan dengan tidak memandang golongan lain dengan sikap curiga dan prasangka yang berlebihan. Dalam literatur ilmu sosial, sikap prasangka dan curiga merupakan embrio dari munculnya kebencian. Dan seperti kita tahu, kebencian merupakan akar dari praktik kekerasan yang merupakan ancaman bagi kemanusiaan.

Mutual trustjuga penting agar umat beragama yang berbeda-beda tidak mudah diprovokasi dan dipecah-belah oleh kelompok tertentu. Relasi keagamaan yang dilandasi sikap curiga dan prasangka layaknya sekam kering yang akan mudah terbakar meski hanya karena setitik bara api. Sebaliknya, relasi keagamaan berbasis mutual trust akan melahirkan ekosistem sosial yang solid dan punya daya tangkal tinggi terhadap potensi konflik.

Ketiga dan ini yang terpenting adalah prinsip mutual understanding alias saling memahami. Prinsip saling memahami diartikan sebagai sebuah komitmen untuk mengakui dan memahami keberadaan atau eksistensi liyan (the others). Mengakui dan memahami eksistensi ini tidak hanya diwujudkan dengan sikap toleransi semu yakni menjalin relasi yang penuh basa-basi. Lebih dari itu, prinsip mutual understanding harus mewujud ke dalam komitmen untuk memberikan akses (access), ruang (space), dan kesempatan (opportunity) yang setara tanpa ada pembedaan.

Prinsip mutual understanding inilah yang wajib kita hadirkan dalam konteks relasi antar-agama di Indonesia. Selama ini, praktik toleransi kita masih sebatas basa-basi alias toleransi semu. Sebagian dari kita mengakui keberadaan kelompok agama lain, namun acapkali masih kerap bersikap diskriminatif bahkan arogan. Situasi yang demikian itulah yang kerap dimanfaatkan kaum radikal untuk memecah-belah umat demi memuluskan agenda mereka. Maka, membangun relasi keagamaan berbasis mutual respect, mutual trust, dan mutual understanding kiranya bisa menjadi vaksin bagi virus radikalisme.

Facebook Comments